Pada akhir pemerintahan Daendels di Jawa terjadi
pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Rangga yang berasal dari daerah
mancanegoro yang menolak monopoli yang dilakukan oleh Belanda terhadap hutan
jati yang ada diwilayah itu. Raden Ronggo melakukan perlawanannya di
Yogyakarta. Perlawanan yang dilakukan Raden Ronggo mendapat dukungan dari
Sultan. Dan peristiwa ini menjadi tonggak adanya perang jawa yang terjadi di
tahun 1825. Karena Sultan mendukung perlawanan yang dilancarkan oleh Ronggo dan
akhirnya dapat diredamkan oleh pasukan Daendels itu, Sultan diharuskan untuk
membayar kerugian yang dialami oleh Belanda. Dan akhirnya Sultan Hamengkubuwono
II diturunkan dari tahtanya dan digantikan oleh Patih Danurejo II dan dilakukan
pembuangan terhadap saudara Sultan dan anak laki-lakinya oleh Daendels.
Setelah itu Daendels digantikan
oleh Williem Janssen
yang menerapkan sistem liberal yang lebih keras. Namun masa jabatanya segera
berakhir karena ekspedisi Inggris yang ingin membersihkan pulau Jawa dan
Samudera Hindia dari basis kekuatan Perancis-Belanda. Mereka datang dengan
pasukan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan orang-orang sepoy India. Kesempatan inipun dimanfatkan oleh Sultan
untuk membalas dendam pada Belanda dengan mengganggu keresidenan Belanda, membunuh
Patih Danurejo serta membebaskan saudaranya dan anak laki-lakinya.
Pada saat Inggris berkuasa menggantikan Belanda di
Jawa, yang mengisi kekeuasaan di pusat adalah Raffles, sedangkan di keresidenan
Yogyakarta adalah John Crawfurd.
Rasa kekesalan yang dilampiaskan Sultan diterima oleh
Crawfurd. Pada kunjungan pertama yang dilakukan Raffles ke Jawa Tengah pada
Desember 1811 yang disana ia menandatangani perjanjian-perjanjian dengan para
penguasa. Memperoleh kesepakatan bahwa ia akan membatalkan perampasan-perampasan
wilayah yang dilakukan oleh Daendels. Sikap Raffles banyak menyesuaikan dengan
keadaan dan diaanggap lemah oleh Sultan. Sementara itu terjadi surar-menyurat
secara rahasia oleh Sunan dan Sultan untuk melaksanakan penyerangan terhadap
pemerintah Inggris. Namun kabar tersebut terdengar oleh Raffles dan dengan
segera ia mempersiapkan pasukannya. Dan pada bulan April 1812 ekspedisi
terhadap Sultan dilakukan. Sultan yang menghadapi pasukan Inggris tidak
mendapat bala bantuan dari Surakarta. Seperti yang tertulis dalam surat rahasia
bahwa suarakarta akan membantu Yogyakarta apabila bersedia melakukan perlawanan
terhadap Inggris. Hal tersebut akhirnya diketahui oleh Raffles dan kraton
Yogyakarta harus membayhar ganti rugi yang dialami oleh Inggris dan jumlahnya
lebih besar dari apa yang ditanggung oleh Kraton Surakarta.
Tanggal 11 Agustus 1812 diadakan perjanjian atas
rampasan daerah mancanegara dan daerah takluk Kedu. Dan ulah yang dibuat
Raffles lainnya adalah pemecahan kesetiaan terhadap Kraton Yogyakarta yaitu
dengan mengangkat Natakusuma sebagai Paku Alam yang bertanggungjawab kepada
pemerintah Eropa. Kesusahan yang terjadi di Yogyakarta masih berlangsung sanpai
Sultan HB III. Sultan yang baru ini belum bisa mengembalikan keadaan kraton
sepenuhnya karena secara tiba-tiba ia wafat. Dan kedudukan selanjutnya
digantikan oleh anaknya yang masih muda. Karena anaknya belum belum mampu untuk
memegang kekuasaan maka kekuasaan dipegang oleh Paku Alam. Namun kondisi
tersebut disalahgunakan olehnya dengan cara memperkaya diri. Kemudian setelah
diketahui kondisi yang demikian maka kekuasaan dipegang Ratu Ibu dan Patih
Danurejo IV.
