Identitas
Buku :
Judul
|
Penaklukan Pulau Jawa
|
No. ISBN
|
9789792797312
|
Penulis
|
Major William Thorn
|
Penerbit
|
|
Tanggal terbit
|
Maret - 2011
|
Jumlah Halaman
|
|
Berat Buku
|
-
|
Jenis Cover
|
Soft Cover
|
Dimensi(L x P)
|
-
|
Kategori
|
Sejarah Indonesia
|
Bonus
|
-
|
Text Bahasa
|
Indonesia ·
|
Pendahuluan
Sebuah catatan
perjalanan Mayor William Thorn dari Angkatan Bersenjata Inggris Raya yang
dikirim ke Jawa (dan Malaya) untuk mempertahankan wilayah itu dari Perancis.
Dalam buku ini kita dapat melihat keadaan Jawa (Jakarta, Cirebon, Semarang dan
khususnya Yogyakarta) di masa penjajahan, lengkap dengan kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat Jawa saat itu. Menarik pula untuk diikuti adalah situasi
seputar kesultanan Yogyakarta, yang mendapat perhatian Mayor William Thorn
cukup banyak dalam catatan perjalanan ini.
Sinopsis
Buku :
Peperangan era Kaisar
Prancis Napoleon Bonaparte (1799-1815) mengubah wajah dunia ketika itu,
khususnya di Benua Eropa. Perang itu sebetulnya bersifat kontinental, karena
berlangsung di Benua Eropa, tapi kemudian merembet ke daerah-daerah koloni
masing-masing negara yang terlibat, salah satunya Hindia Belanda (Jawa).
Inggris saat itu adalah lawan yang paling tangguh bagi Prancis, terutama armada
lautnya. Bahkan, Inggrislah kemudian yang mengakhiri kekuasaan Napoleon pada 18
Juni 1815 dalam pertempuran Waterloo.
Pasukan Inggris di
bawah kepemimpinan Lord Minto dan Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty juga yang
mengakhiri kekuasaan Prancis di Jawa. Jawa sebelumnya merupakan bagian dari
koloni Belanda, tapi setelah Belanda dikuasai Prancis, kekuasaan atas Jawa pun
berpindah ke tangan Prancis. Prancis kemudian menunjuk Herman Willem Daendels
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia memerintah di sana dari 1808-1811.
Secara keseluruhan, Jawa diambil alih Inggris melalui pertempuran yang sengit
di beberapa tempat, seperti di Batavia, Yogyakarta, Semarang, Surabaya hingga
Madura.
Buku karya William
Thorn ini merekam cukup detail penaklukan Jawa oleh Inggris, karena ia adalah
salah satu tentara Inggris dengan pangkat Brigadir Mayor pada divisi pimpinan
Sir Robert Rollo Gillespie. Sebelum ekspedisi ke Jawa, Thorn berpangkat letnan
dan terdaftar sebagai pasukan Light Dragoon ke-29 di India selama perang
Maratha tahun 1803-1805, dan ikut terlibat dalam penaklukan Aligarth, Delhi,
dan Agra tahun 1803. Ia juga ikut dalam penyergapan Bharatpur pada 1805. Pada
1807, Thorn dipromosikan sebagai kapten dan diangkat sebagai brigadir mayor,
ditempatkan di pangkalan militer di Bangalore. Ia juga berpartisipasi dalam
penaklukan Mauritius pada 1810. Thorn meninggal pada 29 November 1843, di
Neuwied, yang terletak di Sungai Rhine, setelah menyatakan pensiun pada 1825.
Dalam buku yang selesai
ditulis pada 1813 dan diterbitkan pada 1815 di London, Thorn tidak hanya
mencatat jalannya peperangan yang terjadi di Jawa, terutama, yang kemudian
berlanjut ke wilayah-wilayah lainnya, seperti Sumatera (Palembang), Kalimantan
(Banjarmasin), Sulawesi (Makassar), hingga Maluku (Ambon). Ia juga mencatat
cukup detail kondisi sosiokultural masyarakat setempat. Tentang pola hidup
masyarakat, kondisi lingkungan (iklim), mata pencarian, struktur pemerintahan
hingga tingkat bawah warisan Belanda, kota-kota, jalan-jalan, dan
sungai-sungainya. Sebagian besar catatan itu mulanya ditulis Thorn untuk
kepentingan militer Inggris, misalnya untuk mengetahui lokasi-lokasi benteng
pertahanan, pos-pos militer, kota-kota, dan pangkalan-pangkalan militer,
lengkap dengan peta grafisnya. Tapi, Thorn kemudian melengkapinya dengan
catatan-catatan lainnya. Thorn ini semasa dengan Sir Thomas Stamford Bingley
Raffles yang mulai 1811 menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah Jawa
berhasil ditaklukkan. Seperti halnya Thorn, Raffles juga penulis buku tentang
Jawa. Namun, bukunya yang berjudul History of Java baru terbit pada 1817, dua
tahun setelah buku Thorn ini terbit.
