Hikayat Radja-Radja Pasai dan Sedjarah Melayu adalah sumber tertua dari kita sendiri yang dapat diperbuat pegangan untuk
menetapkan kepastian mengenai :
a) Abad pemasukan Islam sekaligus dengan
pengembangannya tanpa tertegun-tegun oleh faktor lain,
b) Dari mana datangnya,
c) Daerah mulainya dan cara kesukarelaan
pengembangannya
Dengan
mempergunakan “Sedjarah Melayu” sebagai pegangan, maka peng-Islaman berlangsung
berturut dalam tempo yang dapat dikatakan serentak dan pendek menurut
gilirannya: Barus, Lameri (Lamuri), Aru, Perlak dan Pasai.
Pembawa Islam adalah Syekh Ismail
langsung dari Mekkah dan pembantunya fakir Muhammad dari Maa’bri (Malabar).
Walaupun keterangan tambahan tentang kedua nama ini tidak diperoleh, tapi
keterangan bantahanpun tidaklah pula ada.
Keterangan Professor Schrieke dalam
“Het Boek van Bonang” yang seolah-olah menyebut bahwa berkembangnya Islam di
Pasai juga dengan Pedang, atas dasar Cerita Odorigo (1323 M) dan disebutnya
juga dari Ibn Batutah (1345 M), harus dianggap sebagai tidak beralasan. Kisah
Odorigo yang mengatakan diantaranya bahwa penduduk masih biadab adalah
membuktikan dustanya, disamping meneguhkan pendapat bahwa keteranagan Odarigo
adalah tendensius sekali. Pertikaian saudara yang pernah terjadi dimasa Ibn
Batutah berkunjung ke Pasai, tidak kena mengenai dengan soal peng-Islaman yang
sudah lama berlangsung.
Dengan menganutnya Merah Silu
menjadi Islam dan selanjutnya melanjutkan pemerintahan, sekaligus kerajaannya
dapat dikatakan kerajaan Islam.
Peristiwa berkembangnya Islam di
Pasai dapat diperteguh oleh bekas-bekas dan petunjuk yang dapat diyakini.
a) Dari kesan perjalanan Ibn Batutah dipertengahan
abad ke 14. Kesan-kesannya diakui oleh ahli-ahli sebagai kesan-kesan perjalanan
terbaik pada zamannya.
Dari
padanya diketahui nama Malikut-Thahir yang menjadi raja. Nama ini jelas dikenal
dalam “Hikayat Radja-Radja Pasai” sebagai salah seorang keturunan
Maliku’s-Saleh.
b) Sampai sekarang masih dapat dipersaksikan
adanya beberapa mata uang Pasai dari awal abad ke 14. Nama raja yang disebut
mata uang itu menunjukkan dan membuktikan pertaliannya dengan Maliku’s-Saleh,
c) Dari kesan-kesan Cheng Ho, yang berkunjung di
awal abad ke 15 berkali-kali ke Pasai.
d) Dari batu nisan Maliku’s-Saleh sendiri, yang
tahunnya berada disekitar masa tidak lama setelah Marco Polo berkunjung kesana.
Ratusan makam raja-raja di Pasai, Blang Me, Geudong dan lain-lain disekitar itu
meneguhkan keyakinan tentang berdirinya kerajaan Maliku’s-Saleh dan
pertaliannya satu sama lain.
Dapat diyakini bahwa semenjak Maliku’s-Saleh menjadi
pemeluk Islam, kegiatan mengembangkan syariah Islam menjadi timbul dan
terlaksana cepat. Demikianlah, dalam tempo singkat Islam menjalar keseberang,
ke Kedah, ke Terenggano dan dengan cepat pula ditempat ini terlaksana
pemerintahan Islam sebagai ternyata dari nukilan pada sebuah batu mengenai
salah satu perundingan-perundingan.
Tidak lama setelah Malaka dibangun dipermulaan abad
ke 15 maka serentak dengan suatu perkawinan raja dengan puteri Pasai, raja
Malaka-pun masuk Islam dan berkembanglah cepat syiar Islam dinegeri itu. Dari
Malaka Islam berkembang ke Kalimantan, yaitu ke Brunei.
Islam berkembang ke tanah Jawa, langsung maupun
melalui Malaka. Sumatera Barat menerima Islam dari Aceh.
Sumber suatu “Hikayat Aceh” yang mengatakan bahwa
pada hari Jumat tanggal Ramadhan sanah 601 Hijriah (Masehi 1204) adalah hari
Sultan Djohan Sjah menaiki tahtanya di Daja atau Lamuri dan bawa Sultan ini
berasal dari atas angin (dari Parsi, Rum atau Turki) dapat dijadikan petunjuk
bahwa kemungkinan berkembangnya Islam yang dibangkitkan oleh pihak penguasa
(raja) adalah lebih cepat dari pada yang dimaksud oleh “Hikayat Radja-Radja
Pasai” dan “Sedjarah Melayu”
Namun dengan ini, perlu diselidiki apakah tokoh
Djohan Sjah yang telah berhasil naik tahta itu mungkin lebih dulu dari
Maliku’s-Saleh, mengingat bahwa dalam suatu “Hikayat Aceh” yang lain ada pula
disebut bahwa raja beragama Islam yang pertama di Aceh adalah Sultan Mughayat
(awal abad ke 16). Sebelum itu dikatakan rajanya bergelar “Meurah” dan berkuasa
dalam lingkungan masyarakat kecil.
