Hasil kajian dan proyeksi banyak pakar futurologi, diantaranya Naishitt dalam bukunya Megatrends 2000, yang menyatakan bahwa salah satu trend besar abad ke 21 adalah religious revivalism.
Diawal era modern, hamper semuai lmuwan Barat menyataka nbahwagelombang modernisasi yang dimotori oleh perkembangan pesat sains dan teknologi akan menyingkirkan polapikir religious dan cirri kehidup anmistis. Ketika era modern mencapai puncaknya dan menimbulkan reaksi terhadap kegagalan modernisme menciptakan kebahagiaan manusia yang hakiki.
Diawal era modern, hamper semuai lmuwan Barat menyataka nbahwagelombang modernisasi yang dimotori oleh perkembangan pesat sains dan teknologi akan menyingkirkan polapikir religious dan cirri kehidup anmistis. Ketika era modern mencapai puncaknya dan menimbulkan reaksi terhadap kegagalan modernisme menciptakan kebahagiaan manusia yang hakiki.
Dalam buku-buku best seller yang berisi tentang agama memberikan penjelasan bahwa agama-agama yang mengabaikan unsure spiritualisme akan tersingkir, sedangkan berbagai ajaran, kelompok dan pengalaman spiritualisme semakin tumbuh berkembang terutama di negara-negara maju.
Dalam makalah ini akan memberikan gambaran singkat tentang sejarah dan perkembangan Sufism dan tarekat di Indonesia. Pemaparan tentang sejarah dan perkembangan Sufism dan tarekat di Indonesia sanga tpenting terutama dalam memperluas wawasan serta menggali berbagai potensi yang bermanfaat.
1. Tasawuf dan Tarikat
Agama yang di bawa Nabi Muhammad SAW, didasarkan atas 3 aspek yaitu islam (penyerahan diri sepenuhnya kepada YME), Iman (keyakinan yang teguh), dan ihsan (kebijakan paripurna). Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. Semakin tinggi kualitasislam seseorang, semakin kokohiman-nya dan semakin luruh ihsan-Nya.
Secara sederhana tasawuf bias disebut sebagai upaya taqarrub (mendekatkandiri) kepada Tuhan. Pribadi-pribadi yang lebih menekannkan kesalehan spiritual ukhrawi dari pada kejayaan material duniawi, memberikan alternative bagike banyakan pemahaman ulama dan kebijakan penguasa yang lebih mengutamakan pola keberagaman yang formal-normatif dan sering terkooptasi oleh kepentingan politik dan tarikan profan. Pribadi-pribadi tersebut secara bertahap menjadi tokoh-tokoh penting dalam kehidupan keberagamaan umat secara umum ketika disintegrasi abad 13 dan abad berikutnya, sehingga tasawuf dan tarekat memberikan peran penting dalam masyarakat.
Peranan tarekat sangat penting dalam sejarah perkembangan umat islam dari membimbing jiwa kepada tingkat spiritual tertinggi hingga memberikan kebutuhan sosial, politik dan ekonomi sehari-hari.
Pusat kegiatan tarekat di dunia islam antara lain bernama ribath, zawiyah, take, darqah atau khanaqah. Anggota tarekat dibedakan dalam 2 kelompok
1) Bermukim di dalam rihat yaitu memusatkan perhatian sebelumnya kepada ibadah.
2) Bermukim di luar Ribat yaitu melakukan pekerjaan sehari-hari tetapi pada waktu tertentu berkumpul untuk melakukan kegiatan spiritual.
Istilah ‘tarekat’ memiliki banyak pengertian. Ia bisa berarti ‘jalan’, ‘tradisi’, terutama tradisi kesufian, atau ‘organisasi persaudaraan sufi’. Istilah thariqah (Indonesianya sering ditulis ‘tarekat’) diartikan sebagai organisasi persaudaraan sufi, sehingga tarekat dalam pengertian ini berarti pengorganisasian ajaran esoteric (khusus kesufian) yang terpusat dengan hadirnya pembimbing (mursyid). Maknanya dekat dengan kata sirath (jalan jembatan), syariat (jalan menuju sumber air), Sabil (jalan). Oleh karena itu thariqah atau tarekat mengandung tiga pengertian yakni jalan lurus, praktek tasawuf dan persaudaraan sufi.
