Dalam
sejarah penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional pada
mulanya berawal dari para cikal bakal yang berhasil membuka tanah sebagai lahan
tempat tinggal dan sumber mata pencahariannya. Dalam perkembangan selanjutnya,
cikal bakal itu karena jasa dan kepemimpinanya dihormati sebagai premus inter
pares. Dia inilah yang kemudian bertindak sebagai pimpinan kelompok dan
kemudian pimpinan desa.
Premus inter pares itu kemudian membagi-bagi tanah yang
telah dibuka itu kepada anak cucunya, dan kepada pendatang baru yang tunduk dan
loyal kepada hukum yang berlaku di desa itu. Pada akhirnya, primus inter pares
pemimpin itu dinamai kepala Desa atau kepala adat.
Tanah
pertanian yang menjadi milik desa atas dasar hukum komunal merupakan daerah
wewangkon desa yang berstatus
sebagai tanah desa dengan hak ulayatnya. Hak
milik perseorangan atas tanah pada awalnya memang diakui. Tanah yang berada
dalam kekuasaan desa itu dapat digunakan untuk kepentingan warga desanya,
dengan syarat warga desa wajib membayar sejumlah uang atau barang sebagai tanda
pengakuan atas hak dari pihak lain (desa) atau dapat juga dianggap sebagai
persembahan (bulubekti) kepada pemilik hak atas tanah itu, yaitu Kepala Desa
atau primus inter pares itu.
Sejak
ratusan tahun silam, tanah adalah bagian sengketa sosial-politik warga di
Nusantara. Dari historiografi Nusantara disaksikan lipatan-lipatan kisah
kontestasi penguasa memperebutkan hegemoni atas tanah. Sebagai bagian dari
ekspresi atas kekuasaan, tanah jadi simbol pada dunia, ruang kuasa seorang
raja. Narasi kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadikan tanah sebagai simbol
kuasa.
Selanjutnya
dengan kedatangan kebudayaan Hindu di Indonesia, khususnya Jawa, nyata sekali
berpengaruh dalam bidang pemerintahan, kepercayaan dan agama, serta kebudayaan.
Khususnya di bidang politik pemerintahan, pengaruh kebudayaan Hindu terhadap
pengaturan masyarakat melahirkan sistem kerajaan, di mana sistem hak waris dan
kekerabatan menjadi unsur utama di dalam sistem kerajaan tersebut. Dalam proses
ini maka primus inter pares mengangkat diri atau diangkat menjadi raja yang
menguasai tanah-tanah di seluruh wilayah kerajaannya.
Lahirnya
sistem kerajaan melahirkan golongan aristokratik serta tumbuhnya birokrasi yang
berbasis pada sistem feodal. Adanya stratifikasi sosiolog pada masyarakat jawa
yang feodalistik itu semakin mempertajamkan masalah hak atas tanah di Jawa.
Pada struktur Kerajaan Jawa, maka raja dianggap sebagai pusat dari segala
kekuasaan dan alam semestar, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan
raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi
demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas tanah dengan sistem
hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai
kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase untuk kaum
keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk
para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja
menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan
tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan
dan sebagainya. Dalam sejarah, kerajaan di Jawa dapat diberikan contoh-contoh
sebagai berikut. Berdasarkan Prasasti Dinaya (628 M0, dituliskan bahwa Raja
Gajah yang menghadiahkan sebidang tanah, budak dan ternak kepada para pendeta
yang ahli kitab Wreda untuk keperluan mendirikan bangunan suci dan asrama para
brahmana (Sartono Kartohadirdjo, 1975 : 85). Dalam prasasti Kalasan (778 M)
raja Panangkaran menghadiahkan tanah desa Kalasan kepada para Sanggha sebagai
tempat tinggalnya. Tanah-tanah tersebut dijadikan tanah-tanah perdikan yaitu
tanah yang bebas pajak dan bebas karya raja.
Pada
jaman majapahit, masalah tanah menjadi masalah yang bertambah penting, sebab
negara Majapahit menggunakan basis pertanian sebagai basis ekonomi kerajaannya,
disamping ekonomi perdagangan laut. Dalam pengusaha atas tanah tersebut, diatur
dengan dikeluarkannya semacam undang-undang tanah yang disebut Pratigundala.
