A.
Biografi
Semaoen
Semaoen dilahirkan tahun 1899 di
Tjurah Malang Modjokerto, sebuah kota kecill yang terletak kira-kira 40
kilometer barat daya Surabaya. Ayahnya Prawiroatmojo, adalah seorang perkerja
rendahan (minor) jawatan kereta api, tempat seorang tukang batu yang hidupnya
sedikit cukup. Meski bukan anak seorang kaya dan seorang priayi dan orang kaya,
tahun 1906 Semaoen diterima menjadi murid sekolah Tweede Klas, dan memperoleh pendidikan tambahan, terutama bahasa
Belanda, dengan mengikuti semacam kursus sore hari ynag diselengarakan Eerste las Inlandsche, yang kemudian
dikenal dengan HIS, sekolah dasar yang diperuntukan bagi anak priayi dan ornag
kaya.[1]
Setelah menyelesaikan sekolah
dasarnya dan setelah mendapatkan sertifikat “Klein Abtenaar”, ia tidak dapat
melanjutkan kejenjang pengajaran yang lebih tinggi. Kemudian berkerja di
Staatsspoor (SS) Surabaya sebagai jurus
tulis. Setelah berhasil melaksanakan ujian pengetahuan umum dan ujian
stations-commies. Itu terjadi pada tahun 1912 saat ia berusia 13 tahun.[2]
Jalan menjadi “propagandist Tjitro”
dimulai tahun 1914 ketika Semaoen memasuki SI Surabaya. Di tahun itu juga, dia terpilih menjadi pengurusnya sebagai seketaris. Setahun kemudian, tahun 1915, dia memasuki ISDV afdeeling Surabaya dan VSTP afdeeling Surabaya. Hal ini didahului oleh pertemuannya dengan Sneevliet di Surabaya awal tahun 1915, suatu peremuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap rasa “ketulusan dan sikap manusiawi” Sneevliet, dank arena itu, menerima tawaran Sneevliet agar Semaoen memasuki VTSP dan ISDV afldeeling Surabaya. Penguasaan bahasa Belandanya yang cukup baik, terutama dala membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuaanya dengan jalan belajar sendiri.[3]
dimulai tahun 1914 ketika Semaoen memasuki SI Surabaya. Di tahun itu juga, dia terpilih menjadi pengurusnya sebagai seketaris. Setahun kemudian, tahun 1915, dia memasuki ISDV afdeeling Surabaya dan VSTP afdeeling Surabaya. Hal ini didahului oleh pertemuannya dengan Sneevliet di Surabaya awal tahun 1915, suatu peremuan yang melahirkan rasa kagumnya terhadap rasa “ketulusan dan sikap manusiawi” Sneevliet, dank arena itu, menerima tawaran Sneevliet agar Semaoen memasuki VTSP dan ISDV afldeeling Surabaya. Penguasaan bahasa Belandanya yang cukup baik, terutama dala membaca dan mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuaanya dengan jalan belajar sendiri.[3]
Hubungan yang cukup dekat dengan
Sneevliet, khususnya dua tahun terakhir sebelum meninggalkan Hindia Belanda,
Desember 1918, merupakan faktor-faktor yang terpenting mengapa Semaoen dapat
menempati posisi-posisi yang cukup berati baik di tingkat afdeling Maupin
hoofdbestuur.[4]
B.
