Skip to main content

STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT KOLONIAL

SUMBER : LEMBARAN SEDJARAH ( JILID 4), Sartono Kartodirjo; Yogyakarta; 1969.
I.    Persoalan dan Scope
            Studi ini dipusatkan pada masalah peranan pekerjaan dan pendidikan sebagai indikator posisi kelas sosial. Terbentuknya birokrasi modern menjadikan pendidikan syarat utama untuk mobilitas, baik melalui pekerjaan maupun penghasilan. Perkembangan perdagangan dan industri yang terbatas, serta adanya ikatan yang kuat dengan sistem hirarki status tradisionil, maka ada suatu kecenderungan umum untuk mengatur suatu urutan tingkat dari prestise status itu menurut jabatan dalam pemerintahan. Pada zaman kolonial kesempatan belajar sangatlah terbatas, maka sejak semula pendidikan barat dapat diasosiasikan sebagai status sosial yang tinggi dan menjadi lambang prestise. Disamping itu, cara hidup dan garis keturunan juga ikut menentukan posisi kelas sosial dalam masyarakat Jawa. Kekayaan maupun kepemilikan harta benda lainnya tidak selalu diakui sebagai penentu (kualifikasi) status dalam masyarakat tradisional.

II.                LATAR BELAKANG TRADISIONIL
            Sebelum bangsa Belanda
sampai di Indonesia, hirarki status tradisionil meliputi kelas-kelas sebagai berikut :
·         Kelas yang memerintah turun-temurun (terdiri atas golongan raja)
·         Pejabat-pejabat tinggi (pembantu-pembantu pribadi/ pengikut-pengikut raja)
·         Pejabat-pejabat rendahan
Pembagian pangkat dan prestise disesuaikan dengan posisi dalam hierarki kekuasaan, sedangkan kekayaaan hanya menjadi determinan sekunder dari sistem atau status itu. Pada puncak hirarki adalah raja sendiri. Raja menjadi kepala karena keturunan langsung dari aristokrasi yang sedang berkuasa. Dapat dikatakan dengan pasti, bahwa inti dari golongan berstatus adalah para pemegang jabatan kerajaan. Dapat dipastikan, bahwa tingkat posisi kelas sosial yang ditentukan menurut garis birokratis itu adalah hal yang tipis pada masyarakat tradisionil di Jawa.
Perbedaan yang mencolok antara rakyat desa dengan penduduk kota kerajaan pada masyarakat bangsa Jawa terlihat jelas hingga jaman modern sekarang ini. Cara hidup rakyat desa lebih dekat dengan kebudayaan rakyat dengan tradisinya yang kecil , cara hidup penduduk kota-kerajaan lebih dekat dengan kebudayaan-kota dengan tradisinya yang besar. Perbedaan cara hidup itu adalah tanda yang nyata dari status bangsawan dan penduduk desa.
Untuk menentukan kedudukan seseorang dalam masyarakat dapat dipergunakan dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang pemerintahan. Kedua, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh politisi seseorang didalam hirarki birokratis. Sebagai indeks tingkat, gelar dan nama pada masyarakat Jawa mempunyai nilai yang tinggi sekali. Priyayi  itu asal mulanya terjadi atas orang-orang yang terpakai oleh penguasa karena kerabat atau karena pengabdian teradisionil atau karena kecakapan dan menunjukkan kesetiannya kepada kepentingan penguasa. Dengan begitu, Priyayi mempunyai keyakinan, bahwa mereka dalam segala hal memang lebih daripada kelas dibawah mereka.
III.             MASYARAKAT KOLONIAL DAN STRUKTURNYA.
            Hubungan colonial didasarkan pada sistim kelas sesuai dengan struktur sosial yang ada. Stratifikasi kolonial didasarkan  pada pembedaan ras. Pembatasan jabatan yang tajam ditentukan atas dasar rasial dan mobilitasnya keatas ditentukan batas-batasnya sampai pada tingkat-tingkat tertentu. Perbedaan status antara segolongan kecil penduduk kulit putih dan massa bumiputera sangatlah mencolok, golongan orang kulit putih itu diatas dan massa bumiputera dibagian yang paling bawah.
Ciri sosial lain yang mencolok pada masyarakat jajahan di Jawa adalah pembatasan-pembatasan dalam pergaulan sosial antara ras-ras tersebut. Orang Jawa dilarang keras memasuki perkumpulan, lapangan-lapangan, olahraga, sekolah-sekolah, tempat umum dan daerah tempat kediaman bangsa Belanda. Semua bentuk pemisahan yang mencolok itu di-institusionalisasi-kan untuk mencegah kontak rasial pada tingkatan-tingkatan dimana ada kesamaan sosial atau keakraban.