Kondisi yang terjadi di kraton mendapat banyak
kritikan salah satunya adalah Diponegoro seorang pangeran dari selir Sultan HB
III. Ia jarang sekali terlihat di kraton namun ia hidup di desa Tegalrejo
bersama pamannya. Dan ia hanya datang ke kraton hanya pada saat gerebeg saja.
Pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di kraton Diponegoro selalu turut
serta dan ia pun tidak suka cara yang dilakukan oleh patih Danurejo. Apa yang
dilakukannya selalu berlawanan dengan apa yang seharusnya terjadi dalam
pemerintahan Kraton. Sehingga banyak yang tidak suka dengan cara kerja yang
dilakukannya.
Hingga pada suatu ketika pada saat Crawfurd telah digantikan
Smitsser dan Danurejo masih memegang kekuasaan suasana politik dalam kraton
semakin tidak menentu. Banyak sekali para pejabat yang diberhentikan olehnya.
Sehingga banyak sekali yang tidak suka dengan sikap Danurejo.
Sejak diberhentikannya bupati Banyumas Diponegoro jadi
sering tidak kelihatan dalam kraton , ia kembali ke desanya untuk mengumpulkan
massa guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda dan Danurejo.
Konsep perang sabil pun menjadi landasan perlawanan, sebab ia adalah seorang
tokoh yang memebimbing keagamaaan Sultan dalam kraton. Para pengikut dan
pendukung Diponegoro pun semakin banyak sehingga terjadilah perang yang
berkecamuk di Yogyakarta.
Dalam menilai makna perang bagi masyarakat Jawa serta
perkembangan sejarah, ada dua buah aspek yang menonjol yaitu aspirasi para
pengikut Dipanagara yang secara mendasar bersifat tradisional, serta luasnya
pergerakan sosial yang mengesanken, yang dapat dibangkitkan oleh sejua harapan
akan masa depan yang lebi baik pada masa itu. Dengan demikian, dari satu segi,
Perang Jawa tersebut dicirikan sebagai suatu peristiwa yang sangat konservatif,
yang menandai suatu masyarakat Jawa yang membalik ke dalam dirinya sendiri,
yang ketika itu harus berhadapan dengan kenyataan sosial ekonomi yang timbul
dari pengalaman kolonialisme. Dengan demikian akan dapat dilihat dengan jelas
sekali di dalam keinginan serta hasrat semua kelompok masyarakat Jawa untuk
dapat memulihkan kembali suatu tatanan kehidupan tradisional yang
diidealisasikan. Sedangkan dari kebudayaan, terdapat suatu upaya yang disadari
sepenuhnya untuk menjaga agar tradisi-tradisi Jawa mereka itu dapat tetap utuh;
dengan cara bersungguh-sungguh dan tekun mereka selalu memakai bahasa Jawa dan
bahkan tawanan bangsa Belenda yang berhasil mereka tangkap, mereka paksa untuk
memakai bahasa Jawa Krama (bahasa Jawa Tinggi).
Dari segi politik, tujuan-tujuan yang ingin dicapai
oleh Dipanagara bersama-sama dengan para pengikutnya yang berasal dari
lingkungan kraton, jelas besifat tradisional. Mereka berharap untuk dapat
kembali ke sistem politik yang ebrlaku sebelum kedatangan Daendeles, ketika
orang-orang Belanda telah mengisi fungsi pedagang dan pengaruh mereka di Jawa
Tengah serta Jawa Timur adalah sangat terbatas.