Kepemimpinan
Semaoen dalam Sarekat Islam
Perkembangan
Sarekat Islam yang sangat pesat memerlukan reorganisasi, maka pada 23 Maret
1913 diadakan kongres Sarekat Islam yang pertama di Surakarta, ketika itu
Sarekat Islam mencapai 48 cabang, dengan jumlah anggota 200.000 jiwa. Inilah
sebabnya, selain komisi pusat dibentuk pula komisi daerah, masing-masing untuk
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebagai ketua komisi pusat ialah H
Samanhoedi dan Tjokroaminoto sebagai wakil.[5]
Pada
29 Maret 1913 Gubernur Jenderal Idenburg memberikan pengakuan resmi kepada
Sarekat Islam, meskipun demikian dia hanya mengakui organisasi-organisasi
tersebut sebagai suatu kumpulan cabang yang otonom saja dari pada suatu
organisasi nasional yang dikendalikan oleh markas besarnya (Central Sarekat
Islam, CSI), [6]
yang diketuai oleh Agus Salim dan Abdul Muis sebagai wakilnya. Sifat politik
dari organisasi Central Sarekat Islam menetapkan bahwa agama Islam dipergunakan
sebagai asas gerakan, mengenai persamaan derajat manusia. Negara atau
pemerintah hendaknya tidak bercampur dengan suatu agama, melainkan melakukan
kebijakan dengan melibatkan berbagai agama. Central Sarekat Islam tidak
mengakui satu golongan rakyat berkuasa atas
golongan rakyat yang lain dan menginginkan suatu bentuk pemerintahan
sendiri, serta hancurnya kapitalis yang jahat.[7]
Kemunculannya di panggung politik
pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung
dengan Sarekat Islam (SI) afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, 1915, bertemu
dengan Sneevliet dan diajak masuk ke Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) afdeeling
Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en
Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) afdeeling Surabaya.
Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya pada tahun 1916 sejalan
dengan kepindahannya ke Semarang karena diangkat menjadi propagandis VSTP yang
digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, terutama dalam membaca dan
mendengarkan, minatnya untuk terus memperluas pengetahuan dengan belajar
sendiri, hubungan yang cukup dekat dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor
penting mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di kedua organisasi
Belanda itu.[8]
Di Semarang, ia juga menjadi
redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran
Sarekat Islam Semarang. Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi. Pada
tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis yang andal dan cerdas. Ia juga
memiliki kejelian yang sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam menyerang
kebijakan-kebijakan kolonial.[9]
Pada tahun 1918 dia juga menjadi
anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang,
Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat
berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja industri furnitur. Pada
tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-besaran di kalangan buruh industri
cetak yang melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil memaksa majikan untuk
menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.[10]
Bersama-sama dengan Alimin dan
Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan
memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang
dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23
Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan
kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai
ketuanya.[11]
Pada bulan Mei 1921, ketika Partai
Komunis Indonesia didirikan setelah pendiri ISDV dideportasi, Semaun menjadi
ketua pertama. PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat
perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada
bulan Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk
pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah
kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua
Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.[12]
Semaoen
yang tumbuh dalam pergerakan Sarekat Islam dan aktif di ISDV mengalami
perkembangan setelah bertemu dengan Sneevliet yangmengusung ideologi Marxis.
Semaoen membangun gerakan dalam Sarekat Islam yang berideologi Marx yang
berbasis komunis menjadi mesiu bagi perkembangan sarekat buruh. Semaoen yang
memiliki gagasan keras dan revolusioner menjadi makhnit bagi perkembangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia. Semaoen yang menolak berbagai dominasi
penjajah kolonial Belanda yang menguatkan dominasinya terhadap Sarekat Islam.
Sebagai pucuk pimpinan Sarekat Islam Semarang Semaoen membangun gerakan sarekat
buruh dalam PPKB yang pada perkembangannya menjadi pusat pergerakan buruh. [13]
Pada
Februari 1913 Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet yang tiba di Indonesia
memulai karirnya sebagai seorang mistik Katolik. Kedatangan Sneevliet di Hindia
Belanda tidak hanya bermotifkan politik semata, keterlibatannya justru terjadi
karena kondisi Hindia Belanda itu sendiri telah merangsang pemikirannya
mengenai pekerjaan revolusioner. [14]
Pada 9 Mei 1914 di Surabaya Sneevliet
mendirikan (IndisceSociaal-Demokratische Vereeniging-ISDV), dan enam tahun
kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Ia mendapat dukungan dari kaum kiri
Hindia Belanda setelah mengadakan protes yang sengit terhadap Indie Weerbar (aksi
pertahanan untuk Hindia) dan kekangan-kekangan terhadap pers. Pada1916
Sneevliet mulai mendekati Sarekat Islam satu-satunya organisasi yang memiliki
basis masa cukup besar.
