sumber : LEMBARAN
SEDJARAH (JILID 4), Sartono
Kartodirjo; Yogyakarta; 1969.
Bagian
I : Status dan mobilitas social pada masyarakat pre-kolonial
Pada
zaman pra-kolonial di Indonesia, banyak terdapat kesatuan kesatuan
sosio-kultural, antara lain sistem sosio-kultural Melayu, Sunda, Jawa, dan
Bali. Sistem sosio-kultural adalah suatu kesatuan segmen-segmen dan institusi
sosial yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan secara fungsional yang
satu bergantung pada yang lain, juga menu8njukkan suatu jenis masyarakat yang
khusus pula. Contohnya masyarakat Jawa pada zaman Majapahit dan zaman Mataram
serta masyarakat Melayu abad ke-15 dan masyarakat Bali abad ke-19. Sistem
sosio-kultural sangat kompleks dan teritorialnya luas, meliputi sistem lokal
yang sederhana. Dalam perkembangan sejarah dan pertumbuhannya, sistem tersebut
sudah ada sejak dahulu, tidak berubah sama sekali, contohnya dalam periode kuno
kebudayaan Jawa, masyarakat desa merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, yang
kemudian menjadi bagian dari kerajaan yang terikat. Lambat laun, masyarakat
desa ditempatkan dibawah pengaruh pusat politik dan kebudayaan.
Aspek-aspek
sistem sosio-kultural meliputi integrasi sosial, stratifikasi sosial,
nasionalitas, integrasi politik, dan integrasi kultural. Aspek-aspek tersebut
saling berhubungan satu sama lain dalam kesatuan sosio-kultural.
Dalam
wilayah Majapahit, dijumpai institusi-institusi supra lokal permanen dari
kehidupan politik yang berdiri sendiri, dan juga masyarakat-masyarakat bagian
yang termasuk dalam jaringan politik negara. Sistem politik meliputi hubungan
territorial serta hubungan segmen-segmen pertalian keluarga dan segmen ikatan
religius. Faktor stabilitasi hubungan antar regional adalah organisasi
pengadilan dan militer, sedangkan koordinasi hubungan antar regional dilakukan oleh
organisasi administrasi.
Masyarakat
yang kompleks adalah suatu susunan dari tiga bagian, antara lain kelompok yang
dibagi secara vertikal, kelompok yang dibagi secara horizontal, dan institusi
formal yang terdapat di seluruh masyarakat. Kelompok yang dibagi secara
vertikal tumbuh dari diferensiasi yang terjadi, misalnya variasi lokal yang
diakibatkan adaptasi kultural yang berbeda atau sisa-sisa kebudayaan yang lebih
tua. Kelompok yang dibagi secara horizontal tumbuh dari sifat-sifat yang sama
dari anggotanya yang bersebaran, seperti kasta. Institusi formal berpengaruh
pada berbagai bidang yang mengikat kesatuan lokal dan kelompok kecil menjadi
satu, sehingga timbul penyatuan antara kehidupan lokal dan kehidupan kerajaan.
Kebudayaan
pada zaman Majapahit meliputi agama, kesenian, sastra, dan ilmu negara, yang
diciptakan dan digunakan lebih banyak oleh kelompok kelas atas daripada
penduduk pada umumnya. Walaupun demikian, hubungan yang tersebar di seluruh
negeri menimbulkan pertalian antara penduduk desa dan kaum elite serta
komunitas desa dan komunitas kota. Proses integrasi dalam hubungan ini
dilukiskan sebagai interaksi antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil. Masyarakat
desa membutuhkan perlindungan politik masyarakat yang lebih luas dan menjadi
bagian dari jaringan institusional. Wajar apabila masyarakat desa juga terikat
oleh tradisi kultural kaum elite dan tradisi kultural kerajaan.
