Skip to main content

Makalah Tentang Konflik Agraria antara Masyarakat dengan Pemerintah

BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Jika kita mendengar kata konflik, maka asosiasi kita akan tertuju pada adanya peselesihan atau ketidakharmonisan atau pertentangan dan atau yang paling ekstrim adanya tindakan kekerasan. Konflik biasanya akan melibatkan adanya dua pihak yang besebrangan antara satu dengan lainnya. 
Masalah tanah merupakan persoalaan sensitif bagi kehidupan dan penghidupan  manusia. Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ Permukaan Bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1 UUPA). Sejak dulu, siapa yang mempunyai tanah paling banyak ialah yang paling berkuasa.
Menurut Budi Harsono dalam bukunya yang berjudul ”Hukum Agraria Indonesia” menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas  yaitu, bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan atau hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok  berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya berkaitan dengan penguasaan Sumber Daya Alam. Diantaranya mencakup  tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya.[1]


B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang melatarbelakangi konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah ?
2.    Bagaimana penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah ?
C.     TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik agraria antara masyarakat dan  pemerintah.
2. Mengetahui cara – cara yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah.
D.     SISTEMATIKA PENULISAN
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka.  Data berasal dari buku atau literatur baik cetak maupun online. Sumber literatur digunakan guna mendukung informasi dalam makalah ini. Sumber pustaka yang digunakan antar lain : buku, jurnal dan sumber lain yang memberikan informasi tentang peristiwa yang diteliti.
Dengan menggunakan bahan yang luas, penulis berharap dapat memberi suatu sumbangan kepada pengertian yang lebih baik tentang konflik yang ada mengenai rakyat dan pemerintah.
Adapun sistematika penulisan paper ini diantaranya yaitu:
Bab I yaitu tentang Pendahuluan tentang penulisan makalah ini, yaitu terdiri dari : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, masalah, dan sitematika penulisan.
Bab II yaitu tentang pengertian konsep rakyat, pengertian konsep pemerintah, konflik dan mengenai pembebasan lahan untuk kepentingan komunal, contoh konflik dan analisis faktor penyebab konflik dan solusi yang ditawarkan.
Bab III yaitu sebagai penutup penulisan kliping adalah kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAAN

A.    PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara rakyat dengan pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, terhadap kasus pertanahan memberikan respons / reaksi / penyelesaian terhadap sengketa tanah. Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Sedangkan pengertian dari tanah itu sendiri adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi, yang mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempak makhluk hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa sengketa tanah adalah perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas mampu karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah kepentingan hak.
Sebelum membahas mengenai konfik tanah antara rakyat dengan pemerintah maka terlebih dahulu membahas mengenai pengertian-pengertian dasar mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam konflik tanah antara rakyat dan pemerintah dahulu.

1.  Pengadaan Tanah
Pada dasarnya pengadaan tanah memiliki beberapa penjelasan. Penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan untuk menyediakan atau mengadakan  tanah  untuk kepentingan atau keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyekatau pembangunansesuatusesuai programpemerintahyangtelah ditetapkan.[2]Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingankomersial dan bukan komersial atau bukan sosial.
Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadidapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan hanya dengan cara memberikanganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain.
Menurut Pasal 1 angka 3 PerpresNo.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
Dari pengertian-pengertian datas mengenai pengadaan tanah dapat disimpulkan bahwa kegiatan memperoleh tanah yang dimaksudkan untuk kepentingan bersama dalam rangka pembangunan proyek sesuai dengan program pemerintah yang telah ditatapkan namun untuk mendapatkan tanah tersebut maka harus memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan tanah tersebut.

