Pesisir Utara Jawa
Bahasa yang dipergunakan di masyarakat pesisir pantai utara Jawa tengah kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan. Di dalam pergaulana antar masyarakat, bahasa daerah sebagai bahasa komunikatif penduduk mendominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa resmi, misalnya rapat instansi, surat resmi, dan lain-lain. Tingkatan bahasa Jawa yang kerap dipakai dalam pergaulan sehari-hari antara lain bahasa Jawa ngoko untuk pergaulan dengan grade yang sama, lalu bahasa Jawa krama untuk peragulan dengan grade yang lebih tua atau lebih tinggi di atasnya.
Kebudayaan masyarakat pesisir dalam hal kebahasaan juga memunculkan banyak karya-karya sastra kuna yang mewakili penggunaan bahasa Jawa sekaligus menunjukkan eksistensi budaya Jawa di kalangan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Tengah. Karya sastra kuna tersebut antara lain Serat Babad Pengging era Kerajaan Demak yang menggunakan huruf Jawa, Serat Wali Sanga, dan lain sebagainya. Secara umum, bahasa Jawa yang termuat dalam naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Jawa yang disederhanakan, atau bahasa Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat (bukan lingkungan istana). Naskah yang berbentuk tembang macapat lebih banyak menggunakan variasi bahasa, baik pada pilihan kata maupun pada struktur kalimat karena pengaruh bentuknya yang harus mengindahkan guru lagu dan guru wilangan. Bisa dibilang bahkan tradisi penulisan karya sastra Jawa zaman Kartasura awal masih sama dengan tardisi penulisan sastra pesisiran, bahasa Jawa pesisiran yang digunakan dalam naskah-naskah ini hampir sama dengan bahasa Jawa baru atau bahasa Jawa zaman Kerajaan Surakarta, yang juga menggunakan kata-kata dialek pesisir (Banten, Cirebon, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya).
Bahasa pasar adalah bahasa jawa yang bercampur dengan bahasa lainnya, seperti contoh yang bisa kita ambil adalah percampuran bahasa jawa dengan bahasa belanda, seperti kita ketahui bahwa indonesia adalah negara jajahan belanda. Di masyarakat pesisir ada istilah brug, kata ini digunakan untuk menyebut jembatan, sebenarnya kata ini diadopsi dari bahasa belanda burg, tetapi karena orang jawa susah menyebutnya maka mereka menyebut dengan kata brug, yaitu jembatan. Bahasa Cirebon, Bahasa Jawa Cirebon, Cirebonan atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai basa Cerbon ialah sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes, Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, (Subang), Jatibarang, Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah.
Berikut ini contoh kalimat dalam bahasa Cirebon :
Kepriben kabare, cung? — Bagaimana kabarnya, nak?
Dalam bahasa pantura (Pemalang) :
Keprimen kabare, kang?
Bahasa Jawa Pekalongan
Bahasa Jawa Pekalongan atau Dialek Pekalongan adalah salah satu dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah Jawa Tengah terutama di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah Tegal (bagian barat), Weleri (bagian timur), dan daerah Pegunungan Kendeng(bagian selatan).
Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Jogya atau Solo, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti.
Ciri khas
Meskipun dialek Pekalongan banyak menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, misalnya: bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya tak begitu "kental" melainkan lebih "datar" dalam pengucapannya.
Bahasa yang dipergunakan di masyarakat pesisir pantai utara Jawa tengah kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan. Di dalam pergaulana antar masyarakat, bahasa daerah sebagai bahasa komunikatif penduduk mendominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa resmi, misalnya rapat instansi, surat resmi, dan lain-lain. Tingkatan bahasa Jawa yang kerap dipakai dalam pergaulan sehari-hari antara lain bahasa Jawa ngoko untuk pergaulan dengan grade yang sama, lalu bahasa Jawa krama untuk peragulan dengan grade yang lebih tua atau lebih tinggi di atasnya.