Perpaduan
antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil di Majapahit melahirkan peradaban
campuran berdasarkan segi kultural ko-eksistensinya. Tradisi-tradisi itu
terdapat pada kelompok-kelompok rakyat yang menjadi pendukung peradaban dalam
tingkatan-tingkatan yang tidak sama. Kelompok-kelompok rakyat ini hidup dalam
keadaan yang berbeda-beda dalam lingkungan sendiri. Tingkatan rakyat kebanyakan
terikat pada Tradisi Kecil berupa kepercayaan-kepercayaan lokal, sedangkan
tingkatan kaum elite dan kaum cendekiawan terikat pada Tradisi Besar berupa
kepercayaan Hindu - Buddha dari India.
Pada
persoalan integrasi politik, integrasi tingkat negara ditandai dengan munculnya
pola-pola baru yang menyebabkan satu masyarakat desa bergantung dengan
masyarakat desa yang lain secara fungsional dalam suatu sistem yang lebih luas.
Masyarakat desa ikut dilibatkan dalam proyek-proyek kerajaan, seperti pengadaan
jalan dan pembuatan irigasi. Sistem pengawasan yang timbul dari kebutuhan
ekonomi, militer, dan agama menciptakan hirarki politik, sistem-sistem kelas
sosial, dan status-status sendiri.
Masyarakat
yang kompleks memiliki korelasi dengan diferensiasi sosial dan integrasi
fungsional yang terdapat dalam kesatuan yang berasal dari interdependensi
bagian yang terperinci secara fungsional dan sedikit banyak dispesialisasikan.
Interdependensi fungsional merupakan suatu dimensi dari integrasi sosial yang dibutuhkan
dalam sistem pembagian kerja pada masyarakat secara terperinci demi terwujudnya
stratifikasi sosial.
Pada
masyarakat tradisional, sistem tingkat tersusun sesuai dengan tingkat-tingkat
kebangsawanan dan hirarki dalam birokrasi. Sistem tingkat dari segmen
masyarakat yang beragam merupakan struktur yang koheren. Artinya, seorang dari
golongan bangsawan memegang posisi dalam sistem tingkat birokrasi atau militer
dengan status yang setingkat dengan status kebangsawanannya, begitu pula
sebaliknya. Hubungan antara sistem-sistem tingkat itu ditentukan sedikit
banyaknya atas hubungan individual dengan raja. Derajat yang menghubungkan
pangkat-pangkat yang sama dan mengkristalisasikan kelas-kelas sosial diseluruh
masyarakat adalah rendah. Seringkali, dasar stratifikasi tingkat sosial adalah
umur, jenis kelamin, keturunan etnis, dan kekuatan supranatural. Masyarakat
yang terperinci secara kualitatif
memiliki kebudayaan yang lebih kaya daripada masyarakat yang terperinci
atas kesatuan yang sama coraknya.
II. Masyarakat
Majapahit beserta Lingkungannya
Pada
abad ke-14 menjadi jaman puncak kemegahan kerajaan Majapahit dibawah
pemerintahan Hayam Wuruk. Pertanian yang maju serta perdagangan yang mendunia
menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk meluaskan pengawasan territorial,
untuk mengembangkan birokrasi yang makin terperinci, dan untuk menyusun
kekuatan politik yang semakin disentralisasi. Hal itu karena perkembangannya
terjadi melalui pemungutan upeti negeri-negeri taklukan atau negeri-negeri
lemah hingga dominasi politik atas suku-suku bangsa Nusantara tanpa peleburan
territorial. Jadi, dalam wilayah politik Majapahit terdapat perhubungan antar
daerah sistem sosio-kultural yang berintegrasi secara territorial. Masyarakat
Majapahit dapat dikatakan sebagai masyarakat pertanian dan perdagangan.
Majapahit
memiliki daerah luas bertanah vulkanis muda yang subur dan sungai-sungai besar
seperti sungai Brantas dengan anak sungainya. Oleh sebab itu, di daerah inti
dibangun sistem irigasi yang luas sehingga produktivitas pertanian menjadi
basis peradaban. Sebelum integrasi sosio-kultural tercapai, tingkat negara yang
ada hanya komunitas-komunitas kecil dengan spesialisasi yang terbatas serta
hubungan ekonomi, sosial, dan agama antar komunitas tidak begitu banyak.
