Sebagaimana halnya masyarakat Melayu dan Filipina, pandangan mengenai masyarakat Jawa yang malas menjadi semakin kuat dan meluas sejak kekuasaan colonial Belanda atas pulau tersebut berkembang. Menjelang abad ke-19 khususnya setelah diterapkan system tanah paksa oleh Van Den Bosch, gagasan tentang masyarakat Jawa yang malas tampil dengan lebih mencolok dalam perdebatan antara golongan liberal dengan konservatif.
Citra tentang masyarakat jawa yang malas tetap hidup sesudah itu dalam pikiran para penulis lain. Maka pada thun 1904, sejarawan ekonomi Clive Day, yang mengomentari situasi pada akhir abad ke 19, memberikan kesan sebagai berikut : “ Golongan pribumi yang tidak memiliki tanah maupun perdagangan yang mendukung mereka, dan yang menyewakannya kepada pihak-pihak lain tidak banyak jumlahnya, dan diserap kedalam organisasi desa setempat yang banyak sekali. Tingkat hidup-hidup rata-rata petani kelihatan rendah sekali jika diukur menurut standard barat.
Dalam prakteknya tidak mungkin menetapkan berbagai pekerjaan yang berguna dari penduduk pribumi, lewat seruan apa pun untuk suatu ambisi meningkatkan satandar mereka. Tidak kurang dari kesenangan kebendaan yang cukup akan menggerakkan mereka dari kebiasaan malas mereka. Hasilnya telah merupakan kenyataan umum di kalangan majikan memberikan sebagian besar gaji di muka umum kapan saja; kalau pribumi tersebut kena umpan, maka ia terikat untuk bekerja hingga ia melunasi hutang yang ia lakukan itu. Sitem uang muka itu berlaku di mana-mana hingga saat sekarang. Para majikan dan pegawai menyesalkan hal ini, tetapi mengakui kebutuhannya; bahkan pemerintah memberikan uang muka bilamana mebutuhkan pelayanan dari tenaga kerja upahan.
Tema mengenai masyarakat Jawa yang malas dalam lingkungan colonial Belanda berfungsi sebagai unsure pokok utama dari ideology colonial.Masa dari akhir abad ke- 18 hingga tahun 1830 pencapaian system tanam paksa ditandai dengan perbedaan pendapat mengenai bagaimana pemerintah Hindia Belanda seharusnya di kendalikan. Bagaimana koloni harus diatur untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda, yang kemudian memerlukan bantuan dukungan keuangan yang besar karena adanya peperangan ? Baik golongan liberal maupun golongan konservatif setuju untuk memasukkan kepentingan Belanda tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal cara mengeksploitasi ekonominya. Pada tahun 1830 golongan konservatif memenangkan pertentangan itu dengan diterapkannya system tanam paksa oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch.
System tanam paksa tersebut dalam prakteknya menimbulkan beberapa perlakuan kejam. Dua puluh tahun pertama ditandai dengan meningkatnya pemerasan terhadap penduduk pribumi oleh para pejabat pribumi yang ditugaskan mengumpulkan produk-produk tersebut. Persyaratan yang hanya 1/5 dari petak sawah di desa harus digunakan untuk menanam tanaman niaga, jarang diselidiki. Kebutuhan akan “tenaga kerja wajib” sebagai ganti dari 66hari per tahun, masa kerja asli yang normal, diperluas menjadi 240 hari untuk jenis tanaman milik pemerintah. Pajak ini masih juga dipungut “ Sebagai tambahan terhadap pemerkosaan yang disengaja tersebut, meskipun secara prinsip dasar system tersebut oleh penciptanya dimasukkan kedalam Lembaga Negara (No.22 Tahun 1834), masih terdapat berbagai praktek yang tidak adil dan sewenang-wenang. Kejahatan lainnya adalah menaruh semua kesalahan menjadi tanggung jawab petani jawa; tidak hanya untuk gagal panen, tetapi juga untuk seluruh factor alam dan ekonomi yang berpengaruh merugikan panennya
Diseputar pergantian abad ke-19 gerakan liberal di eropa telah menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Ingatan akan revolusi Perancis masih segar. Gerakan filososfis tersebut mulai memperngaruhi pandangan colonial.
