I-1 kelahiran dan
Pemberian Nama
Sunan Mataram atau dikenali sebagai
Mangkurat Tegalwangi adalah anak kesepuluh dari ayahnya, Sultan Agung di mana
anak kedua dari permaisuri kedua, Raden Ayu Wetan. Raden Mas Sayidin / Jibus /
Rangkah merupakan putra tertua dari Sultan Agung dan Raden Ayu Wetan atau
dikenali sebagai Kanjeng Ratu Kulon yang telah menggantikan posisi permaisuri
pertama yaitu, Raden Emas Tinumpak. Sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin
secara resmi dinamakan sebagai Pangeran Aria Mataram. Tidak lama dari itu,
Pangeran Aria Mataram meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya yaitu
Mangkurat dengan menggunakan gelar Mangkurat Tegalarum di mana digunakan
tambahan Tegalarum untuk membedakan dirinya dari Mangkurat-Mangkurat lainnya.
I-2 Masa Muda
Putra mahkota dididik oleh seorang
Tumenggung Danupaya yaitu Tumenggung Mataram yang juga merupakan guru kepada
Pangeran Alit. Sultan Agung mengawinkan putra mahkota dengan seorang putri
Pangeran Pekik yang akhirnya terjadilah ikatan antara Kerajaan Mataram dan
Kerajaan Surabaya. Putra mahkota menjadi pusat suatu komplotan intrik istana
yang gawat dimana putra mahkota menculik istri tercantik Tumenggung Wiraguna. Pendukung
Pangeran Alit terutamanya Tumenggung Danupaya melaporkan kejadian tersebut
kepada Raja dengan harapan hak-hak putra mahkota akan dicabut dan digantikan
oleh Pangeran Alit tetapi hampa di mana Raja memarahi kedua-dua belah pihak dan
mempertahankan putra mahkota namun akhirnya selama beberapa waktu dibuang dari
Keraton.
I-3 Pengangkatan
Lima tahun setelah putra mahkota
kembali ke Keraton, Sultan Agung meninggal. Sebelumnya, ia telah mengatur
masalah penggantinya dimana Sultan Agung berharap supaya kekuasaan putranya
atas kerajaan Jawa mendapatkan dukungan dari Wiraguna supaya peralihan
kekuasaannya kepada putranya berjalan lancar karena sultan merasa khawatir akan
terjadi pertikaian antara kedua putranya dan paman mereka Pangeran Purbaya,
kakak sulungnya sendiri. Tumenggung Wiraguna dan Pangeran Purbaya serta abdi-abdi
utama sultan dipanggil dimana mereka diperintahkan agar menyetujui pengangkatan
putra sulungnya. Mereka ditahan beberapa hari di Keraton supaya tidak dapat
mengadakan komplotan dan kerusuhan.
I-4 Tumenggung Wiraguna
Para
patih Mataram seperti Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung
Saloran, dan Tumenggung Singaranu dimana keempat patih tersebut ada setelah
Ngabei Wirantaka meninggal dan berkuasa selama bertahun-tahun terakhir Raja
yang semakin parah dan lemah kesehatannya di mana Tumenggung Wiraguna merupakan
patih yang paling menonjol saat itu dan kedudukannya setaraf dengan gubernur
Jepara yaitu, Ngabei Martanata. Tumenggung Wiraguna tidak diberikan tugas
sebagai Tumenggung Mataram karena khawatir timbulnya ambisinya. Maka dari itu,
ditempatkan ketiga pejabat disampingnya dan Tumenggung Wiraguna termasuk
“primus interpares”.
I-5 Pangeran Purbaya
Dalam cerita tutur, ia disebut
sebagai kakak Sultan Agung dan putra Panembahan Krapyak di mana ia juga hadir
pada upacara penobatan putra Sultan Agung. Menurut cerita tutur, dialah yang
menempatkan kemanakannya tersebut di aats dampar, di atas sitinggil, dan
memproklamasikannya sebagai raja dengan gelar yang gagah perkasa yaitu Paduka
Yang Mulia Susuhunan Mangkurat Senapati ing-Alaga Ngabdur Rahman Sayidin
Panatagama. Menurut Serat Kandha, Pangeran
Purbaya yang pertama sekali menduduki tahta kerajaan dan menentang siapa saja
untuk memperebutkan tahta, namun tidak ada yang memberi reaksi, Pangeran Purbaya
turun dari tahta dan menempatkan Pangeran Adipati dari Mataram di tahta serta
mengangkatnya sebagai “Susuhunan Amangkurat dari Mataram”.
I-6 Gelar
Kerajaan
Raja
muda menganugerahi dirinya nama yaitu Susuhunan Ingalaga. Perwarisan suatu
gelar kesultanan tatkala itu belum terbiasa di Jawa. Raja Mataram merasa
keberatan harus berusaha dan mengeluarkan banyak biaya untuk diangkat sebagai
sultan oleh Mekah. Raja kembali memakai gelar Susuhunan dan sejak itu sebagian
besar nama raja Jawa tetap Jawa, sekalipun kemudian diberi sebagai tambahan
berbagai gelar dan nama Muslim. Kemudian, Raja tersebut terkenal sebagai
Mangkurat yang memangku kerajaan. Dalam tulisan Kompeni, sesekali ia disebut
sebagai Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga. Setelah ia meninggal, ia
dinamakan menurut tempat pemakamannya, yaitu Susuhunan Tegalwangi / Sultan
Plered yang juga disebut Mangkurat Agung dan nama Ngabdur Rahman Sayidin
Panatagama dianggap sebagai tambahan dengan mencontohi gelar-gelar raja abad
ke-18.
Comments
Post a Comment