Pada sisi yang lain, Perang Jawa itu pun mengandung
benih-benih untuk perkembangan-perkembangan di masa yang akan datang. Sampai
sejauh tertentu, di dalam permasalahan keberatan serta kesulitan sosial dan
ekonomi, baik yang dialami oleh para petani maupun kelompok-kelompok masyarakat
keraton yang telah memungkinkan unsur-usnur sosial yang begitu berbeda,
menemukan tempat berpijak yang sama sebagai landasan untuk melawan bangsa
Belanda. Dalam artian kepemimpinan kharismatik yang begitu penting maknanya,
maupun sejuta harapan akan hari mendatang yang lebih baik yang kedua-duanya
juga menjadi aspek perjuangan politik bangsa Indonesia di kemudian hari, telah
berhasil mereka demonstrasikan dengan nyata dan jelas. Walaupun Dipanagara pada
akhirnya menemukan kegagalan dalam usahanya, namun pergerakan yang dipimpinnya
menghadapi pemerintah kolonial tersebut adalah merupakan sesuatu yang unik,
baik di dalam ukuran dan kehebatannya yang luar biasa maupun dalam cakupan
ruang lingkup sosialnya, dengan demikian maka kebangkitan Dipanagara itu telah
memberikan gambaran pendahuluan tentang luasnya perjuangan nasional yang
kemudian timbul pada abad ke – 20. Demikian Perang Jawa tersebut telah
melemparkan seberkas cahaya atas kebermulaan kesadaran diri sendiri orang-orang
Jawa sebagai suatu negara yang kohesif, suatu langkah yang memang harus dilalui
dalam perjalanan menuju kesatuan negara Indonesia.
Pemberontakan Sepoy Tahun 1815 di Pulau Jawa
Pemberontakan sepoy terjadi pada saat akhir kekuasaan
Inggris di Pulau Jawa. Pemerontakan itu dipicu oleh adanya persekongkolan yang
terjadi diantara pasukan Sepoy dan Pakubuwono IV. Pasukan sepoy adalah pasukan
yang dibawa oleh Inggris dari india ketika Belanda dikalahkan oleh perancis
untuk membersihkan tanah jawa dari orang-orang Belanda. Tugas dari pasukan
sepoy hanyalah sebagai pasukan sukarela saja yang ditempatkan di keresidenan
jawa.
Persekongkolan ini dimulai ketika Belanda terlepas dari
perancis yang telah terdengar oleh pasukan Sepoy. Pasukan sepoy yang mengetahui
hal tersebut khawatir bahwa apabila suatu sat Inggris akan meninggalkan Jawa
maka mereka tidak ikut dibawa ke India. Pikiran tersebut selalu membayangi
mereka, hingga mereka menukan cara untuk bisa mengadakan perlawanan terhadap
Inggris. Ide seperti itu kemudian dikembangkan dan agar mereka mendapat
dukungan dari kraton para pangeran salah satu dari mereka yaitu pemimpinnya,
Dhaugkul Syihk, mencoba untuk mendekati Pakubuwono VI. Dengan mendekati
pakubuwono VI akhirnya mereka mendapatkan dukungan dari kraton para pangeran,
namun tidak untuk Yogyakarta. Mereka tidak mendapat dukungan dari Sultan meski
Dhaugkul Sikh mendekatinya.
Pendekatan yang dilakukan oleh Dhaugkul Sikh kepada
adalah dengan cara menyamakan kesamaan budaya yang ada di jawa dan yang ada di
india, bukan hanya itu ia juga menyenangkan hati Sunan dengan cara menghadirkan
kesenian dari India. Setelah meluluhkan hati Sunan ia pun melancarkan aksinya
dengan membujuk bekerjasama untuk melawan Inggris. Dan Sunan menerima karena ia
berkeinginan untuk meningkatkan hegemominya di jawa yang telah terkalahkan oleh
Yogyakarta. Hal lain adalah agar anaknya dapat menjadi Sultan di Yogyakarta dan
pangeran dari Mangkubumi dapat menjadi penguasa Surakarta.