Pada tahun 1706,seorang pemimpin jawa untuk beberapa lamanya dibuang ke pulau buru dengan alasan “malas”! (tidak cukup berhasil untuk memaksa pendudukdi daerahnya agar menghasilkan sejumlah tanaman yang telah ditentukan dengan jumlah yang cukup). Pada tahun 1747, bupati Tjiblagoeng dihukum karena “Kelambanannya”. Pada tahun 1788, seorang patih diancam akan dikirim ke batavia. Seorang pemimpin sumedang dicambuk dengan rotan dan dihukum hingga 5 tahun kerja paksa pada tahun 1805, karena melalaikan perkebunan belanda. Pada tahun 1800, seorang pemimpin dirantai kakinya karena “kemalasan”.
Novelis terkenal dan kritikus sistem tanam paksa, edward douwes dekker – yang bukunya, Max Havelaar telah menulis secara luas mengenai masalah kerja paksa. Douwes dekker menentang tema tentang pribumi yang malas. Inilah situasi umum, penindasan dan perlakuan buruk terhadap penduduk pribumi, yang mengakibatkan mereka menjadi lesu dalam melakukan hal-hal yang dipaksakan. Reaksi masyarakat jawa yang acuh tak acuh terhadap kerja paksa merupakan protes diam-diam terhadap politik pemerintah belanda.
Muntinghae menegaskan bahwa orang-orang eropa dengan dalih apa pun tidak cakap untuk bercocok-tanam di iklim tropis. Ketidaksediaan penduduk eropa inilah yang membuat pemerintah kolonial mengandalkan tenaga kerja pribumi yang enggan diajak, dan keengganan inilah dipandang sebagai kemalasan.
Kiranya jelas, bagaimana mitos tentang pribumi yang malas muncul dalam perjuangan ideologi pada masa itu di Jawa. Para penganjurnya jauh lebih banyak dan lebih kuat daripada oposisi liberalnya – seperti van Hogendrop, douwes dekker, dan lain-lainnya. Mitos ini diciptakan untuk mengabsahkan sistem jual paksa dan kerja paksa. Kemudian hal ini berlanjut dalam abad- 20, yang berfungsi sebagai alasan kapitalis untuk mempertahankan upah yang rendah.
Gubernur jenderal J. Siberg, dalam sanggahannya terhadap Van Hogendorp- dikirim dari Batavia tertanggal 19 mei 1802- memberikan 6 dalih utama mengapa pembagian lahan dan jual paksa tidak dihapuskan:
1. Orang jawa sangat malas dan terlalu lamban untuk mendapatkan lebih dari apa yang dibutuhkan.
2. Dengan dilaksanakannya system jual paksa , ia dipaksa untuk bekerja dan menghasilkan lebih banyak.
3. Dengan mengharuskannya membuat keuntungan yang lebih besar dalam system kapitalis liberal, ia akan meninggalkan pekerjaannya hingga keuntungannya habis dipakainya.
4. Akibatnya, lahan yang dibagikan tersebut akan menjadi terlantar dan rusak.
5. Karena itu lahannya akan dijual kepada orang cina atau pembeli dari eropa dengan harga yang asal laku, para pembeli ini dapat berubah menjadi raja kecil yang akhirnya mengeksploitasi mereka.
6. Kalau rencana Van Hogendorp dilaksanakan, lalu bagaimana caranya memaksa para penguasa jawa untuk menerima kesemuanya itu ? kepentingan terselubung mereka akan terancam oleh rencana ini.
W.H. Van Ijsseldijk dalam surat resmi tetanggal 31 Agustus 1802, mengakui adanya penyelewengan dan keadaan yang merugikan. Ia mendukung perombakan yang digambarkan oleh Van Hogendorp, tetapi ia lebih menyukainya untuk dibatasi pada daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaan hokum VOC. Terutama ia menaruh perhatian pada penghapusan kerja paksa, penerapan perdagangan bebas, dan peniadaan berbagai perlakuan kejam. Di pihak lain, H. W. Muntinghe, dalam sarannya kepada Raffles, 27 mei 1812, mencatat kemalasan masyarakat jawa, meskipun penyebabnya- seperti ia katakan- bukan karena turunan tetapi lingkungan. Ia tidak sepenuhnya setuju dengan penghapusan kerja paksa, meskipun ia setuju bahwa keadaan sebelumnya di jawa tidak menyenangkan. Filsafat politiknya, gambarannya tentang perombakan, didasarkan pada prinsip bahwa “setiap koloni ada, atau harus ada untuk keuntungan negeri induknya”. Suatau saat pernah dikemukakan oleh seorang menteri dari koloni bahwa masyarakat jawa lebih menyukai kerja paksa daripada kerja bebas.
