Benih-benih
paham Marxisme datang dari luar negeri dan mulai ditanamkan di bumi Indonesia
pada masa sebelum Perang Dunia I, yaitu dengan datangnya seorang pemimpin buruh
Negeri Belanda bernama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet. Ia adalah
anggota Sociaal Democrastische Arbeiderspartij (SDAP) atau Partai Buruh
Sosial Demokrat.[1]
Pada tahun 1913, Sneevliet tiba di
Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai penganut mistik Katolik, tetapi
kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme
serikat dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen Komintern di Cina dengan
kan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 dia mendirikan Indische
Social-Democratische Verenining (ISDV: Perserikatan Sosial Demokrat Hindia)
di Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai
komunis pertama di Asia yang berada di luar Uni Soviet.[2]
Sneevliet melihat Indonesia sebagai
tanah subur bagi pertumbuhan aliran komunisme. Sneevliet disusul oleh Marxist
lainnya yaitu Brandsteder, Ir. Baars, Dr. Rinkes, C. Hartogh dan lain-lain.
Kader-kader pertamanya ialah Alimin, Semaun, Darsono, Muso, S.M. Kartosuwiryo
dan lain-lain. Sneevliet menganggap penjajahan Belanda yang masih kuat
bercokol, maupun rakyat Indonesia yang menderita karena penindasan, begitu
melihat dan menilai, ia segera melaporkannya kepada Lenin. Karena Lenin pada Mei
1913 menulis dengan harian Pravda, “Suatu perkembangan penting adalah
penyebaran gerakan demokratis revolusioner di Hindia-Belanda, di Jawa, dan
kepulauan lainnya yang berpenduduk kira-kira 40 juta jiwa.[3]
Di Indonesia, mula-mula ia bekerja
sebagai anggota staf redaksi pada surat kabar Soerabajasch Handelsbald,
tidak lama kemudian pada tahun 1913, dia pindah ke Semarang dan menjadi
sekretaris pada Semarangse Handelsvereninging. Bagi Sneevliet tinggal di
Semarang adalah menguntungkan karena Semarang adalah pusat daripada Vereninging
van Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), serikat buruh yang tertua di
Indonesia dan pada masa itu merupakan suatu perkumpulan yang sudah tersusun
baik. Sebagai pemimpin sosialis yang berpengalaman dalam waktu singkat ia
berhasil membawa VSTP ke arah yang lebih radikal. VSTP menjadi tonggak
berdirinya ISDV, partai pertama di Asia yang yang beraliran komunis.[4]
Pada tahun 1915, ISDV menerbitkan
majalah Het Vrije Woord dengan redaksi Sneevliet, Bergsma dan Adolf
Baars. Sneevliet dan kawan-kawannya merasa bahwa ISDV tidak dapat berkembang
karena tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu mereka
menganggap adalah lebih efektif untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar
yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada massa rakyat Indonesia. Maka dari
itu ISDV bersekutu dengan Insulinde tetapi karena tidak memenuhi sasaran tujuan
kerjasama itu bubar. Sasaran kedua adalah masuk ke dalam Sarekat Islam pada
tahun 1916, pada saat itu SI mempunyai massa yang besar hingga ratusan ribu.
ISDV berhasil menyusup ke dalam SI dengan cara menjadikan anggota ISDV menjadi
anggota SI dan sebaliknya menjadikan angota SI menjadi anggota ISDV. Dalam
waktu satu tahun, Sneevliet cs. Telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan
anggota-anggota SI.[5]
Pengaruh Sneevliet cs. di dalam SI
cukuplah kuat, mereka berhasil mengambil alih pemimpin muda SI menjadi pemimpin
ISDV. Salah satu di antara pemuda-pemuda tersebut adalah Darsono dan Semaun. SI
Semarang yang pada saat itu dipimpin oleh Semaun beraliran Marxitis, berhasil
mengembangkan jumlah anggotanya dari 1700 orang dari tahun 1916 menjadi 20.000
orang setahun kemudian.[6]
Di Rusia, pada tanggal delapan dan
sembilan Maret tahun 1917, kaum perempuan dan buruh yang kelaparan mengadakan
demonstrasi sambil menyanyikan lagu Mareseillase. Para tentara yang
diperintahkan untuk menembak para demonstran, menolaknya sehingga kemudian
pecahlah revolusi Rusia yang mengakibatkan Tsar turun takhta dan pemerintahan
profesional Rusia mulai dibentuk. Berita mengenai masalah ini baru sampai di
Indonesia sepuluh hari kemudian. Sneevliet pun tergerak untuk menuliskannya
dalam rangka membangkitkan semangat rakyat Indonesia. Ia menulis artikel
berjudul Zegepraal (kemenangan) dan menyerahkannya pada redaksi De
Indier agar diterbitkan. Meski tulisan Sneevliet telah diperhalus oleh redaksi
De Indier dari NIP (Nederlandsch Indische Partij), isi dari Zegepraal
masih terdengar kasar bagi para penjajah.[7]
Oleh karena artikel Sneevliet yang
berjudul Zegepraal tersebut, Sneevliet diseret ke pengadilan dengan
tuduhan melakukan penghasutan dan kegiatan subversif terhadap pemerintah.
Sneevliet kemudian dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara yang setelah itu
ternyata dibatalkan. Pembatalan tersebut, tidak lain hanyalah sebuah taktik agar
Sneevliet secepatnya pergi dari Hindia Belanda.[8]
Setelah Revolusi Rusia 1917,
ideologi radikal Sneevliet mendapat tempat yang luas di masyarakat, termasuk
bagi militer angkatan laut Belanda. Hal inilah yang kemudian membuat Belanda
khawatir hingga akhirnya memutuskan untuk mengusir Sneevliet dari Hindia
Belanda pada tahun 1918. ISDV pun ditekan pemerintah sebelum kemudian
dibubarkan dan berwujud sebagai partai baru yang bernama Partai Komunis
Indonesia.[9]
Bisa
dikatakan Sneevliet merupakan bapak komunisme di Indonesia. Selain menyebarkan
aliran komunisme dengan mendirikan ISDV, Sneevliet turut serta memberikan
doktrin kepada pemuda-pemuda Indonesia seperti Darsono, Semaun, bahkan Presiden
RI kita yang pertama Ir. Soekarno. Dengan ajarannya, komunisme pernah merasakan
manisnya perjuangannya di Indonesia hingga 1 Oktober 1965 saat terjadi
pembasmian para kader-kader komunisme pasca G 30/S.
[1] Marwati
Djoened Pusponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1993),
hlm.198.
[2] Ricklefs,
M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), hlm. 260.
[3] Soegiarso
Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, (Jakarta: Rola Sinar Perkasa, 1988), hlm..33.
[5] Ibid., hlm. 199.
[6] Ibid., hlm. 200.
[8] Ibid., hlm. 20.
[9] http://avandysatya.blogspot.com/2013/11/sneevliet-isdv-sarekat-islam-semarang.html,
diakses pada 2 April 2015, jam 19.42 WIB.
Comments
Post a Comment