Suatu hal yang khas bagi masyarakat kolonial, bahwa ada perbedaan pokok antara apa yang dinamakan pekerjaan-pekerjaan Eropa dan yang non-Eropa. Pengangkatan-pengangkatan pada pos-pos kategori pekerjaan Eropa itu berhubungan erat dengan skala-skala. Gaji khusus, yang dicocokkan dengan taraf hidup yang tinggi dari golongan Eropa. Inilah apa yang dinamakan golongan penghasilan skala-C. untuk skala-B pengetahuan tentang bahasa Belanda diwajibkan, sedangkan untuk skala-A meliputi beberapa pos dimana bahasa Belanda diwajibkan dan beberapa pos untuk mereka yang berpendidikan sekolah elementer dengan bahasa bumiputera.
Dikatakan secara umum, sangatlah jelas bahwa perbedaan penghasilan itu sebagian besar disesuaikan dengan pembagian ras, dengan rata-rata sedikit golongan Eropa diatas, dan banyak sekali golongan bumiputera dibagian yang paling bawah.
Kriteria lain yang biasanya dipergunakan untuk menempatkan seseorang pada struktur sosial adalah tipe tempat tinggal. Dengan pasti, bahwa rumah dengan gaya modern diduga menjadi tanda status kehidupan yang tinggi. Lokasi rumah yang khusus, ukuran besarnya, struktur dan susunannya, semuanya itu berukuran besar, dibuat dari batu, seperti halnya rumah-rumah pegawai menengah dan pegawai tinggi, sedangkan pegawai rendahan beretempat tinggal di rumah-rumah kayu dan penduduk desa di rumah-rumah bambu.
IV.     PERANAN PENDIDIKAN
            Sistem pendidikan pada umumnya dianggap sebagai alat menyeleksi dan melatih orang untuk memegang posisi dalam suatu situs pada suatu masyarakat. Sebagian besar dari golongan bumiputera yang berpendidikan Barat memperoleh pekerjaan pada dinas. Dapatlah dikatakan, bahwa politik penggajian pemerintah didasarkan pada penyamaan fungsi dengan gaji dan pendidikan. Jadi daya penarik dari pendidikan barat itu ialah karena memberi prioritas untuk memperoleh posisi pengawasan dan kekuasaan.
Meskipun demikian, pada mulanya pendidikan barat sangat terbatas, hanya tersedia bagi anak priayi tinggi. Lain dari pada itu pengetahuan bahasa Belanda diwajibkan, sehingga pengetahuan itu lambat laun hampir identik dengan lambang status yang tinggi. Selanjutnya pendidikan Barat diluaskan dan menjadi terbuka, untuk mereka yang berbakat maupun berbangsa. Dan perlu dicatat sebenernya ijin masuk masih dibatasi, sesungguhnya pendidikan tidaklah bebas hanya segolongan kecil yang dapat mendidik anak-anaknya pada sekolah yang bergaya Barat.
            Mengenai perkembangan sistem sekolah di Indonesia, publikasi resmi mencatat bahwa dari 1900- sampai 1928 pelajar dari pendidikan rendah bumuputera berlipat ganda kira-kira 12 kali atau dengan angka yang mutlak dari 125.444 orang menjadi 1.513.088 orang. Angka yang absolut rupanya tidak begitu menarik, karena jumlah pelajar hanya menunjukan 2,93% dari seluruh penduduk jawa dan 2,91% dari seluruh penduduk luar jawa
            Pada taraf sekolah menengah terjadilah proses yang sama. Jumlah pelajar menengah golongan bumiputera pada 1900 adalah 25 orang. Pada permulaan abad-20 mencapai jumlah 2.602 orang dan pada 1928 jumlahnya 6468 orang. Perkembangan pendidikan tinggi dapat diterangkan dengan singkat. Tentang hal ini cukup disebut, bahwa perguruan tinggi didirikan baru pada tahun duapuluhan dan pada 1928 jumlahnya seluruh mahasiswanya adalah 259 orang.
            Pertanyaan selanjutnya yang ada hubungannya dengan stratifikasi sosial ialah : apakah jabatan orang-orang tua murid pada berbagai lembaga pendidikan di Jawa itu? Termasuk dalam jenis golongan penghasilan yang manakah mereka itu ? pertanyaan-pertanyaan ini pasti akan memberi penjelasan tentang struktur kelas masyarakat kolonial di Jawa.