Tarekat juga berarti tasawuf, apabila tasawuf dipandang sebagai jalan spiritual menuju Tuhan, maka tarekat dalam arti ini sama dengan tasawuf. Tarekat adalah nama khusus bagi sekumpulan latihan kejiwaan (riyadhah al-nafs) dan ritual spiritual yang memandu seseorang atau sekelompok orang menapaki jalan khusus dalam mendekatkan diri kepada tuhan (taqarrub ila Allah).
Makna dari tarekat yang lainnya yaitu persaudaraan sufi yang relative terorganisir menjadi kelompok sosial. Dalam arti ini tarekat bukan hanya merupakan jalan spiritual, tetapi juga merupakan organisasi sosial dalam arti perikatan yang dipersatukan oleh keyakinan dan peribadatan tertentu serta dipersatukan oleh keyakinan dan poeribadatan tertentu serta memiliki norma perilaku tertentu pula.
Pusat kegiatan tarekat di dunia Islam dikenal antara lain dengan nama ribath, zawiyah, tekke, darqah atau khanaqah. Anggota tarekat islam dibedakan menjadi dua kelompok : mereka yang bermukin dalam ribat, serta memusatkan perhatian sepenuhnya pada ibadah, dan mereka yang tinggal di luar ribat dan tetap melakukan pekerjaan sehari – hari, tetapi pada waktu tertentu berkumpul di ribat untuk mengikuti pelatihan spiritual tertentu.
Memang dalam sejarah pemikiran Islam dan perkembangan peradaban Muslim dikenal paling tidak empat pola keberagaman yang masing-masing menekankan aspek tertentu dari ajaran Islam, yaitu aspek akidah (teologis), fiqh (legal-normatif), dan tasawuf-tarekat (mistisme-spiritualisme) Ini bisa terkait dengan aspek kekuasaan dan pemerintahan. Kaitan satu sama lain sangat beraneka, mulai dari konflik-kontradiktif hingga simbiotik tumpang tindih. Masing-masing pola keberagaman ini telah menumbuhkan tradisi dan melahirkan berbagai aliran (madzhab).
Menurut catatan sejarah , bersama dengan menjelangnya abad ke-2 Hijrah (atau abad ke-8 M) istilah sufi, tasawwuf, dan beberapa konsep terkait dengan aspek spiritualisme dan esoterisme ajaran Islam semakin meluas penggunannya. Untuk tiba pada identifikasi akhir tasawwuf dengan thariqah, yang dikatan mulai berkembang pada abad ke-9, akan menjadi lebih jelas dengan meniliti apa yang sebenarnya terjadi pada umat Islam.
Umat Islam telah mengenal banyak sekali tarekat, namun sebagian kecil saja yang kemudian berkembang pesat dan bertahan hingga kini. Yang terpenting di antaranya adalah:
1) Naqsabandiyah, yang dinisbahkan kepada Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandi (1388) dari Bukhara, Asia Tengah;
2) Qadiriyah dinisbahkan kepada Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (1088-1186) dari jilan, wilayah Laut Kaspia;
3) Rifa’iyah, dinisbahkan kepada Syaikh Ahmad ibn ‘Ali al-Rifa’i (1175) dari Irak;
4) Syadzillah dinisbahkan kepada Syaikh Abu al-hasan al-Syadzili (1258) dari Tunisia;
5) Mauliwiyah dinisbahkan kepada Mawlana al-Rumi (1207-1273) dari Baikh;
6) Tijaniyah dinisbahkan kepada Abu al-‘Abbas Ahmad al-Tijani (1737-1815) dari Fez;
7) Chistiyah dinisbahkan kepada Khwaja Mu’in al-Din al-Chisti (1236) dari Sijistan, Iran;
8) Sanusiyah, didirikan oleh Muhammad al-Sanusi (1791-1859) dari Aljazair dan mengembangkan tarekatnya di Mekah;
9) Jarrahiyah yang dinisbahkan kepada Syaikh Nuruddin Muhammad al-Jarrah (1720) dari Istanbul;
10) Suhrawardiyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qahir al-Suhrawardi (1162) dari Baghdad, Irak.