2.   Pembebasan Tanah
Pembebasan tanah sangatlah rawan  dalam penanganannya, kerena di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau dilihat dari kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, dapat dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat diatasnya. pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah semata-mata, melainkan menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus ditumbuhkan, dengan mengikut sertakan masyarakat secara adil. Dengan demikian, kalau rakyat melepaskan tanah-tanah mereka, pelepasan hak itu harus dengan keikhlasan demi pembangunan bangsanya.Pembebasan (hak) tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan melepaskan hubungan hukum antara pemilik atau pemegang hak dengan tanah, dengan pembayaran harga atau uang ganti rugi.[3]Dengan demikian maka tanah menjadi dikuasai langsung oleh negara, persetujuan pembebasan tanah tersebut terdapatnya kedua pihak yang membebaskan dan yang melepaskan hak dengan bantuan panitia pembebasan (hak) tanah dan Camat selaku Kepala Wilayah. Secara yuridis persetujuan tersebut tidak diikuti oleh salah satu pihak maka hak tanah tersebut tidak akan terlepas. Selain itu juga harus adanya surat atau pembebasan hak atas tanah, selain itu juga harus ada bukti bahwa pihak yang melepaskan tanah telah menerima ganti rugi sehingga bukan suatu paksaan.
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

3.   Pencabutan hak atas tanah
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.[4]
Dengandemikian,pencabutan hak atas tanah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil.Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentinganbersamadarirakyat,hak-hak atas tanah dapat dicabut,dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”

4.   Pengertian Kepentingan Umum
Dalam hal ini konsep kepentingan umum yang digunakan Pemerintah untuk mengambil tanah yang telah dibebani suatu hak atas tanah sesuai aturan UUPA.[5] Pengadaan tanah bagi kegiatan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan Hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasasn Nusantara.[6]
Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan bahwa :“kepentinganpembangunanyang dilakukan danselanjutnyadimiliki pemerintah  serta  tidak  digunakan  untuk  mencari  keuntungan,  dalam bidang-bidang antara lain :
·         Jalan umum, saluran pembuangan air
·         Waduk,bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi
·         Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusatKesehatanMasyarakat
·         Pelabuhan atau Bandara atau Terminal
·         Peribadatan
·         Pendidikan atau sekolahan
·         Pasar Umum atau Pasar INPRES
·         Fasilitas Pemakaman Umum
·         Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggu penanggulangan bahaya banjir, lahar
·         Pos dan Telekomunikasi
·         Sarana Olah Raga
·         Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya
·         Kantor Pemerintah
·         Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa kepentingan umum tidak meniadakan kepentingan pribadi/perorangan/badan, tetapi kepentingan umum adalah lebih tinggi derajatnya, jika dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Kepentingan umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukkannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam artidapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.

5. Proses Pengadaan Tanah
Untuk mendapatkan tanah dari rakyat, pemerintah tidah tidak bisa mengambil tanah tersebut secara sewenang-wenang namun pemerintah dapat mengadakan tanah tersebut dengan cara melakukan prosedur pengadaan tanah yang baik dan benar. Salah satunya melalui perjanjian, menurut Prof. Soebekti SH mengatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang (pihak) berjanji kepada seorang (pihak) lain atau dimana orang (pihak) itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanian tersebut dapat dijadikan sebagai sumber perikatan disamping undang-undang yang berlaku.
Dalam Pasal6ayat(1)KeppresNo.55/1993pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat(2) menyatakan bahwa :
Panitia Pengadaan Tanah dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Susunan Panitia Pengadaan Tanah Dalam Pasal 7 Keppres No.55/1993,susunan panitia pengadaan tanah terdiri dari:
·         Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua merangkap anggota
·         Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap anggota
·         Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota
·         Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang bangunan, sebagai anggota
·         Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian, sebagai anggota
·         Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencanadan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota
·         Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota
·         Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati Walikota madya sebagai Sekretaris bukan anggota
·         Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Sekretaris II bukan anggota.