Batu Nisan di Leran (Gresik) yang mengatakan bahwa
ada seorang puteri Islam, bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal di tahun
494 H (1102 M) paling tinggi dapat dijadikan pegangan bahwa puteri Islam itu
sudah pernah berada disana disekitar masa tersebut.
Namun beradanya puteri itu disana tidaklah
sendirinya menjadi petunjuk bahwa disitulah permulaan beradanya penganut Islam.
Petunjuk-petunjuk yang begitu jauh ditemui dibagian Jawa Timur tidak
memperteguh kesan tentang adanya suatu masyarakat Islam yang bagaimanapun
kecilnya dalam pemerintahan bukan Islam dimasa sebelum abad ke 15.
Sumber-sumber Sejarah Arab menegaskan bahwa berbagai
Bandar di Sumatera sejak abad ke 9 (catatan Mas’udi) sudah banyak pendatang
Arab yang beragama Islam mendatangi tempat-tempat dimaksud.
Berdasarkan sumber-sumber orang luar (Arab dan
Tioghoa) maka besar sekalipun kemungkinan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia
pada abad ke 1 Hijriah.
Dalam
tahun 671 M (lebih kurang 40 tahun sejak wafatnya Nabi) telah berkunjung ke
Sriwijaya seorang sarjana Tioghoa bernama I-Tsing. Dia datang dengan kapal
orang Po se (Parsi), dan tinggal disana untuk studi selama 6 bulan.
Keterangan-keterangan berikutnya menunjukkkan
bahwa lalu-lintas laut antara Arab, Parsi, India dengan Sriwijaya ke
Tiongkok adalah ramai. Pemegang peranan dilautan adalah pelaut-pelaut Parsi,
suatu negeri yang sudah menganut Islam. Kedatangan mereka tak dapat tidak
menghendaki perhubungan dengan penduduk bangsa kita. Sebab itu bagaimanapun
juga diantara penduduk tentulah sudah pula terdapat penganut Islam. Pendapat
ini didasarkan bahwa orang-orang Parsi yang berdiam di Sriwijaya sebagai
pendatang, baik karena untuk menjaga dagangan yang masih belum selesai maupun
untuk menjadi wakil dari atasannya, sekurang-kurangnya memerlukan tenaga
pembantu penduduk setempat untuk penyelenggaraan rumah tangga perusahaannya.
Banyaknya: pendeta-pendeta Budha menurut I-Tsing sampai berjumlah 1.000 orang
dan banyaknya penukar uang sampai 800 orang mengesankan ramainya Sriwijaya.
Menurut beberapa sarjana yang
dimaksud dengan orang-orang Pose tidak selamanya orang Parsi, tapi juga orang
Melayu. Petunjuk ini meneguhkan teori bahwa orang-orang Melayu sendiri
mengambil bagian besar dalam lalu-lintas pelayaran samudera.
Nama
Pose yang dipakai oleh orang Tioghoa mungkin pada suatu petunjuk untuk suatu
golongan Islam, karena itu dapat diyakinkan bahwa pelaut-pelaut Melayu-pun
ketika itu sudah pula menganut Islam.
Dalam catatannya T’ang Dinasty ada
disebut-sebut tentang raja Tashi. Tashi disamping untuk sebutan terhadap
orang-orang Arab, maka orang Tionghoa ketika itu umumnya memanggil orang-orang
lain yang beragama Islam dengan Tashi.
Menurut cerita yang terjadinya abad
ke 1 Hijriah pula, Raja Tashi telah mengirim
peninjau ke Holing yang dirajai oleh seorang perempuan bernama Sima. Penunjuk
lainnya mengatakan bahwa Tashi dimaksud ini sebelah barat ujung Sumatera. Ada
alasan untuk menyakinkan bahwa wilayah yang dimaksud Lamuri atau Rami yang
disebut oleh orang Arab dalam abad ke 9.
Maka
kemungkinannya ialah bahwa Tashi itu sudah mempunyai raja yang beragama Islam.
Professor Nainar mengatakan bahwa
Ramni adalah Lam No, yang letanya dipantai barat ujung Sumatera. Disitulah
mulai maksudnya Islam menurut katanya. Memperhubungkannya dengan catatan
Tiongkok itu, ada kemungkinan Tashi dimaksud adalah Lam No atau Ramni ini.
Petunjuk-petunjuk lain yang menyakinkan lebih dekat kemungkinannya dari Lam No
atau umpamanya Sumatera Barat seperti ditulis oleh Prof. Dr. Hamka, kiranya
memerlukan lagi keterangan tambahan.
Catatan lebih jelas tentang
beradanya penduduk Islam di Indonesia adalah Abu’l Fida (kutipan dari
“Muhallabi”) yang mengatakan bahwa dibandar kalah penduduknya tiga macam, yakni
Muslim, Hindu dan Parsi. Bandar ini ramai semenjak orang-orang Arab
meninggalkan Canton ditahun 878 Masehi.