2. Tarekat di Indonesia
Masuknya agama Islam dan berkembangnya umat Islam di Indonesia terkait erat dengan peranan para sufi. Oleh karenanya, ajaran Tasawuf dan praktek tarekat menjadi salah satu tradisi intelektual dan pola keberagaman yang berkembang pesat dan bertahan kuat di Indonesia. Peranan para sufi dan lembaga tarekat dalam penyebaran agama Islam di Nusantara telah banyak menyita perhatian.
Proses masuk Islamnya penduduk Nusantara kelihatannya sangat beragam. Perdagangan dan aliansi politik dari para penguasa dan pedagang tidak diragukan lagi memainkan peranan penting, disamping juga hubungan perkawinan. Umumnya semua proses Islamisasi ini berjalan dengan damai. Kedamaian ini disebabkan oleh karena sufism and the sufi orders played crucial parts in the process (Bruinessen, 1994:1).
Islam yang dilihat dan diajarkan kepada penduduk Nusantara sangat diwarnai pemikiran dan praktek sufi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa inilah yang membuat Islam begitu menarik bagi warga lokal. Perkembangan sufisme merupakan salah satu faktor penting yang memudahkan dan mensukseskan pengislaman di Indonesia.
Dalam konteks perkembangan tarekat sebagaimana diuraikan sebelumnya, Islam mengalami penyebaran besar-besaran di Indonesia lewat tarekat pada akhir abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17. Pakar asal Australia, Anthony Johns (1961), menegaskan bahwa peranan sufi begitu besar dalam Islamisasi, bukan saja karena beberapa guru-mubaligh sufi, tetapi para pedagang yang menjadi anggota tarekat juga berperan, begitu pula dengan pengamal aliran tasawuf tertentu.
Namun demikian, patut dijelaskan jenis tasawuf dan tarekat yang berperan di awal era Islam di Nusantara. Kajian terhadap manuskrip dari Sumatera dan Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, menemukan bahwa di samping pemikiran dan amalan sufi, juga ditemukan kitab-kitab hukum Islam standar. Ini menunjukan bahwa sufi yang berkembang di Indonesia telah mencapai keseimbangan relatif antara akidah, hukum dan tasawuf.
Tarekat berkembang membentuk sebuah organisasi tarekat, hal ini berdampak positif untuk menambah jumlah penganut dengan jumlah yang besar dan pesat. Dengan menjadi organisasi tarekat, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya penganut awam dalam tarekat maka tumbuh pula kecenderungan loyalitas yang berbeda. Ini sering dianggap dari satu sisi sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi dari sisi lain justru mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat dibutuhkan.
Kebutuhan yang dimaksud telah dibuktikan dalam upaya menentang kolonialisme asing. Salah satu yang menjadi catatan sejarah adalah gerakan pengikut tarekat Sammaniyah menentang usaha pendudukan kota Palembang oleh kolonial Belanda pada 1819 atau perlawanan terhadap penjajahan diKalimantan Selatan pada 1860-an. Pemberontakan Banten 1888 oleh tarekat Qadiriyah.
Ketika penguasa kolonial Belanda memberlakukan pajak baru atas komoditi tembakau di Sumatera Barat, masyarakat juga bangkit melawan dan dalam perlawanan ini terlibat intens tarekat Syattariyah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan adanya kesatuan di kalangan umat islam Indonesia yang mayoritas di negeri ini demi beberapa kepentingan. Dengan politik devide et empera yang di terapkan kolonial Belanda.