            Kenyataan pertama yang ditunjukan ialah 86% dari orang-orang tua murid sekolah rendah Barat adalah buruh upahan dan orang gajian. Golongan ini 73,8% terjadi atas pegawai negri dan 26,2% pegawai perusahaan partikelir. Mereka umunya adalah orang berada, majikan perusahaan dan pedagang. Kelas pekerja rendah tidak ada diantara golongan Cina dan Jawa.
Perlu diingat lagi, pada permulaan syarat masuk ke sekolah rendah Barat dilakukan secara selektif. Seleksi ini didasarkan pada jabatan dan kekayaannya, pegawai pemerintah paling, sedikit berpangkat asisten-wedana atau camat. Sebagai kriteria kekayaan adalah penghasilan yang ditaksir f.-   100,- sebulan setelah beberapa lamanya, syarat masuk itu sedikit demi sedikit diringankan dan sekolah-sekolah rendah barat tidak lagi menjadi lembaga kemartabatan.
Pada 1928 sekolah-sekolah rendah Barat diisi oleh 81.000 orang anak bumiputera, diantara mereka itu kira-kira 11.400 orang adalah anak-anak dari orang tua berpenghasilan sebulan f.   100- atau lebih. Timbullah soal : seberapakah besarnya lapisan dari elite Jawa atau Priyayi itu ? menurut publikasi dari kantor Dinas Sipil Pemerintahan jumlah seluruh pegawai sipil dan anggota dinas militer kolonial yang berpenghasilan sebulan lebih dari f.   100,- atau lebih sebulan adalah 11.876 orang.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan dengan pasti, golongan yang ‘’berada’’ merupakan lapisan yang sangat tipis dari masyarakat Indonesia dan dimana-mana mereka merupakan minoritas. Marilah kita tinjau korelasi kestabilan yang diperoleh dari pendidikan beserta apa yang bisa dicapai dalam jabatan dan kesempatan untuk mobilitas sosial.
 sebelumnya kita kembali menengok masalah peranan pendidikan didalam mobilitas sosial pada masyarakat kolonial di Jawa. Bukti tentang masalah ini hampir tak dapat ditemukan. Kita tidak dapat melalaikan kenyataan, bahwa pada tahun permulaan abad ini, ketika sekolah bergaya Barat baru saja mulai dan pemerintah yang besar akan pekerja kantor timbul serempak dengan perluasan yang cepat dari perusahaan barat dan dinas pemerintahan.  
            Pada tahun belakangan abad – 20 ini ketidak seimbangan antara jumlah pelajar tamatan sekolah bergaya Barat dan jumlah posisi yang tersedia pada dinas pemerintahan, menyebabkan sejumlah orang yang berpendidikan Barat itu tidak dapat diterima pada dinas pemerintahan. Keadaan ini membawa akibat-akibat pada peranan sosial kaum intelligensia modern itu. Karena posisi mereka menurut pendidikan tak terpenuhi, maka mereka mendirikan suatu organisasi hirarkis yang tak resmi berdasarkan nilai-nilai sosial uang baru.
            Untuk memperoleh beberapa pengertian tentang mobilitas sosial dijabatan inter-generasi pada masyarakat Jawa, kita harus melihat penyelidikan asal-usul sosial dari pegawai pemerintah dari tingkat menengah bagian bawah yang termasuk dalam skala – B – 9, dan pegawai dari tingkat rendah bagian atas yang termasuk dalam skala – A - 5.
JABATAN AJA
SKALA – B - 9 KOMIS 
ANGKA MUTLAK            %
SKALA–A-5 JURU TULIS
ANGKA MUTLAK           %
A)    Tingkat atas : A – 23, 25 misalnya : kepala distrik 
483                                      25,91
572                                     15,2
B)    Tingkat menengah bagian atas : B – 9, A – 16 misalnya : guru
307                                16,47
435                                    17,7
C)    Tingkat rendah bagian atas : A – 5 , 8. Jurutulis
619                                35,21
939                                    38,3
D)    Tingkat rendahan : A – 1 , 5, superintendan
105                                   5,63
337                                     13,8
E)     Kaum tani
271                                  14,54
295                                    12,0
F)     Kaum dagang
79                                     4,24
73                                       3,0
JUMLAH
1.864                                100
2.451                                 100
           