Sarekat
Islam mempertemukan Sneevliet dengan Semaoen yang pada waktu itu masih menjabat
sebagai sekertaris Sarekat Islam Surabaya. Semaoen sangat tertarik dengan
Sneevliet karena sikap kemanusiaannya yang dinilai tulus dan bebas dari mate rialitas
kolonial.
Pada
Juli 1916 Semaoen keluar dari Sarekat Islam Surabaya dan pindah ke Semarang
untuk menjadi editor surat kabar VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tram
wegpersoneel) yang berbahasa melayu, tidak lama setelah itu Semaoen menjadi
propa gandis dan komisaris Sarekat Islam Semarang. Pada Mei 1917 pada usia 18
tahun dipilih sebagai ketua mengantikan Mohamad Joesoef. [15]
Dalam
kepemimpinannya Semaoen menggunakan senjata baru dalam perjuangannya melawan
imperialisme, yakni teori perjuangan Marx[16] yang sosialis, dari dia pulalah pribumi diperkenalkan
terhadap konsep mengenai imperialisme, kapitalisme, internasionalisme. Semaoen
sangat berkeras bahwa organisasi pribumi jangan sampai terperosok uluran
tanggan kerajaan Belanda.
Keterlibatan Sneevliet dan Semaoen dalam tubuh
Sarekat Islam mengakibatkan konflik internal di dalam Sarekat Islam, yang
melahirkan kubu Agus Salim, Abdul Muis – Semaoen, Tan Malaka mengenai sikap
Semaoen dan Sarekat Islam Semarang tentang disiplin partai. Semaoen sebagai
ketua Sarekat Islam Semarang aktif pula dalam ISDV/PKI. Semaoen ditempatkan
pada pilihan yang sulit. Tahun 1921 golongan kiri dalam tubuh Sarekat Islam
disingkirkan dan kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat yang secara terbuka
berada di bawah Partai Komunis Indonesia. Perpecahan ini sangat merugikan
perjuangan dan cita-cita Sarekat Islam.[17]
C.
Reaksi Semaoen Terhadap
Kekuasaan Kolonial Belanda
Semaoen
yang memiliki landasan ideal bagi gerakan oposisi, menolak kebijakan
perekonomian Belanda yang menjadi tulang punggung eksploitasi, dengan
mendirikan sarekat buruh yang akan menjadi alat untuk menolak kebijakan dan
berbagai dominasi kolonial Belanda. Dalam bidang sosial politik Semaoen juga
menolak keterlibatan Sarekat Islam dalam volksraad yang menjadi kontrol gerakan
untuk Hindia Belanda. Volksraad sebagai badan legislatife tidak memiliki
wewenang dalam pengambilan kebijakan untuk kepentingan bersama. Pembentukannya
terlihat sebagai alat untuk mengontrol gejolak yang ada di Hinda Belanda.