Upaya untuk mempersatukan umat islam memang berfluktuasi, mulai dari SI (Serikat Islam) dan Masyumi. Dalam peristilahan kaum Ahlussunah wa al-Jama’ah, terutama kalangan NU (Nahdatul Ulama), tarekat yang sah secara syariat bisa dipertanggung jawabkan disebut tariqat mu’tabarah. Organisasi Islam lain di Indonesia juga memperhatikan masalah ini adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah berpusat di Sumatera Barat dan juga al- Washliyah di Sumatera Utara.
Fenomena ini menimbulkan pengaruh timbal balik yang cukup signifikan antara organisasi kemasyarakatan umat islam yang melakukan penyesuaian dan mempunyai krriteria untuk bisa menerima aliran tasawuf dan kelompok tarekat, dengan para kelompok tarekat yang harus melakukan penyesuaian untuk bisa dikelompokan sebagai tariqat mu’tabarah tersebut.
Gesekan antar aliran ini meningkat dengan masuknya gerakan kebangkitan kembali umat Islam, baik dalam bentuk Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani, maupun tajdid Muhammad ‘Abduh, maupun puritanisme Wahhabiyah. Yang terpenting di Antaranya adalah membersihkan Islam Indonesia dari berbagai anasir yang non-Islami yang dikenal TBC (Takhyul, Bid’ah, dan Churafat.)
Faktor lain yang memainkan peran sangat signifikan terutama setelah Indonesia merdeka adalah kebijakan dan Intervensi pemerintahan dalam masalah agama dan keberagamaan, termasuk tentang tarekat. Peranan pemerintah ini dimainkan terutama oleh Departemen Agama yang bertugas untuk ‘Membina’ umat beragama.
3. KONDISI MASA KINI DAN PROYEKSI MASA DEPAN
Perkembangan keberagamaan di kalangan pengamal tasawuf dan pengikut tarekat di Indonesia setelah kemerdekaan terjadi banyak perubahan. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan ditemukan bahwa tidak seorangpun dari mursyid tarekat yang ada yang mengamalkan pola hidup faqir dan zuhud. Fasilitas peribadatan sudah semakin baik, dan banyak telah mempergunakan teknologi canggih.
Perubahan lain adalah bergesernya pola keberagaman esoterik (tasawuf/tarekat) yang dulunya bagian dari kehidupan desa dan masyarakat tradisional, beberapa tahun belakangan semakin berpindah ke fenomena masyarakat urban dan komunitas modern.
Fungsi pola keberagaman spiritual akan memudar bahkan eksistensi relijius mistis akan terancam dengan dominannya landasan pikir rasional empiris dan pola kehidupan empiris hedonistis ternyata tidak terbukti. Tetapi pola keberagaman yang menonjolkan aspek spiritualistis ternyata lebih berterima pergantian millennium dan diperkirakan semakin menguat pada awal abad ke 21.
Tradisi tarekat memiliki kekuatan khusus dalam situasi di mana tingkat pluralitas agama yang tinggi serta tantangan globalisasi yang kian meningkat. Perkumpulan persaudaraan ini mengizinkan penganutnya mempertahankan identitas kesalehan Islam di tengah melemahnya ikatan mayoritas Muslim secara umum. Tradisi ini juga memungkinkan artikulasi Islam dalam bentuk yang lebih seimbang. Tradisi tarekat mungkin memberikan potensi tertentu untuk menyesuaikan pranata modern dengan kebutuhan masyarakat madani (civil society) yang sedang muncul di pelosok dunia Islam.
Tarekat telah terbukti dan diproyeksikan akan terus bertahan, bahkan lebih berkembang menjadi sarana untuk mengartikulasikan identitas keislaman yang inklusif dengan penekanan yang lebih besar pada kesalehan ibadah individual dan ikatan pengalaman kelompok kecil yang sangat akrab. Transformasi besar era modern tidaklah menghancurkan basis polaritas ini.
sumber :
Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Indonesia, Oleh Prof. Dr. Nur A. Fadhil Lubis, M.A.