Citra tentang masyarakat jawa yang malas tetap hidup sesudah itu dalam pikiran para penulis lain. Maka pada thun 1904, sejarawan ekonomi Clive Day, yang mengomentari situasi pada akhir abad ke 19, memberikan kesan sebagai berikut : “ Golongan pribumi yang tidak memiliki tanah maupun perdagangan yang mendukung mereka, dan yang menyewakannya kepada pihak-pihak lain tidak banyak jumlahnya, dan diserap kedalam organisasi desa setempat yang banyak sekali. Tingkat hidup-hidup rata-rata petani kelihatan rendah sekali jika diukur menurut standard barat.
Dalam prakteknya tidak mungkin menetapkan berbagai pekerjaan yang berguna dari penduduk pribumi, lewat seruan apa pun untuk suatu ambisi meningkatkan satandar mereka. Tidak kurang dari kesenangan kebendaan yang cukup akan menggerakkan mereka dari kebiasaan malas mereka. Hasilnya telah merupakan kenyataan umum di kalangan majikan memberikan sebagian besar gaji di muka umum kapan saja; kalau pribumi tersebut kena umpan, maka ia terikat untuk bekerja hingga ia melunasi hutang yang ia lakukan itu. Sitem uang muka itu berlaku di mana-mana hingga saat sekarang. Para majikan dan pegawai menyesalkan hal ini, tetapi mengakui kebutuhannya; bahkan pemerintah memberikan uang muka bilamana mebutuhkan pelayanan dari tenaga kerja upahan.
Tema mengenai masyarakat Jawa yang malas dalam lingkungan colonial Belanda berfungsi sebagai unsure pokok utama dari ideology colonial.Masa dari akhir abad ke- 18 hingga tahun 1830 pencapaian system tanam paksa ditandai dengan perbedaan pendapat mengenai bagaimana pemerintah Hindia Belanda seharusnya di kendalikan. Bagaimana koloni harus diatur untuk keuntungan sebesar-besarnya bagi Belanda, yang kemudian memerlukan bantuan dukungan keuangan yang besar karena adanya peperangan ? Baik golongan liberal maupun golongan konservatif setuju untuk memasukkan kepentingan Belanda tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal cara mengeksploitasi ekonominya. Pada tahun 1830 golongan konservatif memenangkan pertentangan itu dengan diterapkannya system tanam paksa oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch.
System tanam paksa tersebut dalam prakteknya menimbulkan beberapa perlakuan kejam. Dua puluh tahun pertama ditandai dengan meningkatnya pemerasan terhadap penduduk pribumi oleh para pejabat pribumi yang ditugaskan mengumpulkan produk-produk tersebut. Persyaratan yang hanya 1/5 dari petak sawah di desa harus digunakan untuk menanam tanaman niaga, jarang diselidiki. Kebutuhan akan “tenaga kerja wajib” sebagai ganti dari 66hari per tahun, masa kerja asli yang normal, diperluas menjadi 240 hari untuk jenis tanaman milik pemerintah. Pajak ini masih juga dipungut “ Sebagai tambahan terhadap pemerkosaan yang disengaja tersebut, meskipun secara prinsip dasar system tersebut oleh penciptanya dimasukkan kedalam Lembaga Negara (No.22 Tahun 1834), masih terdapat berbagai praktek yang tidak adil dan sewenang-wenang. Kejahatan lainnya adalah menaruh semua kesalahan menjadi tanggung jawab petani jawa; tidak hanya untuk gagal panen, tetapi juga untuk seluruh factor alam dan ekonomi yang berpengaruh merugikan panennya
Diseputar pergantian abad ke-19 gerakan liberal di eropa telah menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Ingatan akan revolusi Perancis masih segar. Gerakan filososfis tersebut mulai memperngaruhi pandangan colonial.
Pada tahun 1706,seorang pemimpin jawa untuk beberapa lamanya dibuang ke pulau buru dengan alasan “malas”! (tidak cukup berhasil untuk memaksa pendudukdi daerahnya agar menghasilkan sejumlah tanaman yang telah ditentukan dengan jumlah yang cukup). Pada tahun 1747, bupati Tjiblagoeng dihukum karena “Kelambanannya”. Pada tahun 1788, seorang patih diancam akan dikirim ke batavia. Seorang pemimpin sumedang dicambuk dengan rotan dan dihukum hingga 5 tahun kerja paksa pada tahun 1805, karena melalaikan perkebunan belanda. Pada tahun 1800, seorang pemimpin dirantai kakinya karena “kemalasan”.