Perkembangan bangunan irigasi berakibat pada pembentukan sistem sosio-kultural
supra-komunitas yang terintegrasi melalui kerjasama dalam persoalan irigasi
dibawah pengawasan kelas teokratis dan menghasilkan produktivitas yang
bertambah. Pemerintah pusat tidak berkewajiban untuk mengurus irigasi selama
kerjasama informal antar komunitas dapat dilaksanakan dengan sistem yang hanya
memiliki beberapa bendungan kecil dan saluran air yang panjangnya hanya
beberapa mil.
Suatu
hirarki pengurus dibentuk, baik atas dasar religius maupun dasar sekuler.
Integrasi komunitas yang bersifat seremonial ditunjukkan dengan adanya
kelompok-kelompok pemukiman kecil yang berada di sekitar tempat ibadah. Setelah
institusi supra-komunitas berkembang, komunitas desa tetap memiliki otonominya.
Hanya hamba-hamba kerajaan yang diwajibkan bercocok tanam atas nama raja dan
para pejabat kerajaan. Kerajaan sebagai sistem multikomunitas diperlukan dalam
hal pengawasan irigasi, bangunan monumental, dan pengerahan tenaga kerja serta
perencanaan kerja. Otoritas politik ada di tangan raja, yang dianggap sebagai
penjelmaan dewa.
Kekuasaan
pemerintah pusat diperkuat dengan mengembangkan hal-hal yang berhubungan dengan
upacara dan birokrasi. Pesta kerajaan digelar setiap tahun untuk menghormati
arwah Ibu Suri. Pesta untuk merayakan panen pertama juga digelar, dan
menyebabkan konsentrasi besar di ibukota. Upacara agama digelar - baik pusat
kerajaan maupun daerah – berpusat di candi-candi, makam-makam, dan tempat suci
lainnya dengan menyediakan hasil-hasil kerajinan tangan, barang-barang mewah,
serta membutuhkan hasil-hasil pertanian, pajak, dan kerja-wajib. Perlu
diketahui bahwa golongan pendeta berperan secara fundamental dalam upacara
tersebut.
Pemerintah
pusat melakukan koordinasi dan integrasi masyarakat dengan mengadakan birokrasi
organisasi dan pengawasan, seperti pemungutan pajak, upeti, barang-barang dan
tenaga-tenaga dalam segala bentuk. Perkembangan birokrasi berhubungan teratur
dengan tingkat kompleksitas kultural. Bila dibandingkan dengam Mataram,
birokrasinya lebih terperinci lagi karena kompleksitas kulturalnya yang
berderajat tinggi. Basis kekuasaan Majapahit berada ditangan birokrasi sekuler,
politik, dan militer. Para pendeta dari berbagai aliran dimasukkan dalam
birokrasi kerajaan.
Kebudayaan
Majapahit merupakan kebudayaan istana (kebudayaan para bangsawan dan
rohaniawan) yang diciptakan para penguasa berupa kepemilikan dan hasil kerja
yang eksklusif. Seluruh kebudayaannya menjulang tinggi jauh diatas rakyat
kebanyakan, seperti monumen, kesusastraan, tulisan teokratis, dan ajaran hukum.
Persawahan
merupakan tulang punggung perekonomian pada masa Majapahit. Untuk menjamin
stabilitas dan persediaan makanan secara teratur, diperlukan organisasi
pekerjaan pada skala yang luas dan berhubungan timbal-balik dengan perkembangan
masyarakat dan administrasi. Hasil panen datang dari masyarakat desa atau tanah
privat yang tersebar di seluruh negeri.
Kerja-wajib diberlakukan untuk kepentingan para penguasa. Adapun upeti
dan pajak dipergunakan demi kepentingan para pegawai, tentara, dan rumah tangga
raja.
Pemukiman
terpencar di lembah sungai dan pegunungan. Banyak komunitas desa yang memiliki
tanah persawahan yang luas karena tempat tersebut masih sangat sedikit
penduduknya. Adapun raja dan anggota keluarganya, mereka mempunyai daerah
tersendiri yang dikerjakan oleh hamba raja. Disamping komunitas pertania,
komunitas privat,dan komunitas rohaniawan, terdapat komunitas lain yang
mendapat hak-hak istimewa yang menjadi tempat tinggal para buruh dan para
pedagang beserta kedainya.