Masuknya agama Islam dan berkembangnya umat Islam di Indonesia terkait erat dengan peranan para sufi. Oleh karenanya, ajaran Tasawuf dan praktek tarekat menjadi salah satu tradisi intelektual dan pola keberagaman yang berkembang pesat dan bertahan kuat di Indonesia. Peranan para sufi dan lembaga tarekat dalam penyebaran agama Islam di Nusantara telah banyak menyita perhatian.
Proses masuk Islamnya penduduk Nusantara kelihatannya sangat beragam. Perdagangan dan aliansi politik dari para penguasa dan pedagang tidak diragukan lagi memainkan peranan penting, disamping juga hubungan perkawinan. Umumnya semua proses Islamisasi ini berjalan dengan damai. Kedamaian ini disebabkan oleh karena sufism and the sufi orders played crucial parts in the process (Bruinessen, 1994:1).
Islam yang dilihat dan diajarkan kepada penduduk Nusantara sangat diwarnai pemikiran dan praktek sufi. Banyak pihak yang menyatakan bahwa inilah yang membuat Islam begitu menarik bagi warga lokal. Perkembangan sufisme merupakan salah satu faktor penting yang memudahkan dan mensukseskan pengislaman di Indonesia.
Dalam konteks perkembangan tarekat sebagaimana diuraikan sebelumnya, Islam mengalami penyebaran besar-besaran di Indonesia lewat tarekat pada akhir abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17. Pakar asal Australia, Anthony Johns (1961), menegaskan bahwa peranan sufi begitu besar dalam Islamisasi, bukan saja karena beberapa guru-mubaligh sufi, tetapi para pedagang yang menjadi anggota tarekat juga berperan, begitu pula dengan pengamal aliran tasawuf tertentu.
Namun demikian, patut dijelaskan jenis tasawuf dan tarekat yang berperan di awal era Islam di Nusantara. Kajian terhadap manuskrip dari Sumatera dan Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, menemukan bahwa di samping pemikiran dan amalan sufi, juga ditemukan kitab-kitab hukum Islam standar. Ini menunjukan bahwa sufi yang berkembang di Indonesia telah mencapai keseimbangan relatif antara akidah, hukum dan tasawuf.
Tarekat berkembang membentuk sebuah organisasi tarekat, hal ini berdampak positif untuk menambah jumlah penganut dengan jumlah yang besar dan pesat. Dengan menjadi organisasi tarekat, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya penganut awam dalam tarekat maka tumbuh pula kecenderungan loyalitas yang berbeda. Ini sering dianggap dari satu sisi sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi dari sisi lain justru mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat dibutuhkan.
Kebutuhan yang dimaksud telah dibuktikan dalam upaya menentang kolonialisme asing. Salah satu yang menjadi catatan sejarah adalah gerakan pengikut tarekat Sammaniyah menentang usaha pendudukan kota Palembang oleh kolonial Belanda pada 1819 atau perlawanan terhadap penjajahan diKalimantan Selatan pada 1860-an. Pemberontakan Banten 1888 oleh tarekat Qadiriyah.
Ketika penguasa kolonial Belanda memberlakukan pajak baru atas komoditi tembakau di Sumatera Barat, masyarakat juga bangkit melawan dan dalam perlawanan ini terlibat intens tarekat Syattariyah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan adanya kesatuan di kalangan umat islam Indonesia yang mayoritas di negeri ini demi beberapa kepentingan. Dengan politik devide et empera yang di terapkan kolonial Belanda.