            Angka itu dengan jelas menunjukan, bahwa sebagian besar dari komis berasal dari orang-orang tua yang posisinya lebih rendah dari pada mereka sendiri. Demikian pula dengan golongan jurutulis. Disinilah orang menemukian mobilitas vertikal yang disebabkan karena pendidikan Barat.
            Pada periode itu, sebelum orang yang berpendidikan Barat jumlahnya cukup banyak, keahlian yang di peroleh dari pendidikan sedikit saja sudah cukup untuk memegang peranan dalam jabatan. Kesempatan yang luas yangt disediakan oleh dinas pemerintahan dan perusahaan partikelir, tak dapat diragukan lagimempunyai pengaruh pada proses mobilitas jabatan.


V.      BEBERAPA KESIMPULAN
            Ada hal yang karakteristik yang terkandung dalam semua aspek kehidupan sosial di Jawa selama periode kolonial. Yang menarik perhatian pertama ialah adanya jurang antara penjajahan dan yang terjajah antara kulit putih dan kulit coklat. Masing-masing merupakan lapisan dalam masyarakat, benar-benar terpisah oleh undang-undang tertulis. Hal yang paling menjolok dalam sistem masyarakat kolonial ialah : adanya diskriminasi peranan-peranan antara golongan Eropa dan golongan Bumiputera.
            Timbulnya pendidikan Barat kualifikasi pendidikan menjadi lambang prsetise dan menjadi keharusan bagi status yang tinggi. Lambang-lambang lain, seperti garis keturunan, cara hidup dan kekayaan juga menjadi indikasi yang penting dari status sosial. Harus diakui, bahwa bagaimanapun juga, pendidikan mempersiapkan orang secara lebih baik untuk memperoleh kemajuan di dalam masyarakat modern di Jawa.
            Secara singkat, pendidikan menjadi lebih penting sebagai alat untuk mobilitas sosial bagaimanpun juga sangatlah disayangkan, bahwa diskriminasi kelas menjadi perintang kebutuhan mereka pada umunya. Studi ini bertujiuan menemukan korelasi antara pendidikan modern dan struktur status pada masyarakat kolonial di Jawa, yaitu setelah mobilitas vertikal dalam lingkungan kasta itu dibenarkan secara umum. Karena memotong batas. Kasta tidak mungkin, sehingga privilese politik, ekonomis dan sosial yang dinikmati oleh golongan Eropa itu tidak dapat dinikmati oleh golongan bumiputera.

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis ...

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia mer...

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN A.    TUJUAN Mengetahui adanya karbohidrat, lemak, dan protein pada makanan. B.     ALAT DAN BAHAN Alat 1.        Tabung reaksi 2.        Mortar 3.        Plat tetes 4.        Kertas buram 5.        Pembakar Spirtus Bahan 1.        Larutan benedict (Fehling A + Fehling B) 2.        Larutan lugol 3.        Larutan biuret (NaOH 20% + CuSO4 0,1 M) 4.        Berbagai bahan makanan C.     CARA KERJA I.       UJI KARBOHIDRAT (AMILUM) 1.     Hancurkan bahan makanan yang akan diuji menggunakan mortar porselein. 2.     Masukkan masing-masing baha...