Setelah diketahui oleh Raffles bahwa terjadi
persekongkolan yang terjadi antara pasukan sepoy dan Pakubuwono VI maka Raffles
mengirim pasukan untuk menyelidikinya dan mengancam kepada pasukan Sepoy bahwa
siapa yang melakukan persekongkolan akan ditembak mati. Dan ketika Pakubuwono
berjanji pada Mangkubumi akan melindunginya apabila akan ditangkap oleh pasukan
Inggris maka Pakubuwono tidak melindunginya dan malah membiarkan Mangkubumi
ditangkap dan diasingkan.
Bukti tentang kepalsuan Pakbuwuna IV itu kenyataannya
bahwa pasukan Surakarta telah ditempatkan melintangi garis komunikasi pasukan
Inggris selama berlangsungya penyerbuan atas Yogyakarta, hampir saja memaksa
Raffles untuk bergerak ke Surakarta dan menurunkan Sunan tersebut. Akhirnya ia
memperkenankan Raja Surakarta untuk menebus pengampunannya dengan membayar
imbalan berupa konsesi-konsesi wilayah serta menyetujui untuk memecat Patih
Surakarta yang bernama Cakranegara (tahun 1810 – 1812), yang telah memainkan
peranan yang penting di dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.
Makna utama dari persekongkolan orang-orang Sepoy,
yang terjadi di dalam tahun 1815 di Pulau Jawa itu adalah cahaya yang telah
berhasil dilontarkannya atas kehidupan politik yang berlangsung dilingkungan
istana-istana kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, pada masa itu. Pada hakiktanya
persekongkolan pada tahun 1815 itu, merupakan usaha sungguh-sungguhnya yang
terakhir untuk dapat mencapai tujuan dan impiannya walaupun dalam tahun 1820,
tidak begitu lama sebelum kematiannya, ia masih tetap saja berusaha untuk
mengambil keuntungan dari keadaan kehidupan politik yang sedang kacau untuk
memperbaiki kedudukan di Jawa Tengah. Aspek yang paling menarik yang dapat
ditampilkan oleh persekongkolan orang-orang Sepoy adalah bahwa persekongkolan
itu sesuai sekali dengan kepribadian Sunan yang terlalu mudah mempercayai orang
lain serta suka berperan tersembuyni di belakang layar. Persekongkolan itu
nyata-nyata terlihat akan mengalami kegagalan dan orang-orang Inggris mulai
menjalankan penyelidikan-penyelidikan serta pemeriksaan, agar dapat
menyelematkan kedudukannya.
RADEN
SALEH, DIPANEGERA DAN LUKISAN YANG MENGGAMBARKAN PENANGKAPAN DIPANEGARA DI
MAGELANG
Tentang
Sebuah Lukisan
Lukisan termasyuhur yang
menggambarkan penangkapan Dipanegara di Magelang yang dikerjakan oleh Raden
Saleh (sekitar 1914 – 1880) telah lama diakui sebagai sebuah karya yang luar
biasa nilainya. Lukisan itu dipersembahkan kepada Raja Belanda, Willem III
(memerintah tahun 1849 – 1890) sebagai “tanda terima kasihnya (Saleh) atas
pendidikan dan pelatihan sebagai seorang seiman yang diterimanya selama hamir
23 tahun (1829 – 1851) di Eropa, ia sangat dihargai dan disenangi oleh keluarga
Kerajaan Belanda. Lukisan yang berukuran 112 x 178 cm, oleh para ahli bangsa
Belanda selalu diyakini telah dikerjakan Raden Saleh berdasarkan sebuah karya
seniman Belanda.
Para cendekiawan telah lama
mengetahui dan mengakui pengaruh Eropa yang terdapat di dalam karya-karya
Saleh, tetapi hanya sedikit sekali yang menggali lebih mendalam mengenai latar
belakang sejarah yang sesungguhnya, yang menyebabkan timbulnya pengaruh yang
demikian itu. Di dalam lukisan Dipanegara, misalnya terjadi akibat dari kenyataan
bahwa lukisan tersebut lama tersingkir dari penglihatan masyarakat karena
lukisan tersebut tersimpan di Istana Kerajaan di Amsterdam. Namun pada tahun
1978 lukisan itu dikembalikan kepada bangsa Indonesia, sebagai suatu pemberian
pribadi dari keluarga Kerajaan Belanda kepda Pemerintah Indonesia, sesuai
dengan persyaratan yang tercantum di dalam Perjanjian Kebudayaan yang
ditandatangai pada 1969.