Novelis terkenal dan kritikus sistem tanam paksa, edward douwes dekker – yang bukunya, Max Havelaar telah menulis secara luas mengenai masalah kerja paksa. Douwes dekker menentang tema tentang pribumi yang malas. Inilah situasi umum, penindasan dan perlakuan buruk terhadap penduduk pribumi, yang mengakibatkan mereka menjadi lesu dalam melakukan hal-hal yang dipaksakan. Reaksi masyarakat jawa yang acuh tak acuh terhadap kerja paksa merupakan protes diam-diam terhadap politik pemerintah belanda.
Muntinghae menegaskan bahwa orang-orang eropa dengan dalih apa pun tidak cakap untuk bercocok-tanam di iklim tropis. Ketidaksediaan penduduk eropa inilah yang membuat pemerintah kolonial mengandalkan tenaga kerja pribumi yang enggan diajak, dan keengganan inilah dipandang sebagai kemalasan.
Kiranya jelas, bagaimana mitos tentang pribumi yang malas muncul dalam perjuangan ideologi pada masa itu di Jawa. Para penganjurnya jauh lebih banyak dan lebih kuat daripada oposisi liberalnya – seperti van Hogendrop, douwes dekker, dan lain-lainnya. Mitos ini diciptakan untuk mengabsahkan sistem jual paksa dan kerja paksa. Kemudian hal ini berlanjut dalam abad- 20, yang berfungsi sebagai alasan kapitalis untuk mempertahankan upah yang rendah.
Gubernur jenderal J. Siberg, dalam sanggahannya terhadap Van Hogendorp- dikirim dari Batavia tertanggal 19 mei 1802- memberikan 6 dalih utama mengapa pembagian lahan dan jual paksa tidak dihapuskan:
1. Orang jawa sangat malas dan terlalu lamban untuk mendapatkan lebih dari apa yang dibutuhkan.
2. Dengan dilaksanakannya system jual paksa , ia dipaksa untuk bekerja dan menghasilkan lebih banyak.
3. Dengan mengharuskannya membuat keuntungan yang lebih besar dalam system kapitalis liberal, ia akan meninggalkan pekerjaannya hingga keuntungannya habis dipakainya.
4. Akibatnya, lahan yang dibagikan tersebut akan menjadi terlantar dan rusak.
5. Karena itu lahannya akan dijual kepada orang cina atau pembeli dari eropa dengan harga yang asal laku, para pembeli ini dapat berubah menjadi raja kecil yang akhirnya mengeksploitasi mereka.
6. Kalau rencana Van Hogendorp dilaksanakan, lalu bagaimana caranya memaksa para penguasa jawa untuk menerima kesemuanya itu ? kepentingan terselubung mereka akan terancam oleh rencana ini.
W.H. Van Ijsseldijk dalam surat resmi tetanggal 31 Agustus 1802, mengakui adanya penyelewengan dan keadaan yang merugikan. Ia mendukung perombakan yang digambarkan oleh Van Hogendorp, tetapi ia lebih menyukainya untuk dibatasi pada daerah yang secara langsung berada di bawah kekuasaan hokum VOC. Terutama ia menaruh perhatian pada penghapusan kerja paksa, penerapan perdagangan bebas, dan peniadaan berbagai perlakuan kejam. Di pihak lain, H. W. Muntinghe, dalam sarannya kepada Raffles, 27 mei 1812, mencatat kemalasan masyarakat jawa, meskipun penyebabnya- seperti ia katakan- bukan karena turunan tetapi lingkungan. Ia tidak sepenuhnya setuju dengan penghapusan kerja paksa, meskipun ia setuju bahwa keadaan sebelumnya di jawa tidak menyenangkan. Filsafat politiknya, gambarannya tentang perombakan, didasarkan pada prinsip bahwa “setiap koloni ada, atau harus ada untuk keuntungan negeri induknya”. Suatau saat pernah dikemukakan oleh seorang menteri dari koloni bahwa masyarakat jawa lebih menyukai kerja paksa daripada kerja bebas.
ini info yang saya cari. Thanks!
ReplyDelete