Upaya untuk mempersatukan umat islam memang berfluktuasi, mulai dari SI (Serikat Islam) dan Masyumi. Dalam peristilahan kaum Ahlussunah wa al-Jama’ah, terutama kalangan NU (Nahdatul Ulama), tarekat yang sah secara syariat bisa dipertanggung jawabkan disebut tariqat mu’tabarah. Organisasi Islam lain di Indonesia juga memperhatikan masalah ini adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah berpusat di Sumatera Barat dan juga al- Washliyah di Sumatera Utara.
Fenomena ini menimbulkan pengaruh timbal balik yang cukup signifikan antara organisasi kemasyarakatan umat islam yang melakukan penyesuaian dan mempunyai krriteria untuk bisa menerima aliran tasawuf dan kelompok tarekat, dengan para kelompok tarekat yang harus melakukan penyesuaian untuk bisa dikelompokan sebagai tariqat mu’tabarah tersebut.
Gesekan antar aliran ini meningkat dengan masuknya gerakan kebangkitan kembali umat Islam, baik dalam bentuk Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani, maupun tajdid Muhammad ‘Abduh, maupun puritanisme Wahhabiyah. Yang terpenting di Antaranya adalah membersihkan Islam Indonesia dari berbagai anasir yang non-Islami yang dikenal TBC (Takhyul, Bid’ah, dan Churafat.)
Faktor lain yang memainkan peran sangat signifikan terutama setelah Indonesia merdeka adalah kebijakan dan Intervensi pemerintahan dalam masalah agama dan keberagamaan, termasuk tentang tarekat. Peranan pemerintah ini dimainkan terutama oleh Departemen Agama yang bertugas untuk ‘Membina’ umat beragama.
3. KONDISI MASA KINI DAN PROYEKSI MASA DEPAN
Perkembangan keberagamaan di kalangan pengamal tasawuf dan pengikut tarekat di Indonesia setelah kemerdekaan terjadi banyak perubahan. Di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan ditemukan bahwa tidak seorangpun dari mursyid tarekat yang ada yang mengamalkan pola hidup faqir dan zuhud. Fasilitas peribadatan sudah semakin baik, dan banyak telah mempergunakan teknologi canggih.
Perubahan lain adalah bergesernya pola keberagaman esoterik (tasawuf/tarekat) yang dulunya bagian dari kehidupan desa dan masyarakat tradisional, beberapa tahun belakangan semakin berpindah ke fenomena masyarakat urban dan komunitas modern.
Fungsi pola keberagaman spiritual akan memudar bahkan eksistensi relijius mistis akan terancam dengan dominannya landasan pikir rasional empiris dan pola kehidupan empiris hedonistis ternyata tidak terbukti. Tetapi pola keberagaman yang menonjolkan aspek spiritualistis ternyata lebih berterima pergantian millennium dan diperkirakan semakin menguat pada awal abad ke 21.
Tradisi tarekat memiliki kekuatan khusus dalam situasi di mana tingkat pluralitas agama yang tinggi serta tantangan globalisasi yang kian meningkat. Perkumpulan persaudaraan ini mengizinkan penganutnya mempertahankan identitas kesalehan Islam di tengah melemahnya ikatan mayoritas Muslim secara umum. Tradisi ini juga memungkinkan artikulasi Islam dalam bentuk yang lebih seimbang. Tradisi tarekat mungkin memberikan potensi tertentu untuk menyesuaikan pranata modern dengan kebutuhan masyarakat madani (civil society) yang sedang muncul di pelosok dunia Islam.
Tarekat telah terbukti dan diproyeksikan akan terus bertahan, bahkan lebih berkembang menjadi sarana untuk mengartikulasikan identitas keislaman yang inklusif dengan penekanan yang lebih besar pada kesalehan ibadah individual dan ikatan pengalaman kelompok kecil yang sangat akrab. Transformasi besar era modern tidaklah menghancurkan basis polaritas ini.
sumber :
Sejarah dan Perkembangan Tarekat di Indonesia, Oleh Prof. Dr. Nur A. Fadhil Lubis, M.A.
Comments
Post a Comment