Seluruh penduduk Pulau
Jawa dalam catatan Thorn ketika itu diperkirakan berjumlah 5 juta jiwa.
Orang-orang pribumi bisa dikelompokkan berada dalam dominasi orang-orang Jawa
dan orang-orang Melayu. Orang-orang Eropa terhitung sedikit, seperti halnya
China dan Arab. Orang-orang Melayu dikenal nekat dan suka merantau karena watak
mereka yang gemar menjarah, berperang, dan melaut. Mereka ini, menurut Thorn,
umumnya lamban, tapi juga di saat bersamaan grasak-grusuk, pendendam, dan
pemberontak, serta tidak bisa dipercaya (hlm 216). Meski begitu, keberanian
mereka tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka tidak takut mati.Dibandingkan
dengan etnis Melayu, etnis Jawa jauh lebih banyak. Etnis ini terutama mendiami
daerah pedalaman. Secara umum, mereka merupakan penggarap tanah (masyarakat
agraris). Dalam pandangan Thorn, etnis Jawa ini dinilai luar biasa lamban, dan
boleh dikatakan tidak ada dorongan positif apa pun, ataupun didorong suatu
kebutuhan hidup, ataupun menuntut kesenangan hidup, yang bisa membangkitkan
mereka dari kondisi yang apatis itu, yang wajar-wajar saja bagi mereka (hlm
218). Thorn cukup heran dengan kondisi seperti itu, padahal penguasa mereka
(Belanda) dianggap jelas-jelas sangat lalim.
Secara fisik, Thorn
melihat etnis Jawa jauh lebih menarik daripada etnis Melayu. Kaum perempuannya
juga memiliki bentuk wajah yang lebih menarik dibandingkan perempuan-perempuan
Melayu. Mereka biasanya memakai kebaya dan kain panjang hitam, dengan stagen
lebar yang melingkari tubuh, yang berfungsi sebagai pakaian dalam. Kaum
laki-lakinya berbaju panjang katun warna hitam, berikut sarung yang diikat di
pinggang atau sepasang celana selutut. Orang-orang dari kelas sosial yang lebih
tinggi berdandan dengan kain bermotif, sutra, dan beludru yang sangat mereka
sukai berhiaskan sulaman. Mereka memakainya terutama ketika mendatangi
acara-acara perayaan dan acara-acara umum lainnya. Agama mereka umumnya Islam.
Namun, untuk etnis Jawa, dalam beberapa hal terjadi percampuran dengan tradisi
Hindu (sinkretis).
Kelebihan dan Kekurangan Buku :
Kelebihan :
Buku ini menjadi salah
satu rujukan berharga untuk melihat sosiokultural masyarakat Jawa abad ke-19
ketika Jawa dikuasai Inggris, selain tentu saja jalannya perang Inggris di
Jawa. Meski kekuasaan Inggris tidak lama di Jawa, karena seiring kekalahan
Napoleon pada 1815, Jawa dan Hindia Belanda secara keseluruhan dikembalikan
kepada Belanda, tapi catatan Thorn menjadi peninggalan penting untuk melihat
Jawa ketika itu.
Bahasa dalam buku mudah
dipahami karena alur ceritanya kronologis, bahasanya yang mudah dimengerti
membuat pembaca dengan mudah memahami isi buku.
Kekurangan :
Buku
ini sangat eropasentrisme, dimana penulis mengagungkan pasukan Inggris, dan
Kerajaan Inggris pada saat itu. Dimana penulis juga memandang rendah kebudayaan
Hindia Belanda pada saat itu.
Comments
Post a Comment