Sebagian
dari perdagangan orang Jawa, baik dalam maupun luar negeri disandarkan terutama
pada beras. Pihak istana mempunyai wewenang untuk memegang pengawasan
persediaan beras di seluruh negeri. Penguasa Majapahit juga mengawasi
perdagangan di kota-kota pantai utara Jawa Timur, dimana kekuasaan politik dan
ekonomi di daerah itu dikuasai oleh kaum aristokrat yang mendominasi
perdagangan sebagai pemberi modal, kadang-kadang berperan sebagai peserta. Di
jaman majapahit pula terjadi pertentangan antara masyarakat pedalaman dengan
masyarakat pantai yang akan berakhir karena penaklukan oleh dinasti yang
berkuasa. Para aristokrat hampir musnah akibat pertentangan tersebut.
Penguasa
Majapahit telah berhasil menegakkan kesatuan politik dalam wilayah yang sangat
luas. Hal itu dikarenakan adanya kekuatan integratif yang memperkuat
solidaritas dalam sistem politik pada umumnya, yaitu mitos dan religi.
III.
KOMUNITAS POLITIK
Sistem politik
Majapahit bersifat territorial. Keadaan yang berdekatan merupakan salah satu
factor yang menyatukan berbagai unsur. Ikatan territorial akan mengikat
hubungan antar penduduk desa, sedang ikatan kekerabatan sebagai ikatan
pengeratnya. Struktur territorial Majapahit berhubungan dengan kepercayaan yang
bersifat kosmopolit, dan menjadi proto-type struktur territorial
kerajaan-kerajaan Jawa dikemudian hari. Ibu kota sebagai tempat kediaman raja
terletak jauh dari kota lainnya. Kerajaan-kerajaan disekitarnya mencari bantuan
kepusat, diantaranya Kahuripan dan Kediri.
Sistem
pemerintahan gubernur di propinsi sama seperti pemerintahan di Majapahit.
Fungsi gubernur meliputi pertahanan wilayah, pengumpulan penghasilan kerajaan
dan penyerahan upeti keperbendaharaan dan lumbung kerajaan. Dalam hal ini
sedikit terlihat perkembangan politik yang menuju kearah sentralisasi
administrasi dan monopolisasi mesin
pemerintahan di tangan sekelompok penguasa yang dikepalai oleh raja.
Sentralisasi ini memperbesar kekuasaan raja serta mencegah pemberontakan.
Perkembangan pemerintahan kerajaan dapat terjadi karena dua hal yakni:
Pertama:
karena tidak adanya otonomi kota, Kedua: karena desa-desa tidak melahirkan
lembaga-lembaga local.
Rajalah yang menyatukan pelaksanaan
kekuasaan tertinggi dan berbagai lambang- lambang yang bersifat magis. Raja juga memegang
kekuasaan tertinggi atas kekuatan militernya dan administrasinya. Seperti yang
telah ditunjukkan diatas hubungan antara raja dengan pegawai-pegawainya
menciptatakan suatu hubungan yang disebut clientship.
Hubungan semacam ini juga terjadi ditingkat regional dan local. Maka oleh
karena itu sepanjang jaman Majapahit tidak terdapat birokrasi yang jelas.
Dalam kehidupan ekonomi dan politik
daerah, kaum bangsawan daerahlah yang memiliki pengaruh terbesar. Maka orang-orang yang dapat dipercaya oleh
raja mengenai kekuasaannya adalah wilayah raja sendiri, yaitu di wilayah
mahkota yang dibuka dan dikerjakan oleh bawahannya dan diawasi oleh abdi raja;
di pemukiman keluarga ulama dan di mandala. Unifikasi negara dan konsekuensi
dibangunnya birokrasi yang diatur secara sentral itu berarti, bahwa perjuangan
kekuatan politik lebih diarahkan kepada pembagian jabatan dari pada pembagian
tanah.