Terhadap kebijakan Islam Semaoen menyayangkan Sarekat Islam pimpinan
Tjokroaminoto yang besifat kooperatif terhadap kolonial Belanda. Sarekat Islam
yang memiliki dua basis ideologi yaitu agama dan komunis mengalami perpecahan
yang meruntuhkan perjuangan Sarekat Islam selanjutnya.[18]
Seiring
dengan berbagai perkembangan di Hindia Belanda dengan menyeruaknya
pergerakan-pergerakan yang mengancam kestabilan kedudukan kolonial, maka
dibentuklah berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang akan tetap melangengkan
kolonial Belanda di Hindia Belanda. Pergerakan ini terlihat pada politik etis
yang bertujuan untuk membalas budi terhadap Hindia Belanda, tetapi proyeksinya
tetap untuk kelangenggan eksploitasi kolonial Belanda. Hegemoni 20 Kolonial
Belanda 21 telah menyengsarakan rakyat Hindia Belanda cukup lama dari pola-pola
politik colonial Konservatif 1800-1848, Cultuurstelsel 1830-1870, politik
kolonial liberal1870-1900, politik etis 1900-1942 hingga menimbulkan kesadaran
padaBelanda untuk memakmurkan Hindia Belanda lewat politik etis-nya. [19]
Pelaksanaan
politik etis ini telah menimbulkan banyak kesempatan, tetapi sekaligus juga hambatan
baru bagi Hindia Belanda, sesuatu yang sangat asing dan membingungkan. Hindia
Belanda hampir tidak dibantu menangkap logika dasar dan memahami ujung pangkal
keadaan baru itu. Mereka tinggal menerima proyek-proyek sehingga merasa lebih
sebagai objek dari pada sebagai subjek pembaruan. Belanda merasa mengetahui
semua apa yang harus dilakukan, di bawah trimfolisme itu Hindia Belanda merasa
silau, sehingga mereka hanya bisa melihat kepentingan jangka pendek. [20]
Politik
etis sejajar dengan ide asosiasi yang bertujuan memasukkan rakyat Hindia
Belanda kedalam orbit kebudayaanpenguasa. Dengan jalan memanfaatkan
perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun terjadi
perkembangan kearah perbaikan derajat hidup Hindia Belanda tetapi pada
hakekatnya poitik monopoli belum dilepas oleh imperialisme Belanda.
Imperialisme tua yang menjelma menjadi imperialisme modern, Hindia Belanda
tetap hanya dijadikan ladang kekayaan bagi eksploitasi penjajahan Belanda. [21]
Dalam
relasi ini Semaoen berusaha untuk melawan berbagai kebijakan kolonial Belanda
yang merugikan masyarakat Hindia Belanda. Dengan jalan mengkritisi kebijakan
politik dan kebijkan ekonomi kolonial yang akhirnya berdampak pula pada kondisi
sosial masyarakat Hindia Belanda. Gerakan oposisi yang dilakukan oleh Semaoen
menimbulkan gejolak di Hindia Belanda, yang berdampak pada perubahan berbagai
kebijakan kolonial yang bersifat radikal. [22]
Daftar
Pustaka
Bambang
Suwondono. 1978. Sejarah Pegerakan
Nasional Daerah Jawa Timur. Jakarta: Balai Pustaka.
M.C.
Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sartono
Kartordirjo. 2014. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasiona. Yogyakarta : Ombak.
________________.
1967. Kolonialisme dan Nasionalisme di
Indonesia Abad X1X-XX. Yogyakarta:UGM.
Soewarsono.
2000. Berbareng Bergerak Sepenggal
Riwayat dan Pemikiran Semaoen. Yogyakarta: LKiS.
[1]
Soewarsono, Berbareng Bergerak : Sepengal
Riwayat dan Pemikiran Semaoen, (Yokyakarta : LKiS Yokyakarta, Yayasan
Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2000), hlm. 40.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid., hlm. 42.
[4]
Ibid.
[5]
Bambang Suowondo, dkk, Sejarah
Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, (Jakarta: Balai Pustaka, 1978),
hlm. 48-57.
[6]
Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen,(Yokyakarta: Gajah Mada University press,
2005), hlm. 253
[7]
Sartono Kartordirjo, Pengantar Sejarah
Indonesia Baru : Sejarah Pegerakan Nasional, (Yokyakarta : Ombak, 2014),
hlm. 144-147.
[8]
Soewarsono, Op. Cit. Hlm. 42-46.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid. hlm. 64.
[11]
Ibid. hlm. 41-42.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid.
[14] Ibid., 24.
[15]
Ibid.
[16] Sartono Kartodirdjo, Op. Cit.,, hlm. 189
[17]
Soewarsono, Op. Cit. Hlm. 42-46.
[18]
Sartono Kartordirjo, Op. Cit., 145-146.
[19] Sartono Kartodirdjo, Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia
Abad X1X-XX (Yogyakarta:UGM,1967),
hlm. xxv.
[20]
Bambang Suowondo, dkk, Op. Cit. hlm.
113.
[21]
Sartono Kartodirdjo, Op. Cit.,
hlm. 175.
[22]
Ibid.,
Comments
Post a Comment