RADEN
SALEH DAN DIPANEGARA
Dipersembahkannya lukisan itu
kepada Raja Belanda kemudian memberikan petunjui bahwa hanya sedikit sekali
terdapat motif kebanggaan nasional di dalam diri Saleh, yang pada awalnya
memilih subjek untuk bahan lukisannya. Persembahan itu merupakan sikap yang
tidak nasionalistik, tetapi pada hakikatnya sesuai sekali dengan hubungan seorang
seniman dengan bangsawan yang menjadi pelindungnya, yang merupakan hubungan
antara seorang warga istana dengan rajanya.
Saleh merupakan seorang
diplomat dan perayu ulung, perhatian dalam kehidupan Saleh terdapat beberapa
peristiwa yang memberikan petunjuk bahwa ia merasa jauh lebih hangat dan akrab
kepada Dipanegara daripada apa yang digambarkan oleh para penulis riwayat
hidupnya.
Di dalam sebuah surat, penuh
kemarahan, yang dikirimkannya kepada Raja, Baud menyatakan bahwa selama lima
belas tahun terakhir ini, Dipanegara tidaklah ditahan di Maluku, apalaig di
dalam sebuah Benteng Rotterdam (sekarang bernama Benten Ujung Pandang), di
Makasar. Ia tidaklah dipisahkan dari seluruh anggota keluarganya, tetapi ia
tetap berkumpul dengan istri dan ketujuh orang anaknya. Keluarga Dipanegara
demikian besarnya, sehingga tempat kediaman seorang perwira, yang letaknya
berdekatan, harus diubah untuk digunakan oleh Dipanagara, walaupun orang yang
berada dalam pembuangan itu tidak diperkenankan menulis surat, tetapi ia tetap
diperkenakan menulis untuk kesenangannya sendiri dan juga diijinkan memiliki
buku-buku serta naskah-naskah Jawa yang disalin, untuk kepentingan
anak-anaknya.
Menurut Baud, pangeran
tersebut diperlakukan dengan kemanusiaan yang sama, seperti yang digambarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, ketika ia menyusun perintah,
berkaitan dengan pengasingan Dipanagara dalam April 1830. Ia telah
memerintahkan duta besar Belanda di
Paris untuk menolak keras tuduhan yang disampaikan oleh pers Perancis.
Peristiwa itu menimbulkan
sejumlah pertanyaan, mengingat ketatnya pengawasan keamanan yang mengelilingi
Dipanagara di dalam pengasingan serta kerahasiaan yang begitu mendalam yang
diterapkan oleh Pemerintah Belanda di dalam penyamaran yang mereka lakukan ketika
memindahkan Dipanagara dari Menado ke Makasar.
Perang Jawa tampak sebagai
permasalahan yang sangat menarik, dalam tahun 1852 dan kemudian sekali lagi
pada bulan Mei ia mengajukan permohonan resmi untuk dapat mengunjungi
negara-negara pangeran yang bersangkutan, dengan maksud mempersiapkan
sketsa-sketsa pemandangan pertempuran utama yang terjadi selama berlangsungya
Peran Jawa.
Lukisan Dipanagara terutama
sekali merupakan pekerjaan di studio, yang sungguh menyolok betapa cermat dan
telitinya ia melukis wajah para perwira Belanda dan latar belakang rumah
Keresidenan Magelang, yang mendekati keadaan yang sesungguhnya. Ia juga
memasukkan dirinya di dalam lukisan itu; pertama, berdiri menunduk dan dengan
sikap penuh takzim di hadapan Pangeran, kedua sebagai salah seorang pengikut
Dipanagara, denganmuka penuh kecemasan, menatap ke depan.