Sulaiman (850 M) mengatakan bahwa
raja Sriwijaya menjadi raja pula untuk Rami dan Kedah. Memperhatikan bahwa nama
Rami lebih dulu disebut-sebut sebelum Kedah, maka beralasan untuk mengatakan
bahwa Rami lebih dahulu ramai dari pada Kedah, dan oleh karena itu
pendatang-pendatang yang menetap seperti saudagar-saudagar Arab itu tentulah
sudah berada juga disana lebih dulu, sebelum mereka menjadi penetap di Kedah.
Mengenai soal dari mana sebenarnya
sumber Islam masuk ke Indonesia, harus dibahas secara hati-hati. Dan tidak
benar kalu dikatakan langsung dari Arab saja, atau langsung dari Parsi saja, atau
melalui Gujarat dan Malabar/Koromandel saja. Bahkan tidak benar jika dikatakan
bahwa agama Islam dimasukkan sendiri oleh bangsa Indonesia saja walaupun tidak
dapat dibantah bahwa orang Indonesia sanggup mengarungi lautan yang jauh.
Agama Islam sudah dikenal di
Indonesia karena kedatangan pedagang-pedagang Arab dari negerinya pada abad ke
1 Hijriah.
Apabila
memang agama Islam dimasukkan oleh pedagang ini, maka tidak dapat disangkal
bahwa agama ini sudah berkembang sejak zaman mereka datang. Menurut catatan
perdagagangan luar negeri di Sriwijaya meningkat tinggi walaupun
saudagar-saudagar yang datang sudah beragama Islam dan raja-raja atau
orang-orang besar di Sriwijaya masih beragama Budha.
Van Leur dalam “Indonesian Trade and
Society” membantah pendapat Krom bahwa pengembanagan agama Islam sebagaimana
tadinya terjadi dengan pengembangan agama Hindu adalah dilancarkan atas dasar
motif dagang. Van Leur condong kepada motif politik atau dua-duanya. Motif
dagang ditujukan oleh saudagar-saudagar Gujarat kepada tokoh-tokoh yang
menguasai perdagangan ditempat. Sebaliknya motif politik ditujukan kepada
penguasa perdagangan tersebut untuk menguasai pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa salah satu
atau keduanya tidaklah tepat karena Islam adalah untuk pengabdian kepada Allah,
kepada Maha Kuasa dan Mahatahu yang umat manusia wajib tunduk.
Pengaruh-pengaruh dagang dan pengaruh politik menurut peristiwanya
masing-masing turun naik mengalami pasang surut pasang naik tidak karena
persoalan sukses atau tidak sukses dalam pengembangan agama Islam, walaupun
secara kebetulan agaknya ada terjadi sebagai itu.
Agama Islam telah dibawa masuk oleh
mereka (baik kebetulan ia pedagang maupun memang menjadi penganut biasa yang
ingin menjalankan perintah Tuhan karena setiap muslim harus menjadi propagandis
Islam, ataupun oleh guru-guru agama) adalah menempuh prosesnya sesuai dengan
kemudahan yang didapati oleh siapa yang mengembangkannya.
Kepedalamannya yang lalu lintasnya
amat sukar, sesudah berabad-abad berulah dimasuki oleh Islam. Jika diingat
bahwa hingga menjelang datangnya Van der Tuuk dipertengahan abad ke 19 ke
Tapanuli bagian terbesar pedalaman masih menganut animisme padahal beberapa
kilometer kota-kota ditepi pantai sudah berabad-abad lamanya penduduk beragama
Islam, maka dapat kiranya dipahami bahwa faktor lalu lintas turut merupakan
segi-segi yang mempengaruhi dalam masalah pengembangan Islam.
Karena itu menurut keadaannya ada
berbagai kejadian tentang perkembangan itu, yang pada pokoknya bergantung pada
kenyataan siapa lebih dulu tiba didaerah-daerah yang bersangkutan.
Dalam pada itu satu hal yang nyata
ialah bahwa orang-orang Arab dan Parsi yang sudah beragama Islam adalah lebih
dulu datang sudah beragama Islam. Ini diteguhkan oleh kenyataan bahwa orang Arab dan Parsi
lebih dulu menganut Islam dari orang India. Bukan tidak boleh jadi bawa
orang-orang Gujarat dan India lainnya turut mendapat “saham” dalam pengembangan
Islam ke Indonesia, sebagai juga bukan tidak boleh jadi orang-orang Indonesia
sendiripun sejak jauh-jauh hari sudah berusaha sendiri datang ke negeri Arab
untuk menunaikan Haji dan untuk seterusnya mengembangkan Islam sekembalinya.
Jelasnya, bahwa yang pertama adalah
orang Arab sendiri. Sesudah itu menurut keadaan setempat, ada yang dikembangkan
oleh orang Parsi, ada yang dikembangkan oleh orang Gujarat dan Malabar dan
tidak sedikit pula tentunya yang dikembangkan orang Indonesia sendiri sejak
masa-masa permulaannya sekali.
Comments
Post a Comment