Seperti masyarakat agraris lainnya,
di Majapahit agama memegang peranan yang sangat penting dan tokoh agama sangat banyak. Adanya kekuasaan raja
menimbulkan asumsi bahwa raja merupakan dewa. Hal ini diperkuat dengan adanya
suatu penikatan diri pada suatu lambing kekuasaan religious yang tertinggi,
sehingga tidak member kesempatan pada agama untuk berkembang menjadi agama yang
dominan dan bebas.
Salah satu tanda yang esensial dari
kerajaan dalam sejarah jawa adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Karena
konsepsi adanya dua hal dalam kosmos dan masyarakat maka itu memiliki arti yang
besar pada alam pikiran bangsa Jawa, maka hubungan ritual antara kerohanian dan
keduniawian harus dilakukan dengan maksud melindungi kerajaan. Akhirnya kekuatan militer memilii arti
fungsional dalam mengembangkan integrasi kerajaan. Kekuatan militer yang dibilang kecil itu
dibangun oleh anak-anak muda.
IV.
SISTEM STATUS
Sistem
status dapat dianalisa dari pangkal posisi fungsionil pasa struktur sosial yang
ada. Dalam sistem status pada masyarakat tradisional tidak dapat menerapkan
definisi tentang pengertian status yang ada karena akan sangat dubieus. Serta differensiasi dan
stratifikasi sosial jauh lebih sederhana dari pada msyarakat industri. Agama
dan pemerintahan pada masyarakat Majapahit dapat menimbulkan terjadinya
integrasi : agama integrasi dalam hal kepercayaan dan ritual, dan pemerintahan
integrasi dalam hal hukum dan kekuasaan. Posisi politik disatukan dengan agama,
dan ada tendensi untuk membatasi spesialisasi. Sistem kelas sosial dapat dari
keturunan dan dapat diubah dengan adanya usaha. Sistem kasta dalam masyarakat
Majapahit hanya sebagai hiasan teorotis dalam literatur istana, dimana terjadi
mobilitas sosial. Golongan bangsawan dan golongan bangsawan rendahan merupakan
sistem yang terbuka, karena hubungan matrimonial dengan orang kebanyakan
tidaklah terlarang.
Puncak
struktur sosial terjadi atas kelompok keluarga raja. Keluarga raja tidak dapat
dimasukkan kedalam sistem kasta karena tempat mereka diatas manusia biasa. para
mandarin ( mantri) mempunyai pengaruh
politik yang besar dan memperoleh keuntungan ekonomi yang lumayan. Administrasi
kerajaan mengharuskan adanya golongan pegawai. Hubungan politik antara penguasa
dan pegawai sifatnya clientship. Ulama
termasuk dalam elite politik. Tugas yang dipegang oleh tiap-tiap kelompok
didalam sistem politik menentukan posisi yang mereka duduki dalam strata sosial.
Pembagian
pangkat dan prestise dilakukan menurut posisi dalam hirarki kekuasaan, sedang kekayaan
menjadi determinan kedua. Raja berada dipuncak hirarki. kewibawaan raja
membuatnya diposisi yang mulia dan tinggi. Raja sebagai pusat masyarakat dan
kosmos dan untuk kesejahteraan negeri. Kombinasi kekuasaan religius dan sekuler
menyebabkan adanya tendensi kearah kekuasaan yang absolut. Raja sebagai kepala
karena pewaris keturunan aristokrasi yang sedang berkuasa. Bangsawan yang
mengepalai pemukiman beserta tanahnya dipertalikan dengan keluarga raja pada
masa dulu disebut parawangsa. Kerabat
yang terkemuka menurut adatnya disebut ksatriya.
Para bangsawan istana dikelompokkan dalam lingkungan istana diibukota karena
menjadi saingan potensiil raja sendiri.