Dengan cara seperti itu
Pelukis Jawa tersebut menyampaikan penghormatan pribadinya kepada sang pemimpin
besar Perang Jawa. Dalam satu dekade kemudian pertalian antara kedua orang ini menjadi
tidak terbatas eratnya, ketika Saleh mengawini putri salah seorang bekas
panglima pasukan Dipanagara, yaitu Raden Ayu Danudireja (diambil dari karangan
Bachtiar).
LUKISAN
RADEN SALEH DALAM KAITAN SEJARAH
Lukisan Raden Saleh yang memuat
peristiwa penangkapan Dipanagara di Magelang tersebut telah meromantisasi
kejadian itu, yang mana untuk menguji usaha itu adalah dengan memperbandingkan
lukisan tersebut dengan laporan para saksi mata. Bagian tulisan yang sesuai
yang terdapat di dalam sejarah pribadi Dipanegara sendiri, serta
kenang-kenangan singkat yang dibuat oleh salah seorang kepercayaanya yang
paling dekat, Ali Basah Adipati Danureja V di Yogyakarta, yang menjabat tahun
1847 – 1879.
Ketika Dipanagara telah sampai
di Magelang pada bulan Maret 1830, untuk menghadiri konferensi “perdamaian”
tersebut, vand den Bosch mengulangi lagi perintahnya bahwa tidak boleh diadakan
suatu persetujuan apa pun dengan Dipanagara dan ia sama sekali menolak saran
beberapa orang pejabat Belanda agar Dipanagara dibeli saja, dengan menjanjikan
kepadanya sebuah daerah kepanageraan yang merdeka, sebagaimana yang dilakukan
terhadap Yogyakarta dan Mangkunegara pada tahun 1755 dan 1757.
Dalam otobiografinya Dipanagara
mengutarakan bahwa ia berangkat menuju Rumah Keresidenan untuk mengemukakan
bahwa ia sama sekali tidak merasa perlu untuk mengenakan pakaian resminya,
tetapi memakai busana santai. Ketika sampai di rumah Keresidenan, Dipanagara
disambut oleh Valck, Residen Kedu serta dipersilahkan masuk ke dalam kamar
kerja de Kock. Pembicaraan dimulai, ketika de Kock menyarankan agar Dipanagara
tidak usah lagi pulang ke Metesih, tetapi untuk tetap tinggal di Rumah
Keresidenan.
Dengan penuh kegetiran
Dipanagara mengeluh mengenai perlakuan yang dialaminya, sambil berucap bahwa ia
datang ke Magelang atas kehendaknya sendiri dan sesuai dengan kesepakatan yang
telah dicapai bersama Kolonel Cleerens, bahwa ia bebas sepenuhnya untuk pergi,
kalau ia tidak berhasil memperoleh sesuatu keputusan yang memuaskan.
Dipanagara juga merujuk kepada
perintah yang dikeluarkan oleh Jenderal de Kock kepada pasukan Belanda yang
telah disiagakan sebelumnya, tetapi sebelum melakukan itu, ia terlebih dahulu
secara luas serta penuh penasaran, melaporakan tentang perckapan yang
berlangsung antara dirinya dengan komandan tentara Belanda itu. Serta
menyinggung pernyataan Dipanagara yang menghendaki lebih baik dibunuh di tempat
itu juga daripada dibuang.
Dipanagara kemudian mengatakan
tentang apa yang dikehendaki mengenai Pemerintah Belanda telah menjanjikan
serta memberikan perlindungan kepada Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta
selama lima tahun terakhir ini, dengan ada kebiasaan yang berlaku di Timur,
jika tidak dikehendaki maka Pemerintah dapat berbuat terhadap dirinya sesuka
hati. Dipanagara juga telah kehilangan segala haknya untuk mendapatkan
kepercayaan lebih lama lagi dan bahwa de Kock akan menahannya sebagai seorang
tawanan, untuk selanjutnya mengirimkan ke Salatiga atau Ungaran, sedangkan
segala keputusan lebih lanjut mengenai nasibnya, seluruhnya akan diserahkan
kepada Gubernur Jenderal.