Kebudayaan masyarakat pesisir dalam hal kebahasaan juga memunculkan banyak karya-karya sastra kuna yang mewakili penggunaan bahasa Jawa sekaligus menunjukkan eksistensi budaya Jawa di kalangan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Tengah. Karya sastra kuna tersebut antara lain Serat Babad Pengging era Kerajaan Demak yang menggunakan huruf Jawa, Serat Wali Sanga, dan lain sebagainya. Secara umum, bahasa Jawa yang termuat dalam naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Jawa yang disederhanakan, atau bahasa Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat (bukan lingkungan istana). Naskah yang berbentuk tembang macapat lebih banyak menggunakan variasi bahasa, baik pada pilihan kata maupun pada struktur kalimat karena pengaruh bentuknya yang harus mengindahkan guru lagu dan guru wilangan. Bisa dibilang bahkan tradisi penulisan karya sastra Jawa zaman Kartasura awal masih sama dengan tardisi penulisan sastra pesisiran, bahasa Jawa pesisiran yang digunakan dalam naskah-naskah ini hampir sama dengan bahasa Jawa baru atau bahasa Jawa zaman Kerajaan Surakarta, yang juga menggunakan kata-kata dialek pesisir (Banten, Cirebon, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya).
Bahasa pasar adalah bahasa jawa yang bercampur dengan bahasa lainnya, seperti contoh yang bisa kita ambil adalah percampuran bahasa jawa dengan bahasa belanda, seperti kita ketahui bahwa indonesia adalah negara jajahan belanda. Di masyarakat pesisir ada istilah brug, kata ini digunakan untuk menyebut jembatan, sebenarnya kata ini diadopsi dari bahasa belanda burg, tetapi karena orang jawa susah menyebutnya maka mereka menyebut dengan kata brug, yaitu jembatan. Bahasa Cirebon, Bahasa Jawa Cirebon, Cirebonan atau disebut oleh masyarakat setempat sebagai basa Cerbon ialah sejenis dialek Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Barat terutama mulai daerah Pedes, Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara, (Subang), Jatibarang, Indramayu, sampai Cirebon dan Losari Timur, Brebes, Jawa Tengah.
Berikut ini contoh kalimat dalam bahasa Cirebon :
Kepriben kabare, cung? — Bagaimana kabarnya, nak?
Dalam bahasa pantura (Pemalang) :
Keprimen kabare, kang?
Bahasa Jawa Pekalongan
Bahasa Jawa Pekalongan atau Dialek Pekalongan adalah salah satu dari dialek-dialek Bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara tanah Jawa, yaitu daerah Jawa Tengah terutama di Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan. Dialek Pekalongan termasuk bahasa "antara" yang dipergunakan antara daerah Tegal (bagian barat), Weleri (bagian timur), dan daerah Pegunungan Kendeng(bagian selatan).
Dialek Pekalongan termasuk dialek Bahasa Jawa yang "sederhana" namun "komunikatif". Meskipun ada di Jawa Tengah, dialek Pekalongan berbeda dengan daerah pesisir Jawa lainnya, contohnya Tegal, Weleri/Kendal, dan Semarang. Namun oleh orang Jogya atau Solo, dialek itu termasuk kasar dan sulit dimengerti, sementara oleh orang Tegal dianggap termasuk dialek yang sederajat namun juga sulit dimengerti.
Ciri khas
Meskipun dialek Pekalongan banyak menggunakan kosakata yang sama dengan Dialek Tegal, misalnya: bae, nyong, manjing, kaya kuwe, namun pengucapannya tak begitu "kental" melainkan lebih "datar" dalam pengucapannya.
Ada lagi perbedaan lainnya, contohnya menggunakan pengucapan: ri, ra, po'o, ha'ah pok, lha, ye.
Demikian pula adanya istilah yang khas, seperti: Kokuwe artinya "sepertimu", Tak nDangka'i artinya "aku kira", Jebhul no'o artinya "ternyata", Lha mbuh artinya "tidak tau", Ora dermoho artinya "tak sengaja", Wegah ah artinya "tak mau", Nghang priye artinya "bagaimana", Di Bya bae ra artinya "dihadapi saja", dan masih banyak lainnya.
Comments
Post a Comment