Undang-undang tanah itu termuat pula di dalam Negarakertahama pupuh 88/3 baris
4. Dalam undang-undang tersebut Raja Wengker mengamanatkan kepada para Wedana,
Akuwu, Buyut satu bulan Caitra. Dalam amanat itu antara lain dikatakan
….!pertahankan tanah gaduhan rakyat, jangan sampai menjadi milik tani besar,
agar penduduk desa jangan sampai lari terusir ke tetangga desa untuk
diam”…(Drs. Muhadi dkk, 1989/1990 : 62)
Masuknya
pengaruh kebudayaan Islam tidak banyak mengubah sistem pemilikan tanah
tersebut. Sunan atau Sultan tetap memiliki hak mutlak atas tanah kerajaan,
sementara rakyat hanya memiliki hak pakai. Dalam masa kerajaan, baik masa Hindu
maupun Masa Islam, kekuaasan Raja tidak hanya mempengaruhi hak ulayat desa atau
persekutuan, tetapi juga hak perseorangan pribumi. Dapatlah dikatakan, bahwa
hak milik pribumi atau kawula dalam suasana raja-raja, sesungguhnya merupakan
milik yang berbeban berat, dan oleh karena itu sangat goyah dan mudah
hilangnya. Hak milik tersebut pada hakekatnya terbatas pada hak mengolah tanah
saja atau hak memungut hasil atas dasar jabatan atau hubungan darah
(kekerabatan). Adanya istilah milik (darbe) bagi kawula bukanlah hak milik
dalam pengertian sesungguhnya, seperti hak eigendom jaman sekarang. Pemilikan
tersebut hanyalah sekedar pengakuan oleh seseorang untuk menunjukkan
batas-batas yang jelas dari orang lain. Oleh karena raja adalah pemilik mutlak
semua tanah di kerajannya, maka rakyat (kawula) sebagai penggarap hanyalah
berstatus sebagai Adi Raha atau Kawula Dalem. Sebagai penggadhuh dan penggarap,
maka kawula Dalem wajib menghaturkan persembahan berupa barang (bulubekti),
pajak atau dan tenaga kerja yang semuanya diatur melalui sistem birokrasi raja
– patuh – bekel. Dengan kewajiban penggadhuh tersebut, yang ternyata sangat
berat itulah, maka tanah gadhuhan itu dikatakan tanah milik berbeban berat atau
tanah sanggan (beban). (Selo Sumardjan,1981: 178). Oleh karena luas tanag
dihitung berdasarkan wajib kerja. Maka luas tana dihitung dengan karya (kerja,
gawa) atau cacah (jiwa, keluarga).
Di
dalam sistem kerajaan itu terdapatlah kelompok kaum kerabat dan keluarga raja
(sentana Dalem), dan pegawai kerajaan (Abdi Dalem) serta rakyat kerajaan
(Kawula Dalem). Raja sebagai pejabat tertinggi di kerajaan di samping menguasai
seluruh tanah kerjaan, dia juga mendapatkan tanah untuk menjamin keluarganya.
Dalam hal ini maka Raja berstatus sebagai bangsawan, dan dia mendapatkan tanah
apanase sebagai jaminan hidupnya dan keluarganya. Apabila raja ini biasa
disebut bumi narawita, bumi pangrembem, dan bumi pamajegan. Bumi narawita (nara
suwita) adalah tanah lungguh raja sebagai kepala kerajaan (primus inter pares).