Setelah
kekuarga raja ada 3 orang mantri
besar ( mandarin) Hino, Sirikan, Halu. Mantri hino sebagai mahamantri, dianugerahkan kepada anggota raja yang muda. Patih
adalah yang paling terkemuka dari patih yang lain. Tumenggung, demang, kanuruhan dan rangga adalah kepala departemen bagian sipil, sedang djuru pengalasan adalah kepala bagian
militer. Jabatan pengadialan-religius dikepalai oleh dharmadyaksa dan upapati.
Juga
mantri bhujangga (cendekiawan),
seperti ahli hukum, penyair, dll diharapkan memberi nasehat duniawi dan
tuntunan rokhaniah. Ulama istana dikepalai oleh 2 dewa yakni Sjaiwadharmadhyaksa dan Bhuddadharmadhyaksa.
Ada
pangkat tengah dan rendahan. Mereka adalah mantri
(mandarin atau pembesar), para tanda
(kepala jawatan), para gusti (kepala
rendahan) dan para wadyahadji
(pegawai rendahan). Selain itu ada Bayangkari,
empat pasukan pangalasan, juga balagama.
Kaum
bangsawaan daerah ditempatkan langsung sesudah para mantri istana (mandarin).
Para mantri akuwu ring pinggir
disejajarkan dengan bangsawan asing. Kemudian ada ratu yaitu anggota keluarga
kelas penguasa dari kerajaan tetangga atau anggota keluarga raja asing yang
mewakili kerajaan. Keluarga bangsawan birokrat memperoleh privilese seperti :
prestise sosial dan pendidikan cara hidup kaum bangsawan.
Diluar
kelas yang berkuasa seperti kaum agama atau apinghay
(kaum putih), kaum tani atau anak thani,
dan budak atau bertya. Perbedaan
antar orang pedesaan dengan orang istana menyebabkan subculture. Perdesaan lebih dekat dengan kebudayaan rakyat dengan
Tradisi Kecilnya, kota istana lebih dekat dengan kebudayaan kota dengan Tradisi
Besarnya.
Golongan
kedua dari penduduk desa terjadi atas keluarga petani bebas (rama) dan anggota komunitas biasa (dapur) yang diperintah oleh para
pengetua (buyut). Dapur adalah organisasi yang penduduknya dari keluarga petani
kuno (kulina). Prestise dan privilese sudah terkandung dalam status mereka
sebagai keluarga inti. Migrasi adlah tindakan yang efektif untuk melawan tirani
dan perbudakan. Dalam Majapahit, perbudakan itu ada. Alasannya karena tidak
dapat membayar denda yang dikenalkan sebagai hukumannya, saat kalah perang, dan
yang diperoleh dari ekspedisi perdagangan. Mereka disusuh kerja paksa diistana
dan sebagai petani untuk kepentingan kerajaan.
Di
Majapahit juga terdapat komunitas yang berdiri sendiri dinamakan kalagyan atau kabanyagan yang dihuni oleh pedagang, empu, dan tukang. Ini
merupakan enclave di wilayah
perdesaan yang terisolasidari wilayah yang lain dan dianggap suci. Empu diberi
tempat yang terhormat dalam masyarakat meski bukan dalam kelas sosial yang
besar. Pedagang besar dipelabuhan diberi hak menumpuk persediaan barang sebagai
imabangan pajak yang harus dibayarkan pada pejabat istana.
Ada
golongan yang didiskriminasikan secara sosial yakni sebagai tjandala, mletjtjha, atau tutjtja. Mungkin terjadi dalam anak
keturunan suku tua penduduk asli yang hidup didaerah yang terisolasi.
Kaum
agama biasa hidup berkelompok disekitar bangunan agama seperti mandala, dharma, sima, wihara, dll.
Mandala dinyatakan bebas dari pembayaran pajak dan hanya membayar beberapa
pajak saja. Semua madala yang dibawah perlindungan istana dinamakan dharmahadji sebagai lawan dari dharma lepas yang mempunyai wilayah
lepas (swatantra). Ada 2 golongan
pendeta yang mengepalai dharma yakni golongan pendeta yang berbangsa (amatya) dan wiku (pendeta yang ditunjuk) atau sthapaka (pembesar wihara). Ada tjalurdwidja
(empat jabatan pendeta) yakni mandarin (mantri),
bangsawan (ksatriya), bangsawan
rendahan (waisya) dan rakyat
kebanyakan (sjudra).