Suatu tindakan bijaksana de
Kock mengatakan kepada pangeran itu bahwa ia harus segera berangkat dengan
dikawal oleh para dua orang perwira (De Stuers dan Roeps), tetapi masing-masing
istri atau anak-anaknya yang ingin menyertainya, akan diberi izin untuk berbuat
demikian.
Berita tentang kejadian itu
segera dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, kepada seluruh residen di Jawa
serta kepada beberapa orang perwira dan pejabat tinggi yang berada di daerah
kekuasaan para pangeran itu. Pada hari yang sama de Kock menyusunlaporannya
tentang segala sesuatu yang berlangsung di Magelang untuk disampaikan kepada
Gubernur Jenderal. Pada akhir bagian laporannya ia mencantumkan tiga buah
pengamatan yang benar-benar menarik perhatian: pertama selama berlangsungnya
konferensi yang sulit itu, Dipanagara sedikit pun tidak pernah memperlihatkan
perasaan takut, kedua de Kock memandang laporannya itu sebagai cara untuk
membenarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukannya terhadap kecaman-kecaman
yang akan timbul dikemudian hari, yang pada akhirnya jika Dipanagara tidak
menciduknya dari tempat perkemahannya itu sendiri. Tetapi tindakan yang
demikian itu hanya akan dilakukan melalui banyak rintangan dan kesulitan, dan
mungkin sekali pangeran itu akan meninggalkan segalanya serta meloloskan diri.
Tindakan de Kock itu jauh daripada perbuatan kejayaan, dan kebanyakan orang
Jawa dewasa ini masih tetap memandang tingkah lakunya tidak lebih daripada
suatu pengkhianatan yang licik belaka.
Dipanagara menggambarkan
tentang percakapan dengan de Kock yang menyatakan setiap perubahan dalam
masalah pengawasan dalam keagamaan di Jawa Tengah pastilan akan mengakibatkan
perasaan malu serta tidak menyenangkan bagi Sunan (Pakubuwan VI, 1823 – 1830).
Dipanagara menekankan, kalau
memang diizinkan, agar ia dapat mati syahid di medan laga, karena baginya tidak
ada sesuatu pun juga lagi yang tersisa di dunia ini. Dan dengan segala
ketenangan dan kepasrahan menerima takdir yang telah ditentukan serta keinginan
untuk meninggalkan dunia fana.
Dalam lukisan Raden Saleh yang
termasyhur ini, hanya dapat dilukiskan saat-saat berlangsungnya penangkapan
sang Pangeran, yang dalam segi-segi lainnya memperlihatkan perhatian yang luar
biasa terhadap hal-hal yang kecil-kecil serta perasaan yang amat halus terhadap
drama emosional yanga terkandung di dalam peristiwa tersebut.
Dalam resume Asal Usul Perang
Jawa menurut analisis saya diketahui bahwa antara subjektivitas dan
objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang
sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis, karena
subjektivitas berangkat dari objektivitas yang objektivistik. Sehingga kenyataan
yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti
oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara
pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan,
serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa
sejarah dalam konteks fakta historis.
Menurut buku yang saya resume termasuk
penulisan tematis, karena berkaitan dengan tema atau topik dari suatu
peristiwa sejarah yang menggambarkan asal usul perang jawa terjadinya
pemberontakan sepoy antara Dipanagara dengan Pemerintah Belanda, yang
dilukiskan oleh Raden Saleh.
Metodologi pada buku termasuk corak metodologi Induksi
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan pernyataan hasil observasi
dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan menurut suatu pandangan yang luas
diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, disebut induktif
bila bertolak dari pernyataan tunggal seperti gambaran mengenai hasil
pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan pernyataan universal.
Seperti apa yang Raden Saleh tidak bisa melukiskan tentang Dipanagera dalam
percakapannya dengan orang-orang Belanda.
Comments
Post a Comment