Bumi pangrambe adalah tanah apanase raja sebagai bangsawan dan bumi pamajengan
adalah tanah raja sebagai warga pertama kerajaan yang wajib membayar pajak
kepada kerajaan. Bumi narawita hasilnya untuk menjamin kehidupan raja beserta
keluarganya bumi pangrembe hasilnya untuk menjamin kehidupan para priyatun
dalem, yaitu pada garwa ampeyan, ampil, pangrembe dan peminggir raja beserta
anak – anak mereka, sedang bumi pamajengan hasilnya untuk membayar pajak bagi
tanah-tanah milik raja (Bandingkan dengan Hartono, 1991: 1-2)
Sistem
ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan sistem politik kerajaan. Tumbuhnya
sistem perfeodalan, masyarakat Jawa yang dibarengi dengan tumbuhnya kebudayaan
Kastariya, memberi nilai tinggi terhadap tanah. Sistem apanase dan lungguh
tersebut menentukan dan mengatur pola hubungan sosial politik masyarakat
agraris Jawa. Terjadinya proses perfeodalan dalam masyarakat. Sistem apanase
dan lungguh melahirkan tuan tanah dan kaum priyayi kaya, baik karena
kebangsawannya, maupun karena jabatannya. Kekayaan dan keturunan tersebut
berkuasa. Simbol-simbol kebangsawanan atau kepriyayaian kaya, baik karena
kebangsawaannya, maupun karena jabatannya. Kekayaan dan keturunan tersebut
melahirkan cita-cita hidup yang lebih indah, berwibawa, lebih halus dan
berkuasa. Simbol-simbol kebangsawanan atau kepriyayian dimunculkan. Misalnya
lingkungan tempat tinggal, gelar-gelar kebangsawanan, bahasa, benda-benda
upacara, gaya hidup dan tata sopan santun kepriyayian dalam pergaulan dan
sebagainya. Masyarakat dalam suasana feodal itu terbagi-bagi dalam
golongan-golongan raja-raja, bangsawan priyayi, dan petani. Strata sosial dari
masing-masing tingkat menghendaki persembahan dan penghormatan dari strata
sosial di bawahnya. Dalam situasi agraris itu, feodalisme berkembang pesat.
Pergaulan antara golongan aritrokarat dan birokrat dengan rakyat jelata sangat
tidak seimbang. Masyarakat hanya terdiri dari tuan dan hamba. Tradisi ekonomi
perdagangan hilang, dan memberi lahan yang subur bagi tumbuhnya sistem apanase
dan lungguh dengan sistem ekonomi agraris yang tradisional. Sifat pergaulan hidup
didasarkan pada kekuasaan dan ketaatan yang merupakan ikatan feodal atau
peradilan feodal (Burger, 1964: 95). Ikatan feodal itu terdiri dari ikatan
ventrikal dengan sedikit sekali terdapatnya ikatan persaudaraan (hubungan
komunal). Dalam kehidupan di desa-desa, perabdian feodal tersebut berupa
perabdian penduduk desa terhadap kepala desa atau lurah atau bekel. Didalam
ikatan feodal itu terdapatlah kebebasan penguasa yang terdiri dari kaum
aristokrat dan birokrat feodal untuk menjalankan pemerintah menurut kehendak
mereka. Hal ini berada dalam kenyataan, bahwa raja dan penguasa menjadi pusat
kehidupan. Raja bersama-sama dengan sentana dan narapraja (abdi dalem)
merupakan kelompok penguasa yang menjadi pusat kehidupan masyarakat feodal.
Mereka itu adalah pemilik apanase dan lungguh yang diperoleh sebagai imbalan
jasa atau gajih atas keturunan dan jabatan yang disandangnya. Sehubungan dengan
sistem pemilikan tanah tersebut, Burger cenderung mengatakan, bahwa proses
penerapan kekuasaan raja dengan dasar tanah milik raja (vorstendoein) itu
adalah sebagai proses pengetahuan dalam sistem feodal antara raja bangsawan
atau kaum kerabat raja, birokrat atau abdi dalem dengan petani. Feodalisme
sebagai wadahnya, didasarkan pada hubungan simbiotik atau kerjasama antara raja
dengan penguasa dengan para petani yang keduanya memiliki hak dan kewajiban.
Sarana untuk memperkuat hubungan tersebut diolah dengan cara raja sebagai
pemilik tanah secara mutlak memberikan tanah-tanah kepada kaum kerabat raja
(sentana dalem) dalam bentuk apanase, dan kepada para abdi dalem (narapraja)
sebagai lungguh dan keduanya bersifat sementara dengan hak hanggadhuh. Jadi
kekuasaan Raja atas tanah adalah benar-benar terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustinus
Supriyono. Sistem Pertanahan Jaman
Kerajaan Mataram Islam. Makalahdalamhttp://eprints.undip.ac.id/3254/1/10_Sistem_Pertanahan_jadi(Pak_Agustinus_S).doc.
Diunduh pada 9
November 2015
http://ngobrolinhukum.com/2013/03/03/hak-milik-atas-tanah-masa-kerajaan-di-nusantara/ Diunduh pada 9 November 2015
http://www.academia.edu/7151067/KONSEP_KEKUASAAN_HAK_RAJA_ATAS_TANAH Diunduh pada 9 November 2015
Comments
Post a Comment