V.
STATUS SOSIAL DI MATARAM, BALI DAN MALAKA. SUATU PERBANDINGAN
Karena mataram
terisolasi dari pusat perdagangan internasional dan dari pergaulan social
dengan pedagang-pedagang asing, maka sifat agraris Mataram sangat kuat,
sehingga basis penghasilan dan pembagian barang-barang relative menjadi stabil
dan stratifikasi berdasarkan status menjadi kuat.
Untuk menentukan posisi
seseorang pada masyarakat Mataram diperlukan dua criteria. Pertama: prinsip
kebangsawanan yang ditentukan oleh
hubungan darah seseorang dengan penguasa; kedua: posisi seseorang dalam
hierarki birokrasi. Pembesar istana yang
tertinggi tingkatannya terdiri atas delapan orang bupati, yaitu bupati
najaka.
Bupati Njero: Bupati
keparak kiwa dan Bupati keparak tengen
adalah bupati sebagai kepala rumah tangga dan juga pengawal istana, polisi, dan
pengadilan. Bupati gedong kiwa dan
Bupati gedong tengen sebagai kepala urusan keluar istana. Bupati
Njaba:Bupati gede dan bupati sewu merupakan bupati kanan , bupati
panumping dan bupati bumi sebagai bupati kiri.
Pada
masyarakat Bali, masa itu terpengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dan adanya
isolasi pada masyarakat setempat. Sehingga stratifikasi social yang terdapat di
masyarakat Bali mirip dengan system kasta di India. Caturwarna terdiri
atas kasta brahma, ksatriya, weisya dan sudra. Ketiga kasta yang
pertama dianggap sebagai djati atau kasta yang berbangsa. Eksistensi Caturwarna
terus berkembang sepanjang abad tanpa ada pengaruh dari kebudayaan lain.
VI.
Mobilitas Sosial
Selama
kemunduran Majapahit terjadi mobilitas vertikal dalam bentuk infiltrasi “orang
baru” kedalam lapisan atas kaum bangsawan yang terlihat makin intensif.
Sedangkan selama zaman Mataram kekuasaan pusat menggunakan pimpinan yang
bersifat eksklusif dan bekerja secara berkelanjutan sebagai sistem status
birokrasi yang bersifat monopoli.
Perbandingan
antara Majapahit dan Mataram: (1) anggota kelas penguasa Majapahit tidak hanya
berasal dari rakyat kebanyakan yang berkedudukan bebas dan terbuka tetapi juga
berasal dari budak, hal ini didasari karena kecakapan dan kesetiaan mereka
serta kekuasaan penguasa yang menentukan, (2) di Mataram kaum elite birokrasi
mempunyai kedudukan yang kokoh dan meskipun prinsip jabatan turun-temurun tidak
terlalu diutamakan tetapi rakyat dan orang-orang dari bawah tetap tidak
diijinkan menduduki posisi birokrasi yang berpengaruh.
Hubungan
kerabat dan sanak kadang mempercepat naiknya kedudukan. Tidak dikenal kecakapan
dan pengetahuan individu, tetapi status yang diwarisi dari orang tua lebih
mendapat tempat utama daripada status yang diperoleh dari usaha.
VII. Pokok Kesimpulan
Ciri-ciri
umum sistem status dari masyarakat Majapahit dan Mataram:
1.
Kerja timbal balik konsepsi dualistis
memberi corak yang mendalam pada sifat masyarakat tradisionil Jawa.
2.
Ada tendensi yang benar-benar jelas
kearah pembatasan yang tajam antara penguasa dan yang dikuasai, yang mereka
laksanakan atas dasar pekerjaan mental dan pekerjaan tangan.
Di
Mataram tendensi hirarki tidak dibatasi oleh fungsi-fungsi religius ataupun
fungsi ekonomi seperti yang terjadi pada masyarakat Majapahit.
Comments
Post a Comment