Panitia pengadaan tanah tersebut diwilayah kabupaten/kotamadya, dibentuk oleh Gubenur. Hal ini sesuai dengan Pasal 2ayat (1) Permenag Agraria/Kepala BPN No.1/1994. Tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam Pasal 8 Keppres No.55/1993, yaitu :
·         Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman,  dan  benda-benda  lain  yang  ada  kaitannya  dengan  tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
·         Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
·         Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
·         Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut
·         Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang   memerlukan     tanah   dalam  rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
·         Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah
·         Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Menurut Pasal 1 butir 10 UU No.12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pengertian Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Uang ganti rugi ditetapkan atas kesepakan yang di buat pada saat musyawarah. Uang ganti rugi biasanya memiliki harga yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga dasar tanah pada umumna. Namun selain itu harga ganti rugi juga ditetapkan atas dasar lokasi dan faktor-faktor strategis yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Menurut Pasal 13 Keppres No. 55/1993 bentuk ganti kerugian yang diberikankepadapemilikhakatas tanahyang tanahnya digunakan untuk pembanguan bagi kepentingan umum adalah :
·         Uang
·         Tanah pengganti
·         Pemukimankembali
·         Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c
·         Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
Pembayaran ganti rugi harus dilakukan langsung kepada pemilik/pemegang haknya, baik menyangkut tanahnya maupun mengenai bangunan dan atau tanaman tumbuh (pasal 9 ayat 2).[7] Namun pembayaran ganti rugi dapat melalui yang diberi kuasa namun harus dengan alasan kuat yaitu pemiliknya berada di luar negri sehingga sulit untuk datang, pemiliknya sakit dan tidak dapat datang sendiri.

6. Penolakan atas Pengadaan Tanah
             Hendaknya memperhatikan kembali mengenai ketentuan dalam penetapan harga/uang ganti rugi, baik besarnya/jumlahnya maupun mengenai bentuknya atau kebijakan lainyanya agar dapat diterima oleh pemilik tanah. Namun jika belum ada jalan keluarmya maka dapat diselesaikan melalui :
·         Pemerintah harus mencari tanah lain.
·         Jika tanah yang diperlukan hanya tanah tersebut maka pemerintah terpaksa harus
               menyelesaikan hal tersebut dengan cara pencabutan hak. Jika sudah tidak ada cara lain. Pencabutan hak tanah secara yuridis tidak meliputi benda-benda yang ada di atasnya. Hal tersebut dikarenakan yang dibutuhkan hanya tanah kosong sehingga benda-benda yang ada di atas tanh tersebut harus turut diganti rugi bersama-sama ddengan tanah tersebut. Mengenai pencabutan hak tersebut memerlukan prosedure dan waktu yang cukup panjang, karena pencabutan hak itu dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia.[8]

B. ANALISIS KASUS/CONTOH KASUS
Penguasa dan rakyat khususnya petani merupakan dua kubu yang hampir selalu berlawanan dalam sejarah agraria di Indonesia. Petani sebagai grass root yang tidak memiliki kewenangan dalam struktur pemerintahan adalah pihak yang banyak mengalami kerugian akibat dari kebijakan penguasa yang tidak konsisten dan terkadang memihak pada kepentingan tertentu. Masalah inilah yang sering memicu terjadinya konflik-konflik pertanahan di Indonesia.
Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa, seperti pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan, sarana pengairan lainnya, sarana wisata, areal kehutanan produksi dan saran militer.
Contoh Kasus :
Ø  Sengketa tanah akibat penggusuran dan pengambilan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun keamanan. Misalnya, penggusuran ribuan keluarga karena akibat dari pembangunan Bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah.
Ø  Sengketa tanah akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan Taman Nasional atau Hutan Lindung yang mengatasnamakan kelestaraian lingkungan. Misalnya, pembuatan Pulo Panggung Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena lahan-lahan produktif mereka dinyatakan sebagai Hutan Lindung dan Suaka Marga Satwa.
Perlu diketahui juga bawasannya banyak kasus sengketa tanah antara negara dan rakyat yang mendapat campur tanggan dari instansi militer. Contohnya dalam konflik agraria di desa Sukamulya dimana ini merupakan konflik lama antara TNI AU dengan kaum petani dan masyarakat desa yang sampai saat ini masih saja berlangsung. Konflik ini sebenarnya ada kaitannya dengan Negara.

Analisis Kasus
Kasus 1 : Pembangunan Bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah
Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989. Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.
Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa 600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah genangan air.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hamman Ja’far, pengasuh pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya sudah menjadi danau.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994.
Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Sampai sekarang, kasus ini masih terkatung-katung karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan rasa keadilan dihati rakyat Kedung Ombo.



Faktor penyebab terjadinya konflik:
    Ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai.
    Terdapat perbedaan pendapat mengenai besarnya ganti rugi yang diberikan yakni Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara realitasnya warga dipaksa menerima Rp 250,-/m².
    Terjadi teror, intimidasi dan kekerasan fisik kepada penduduk setempat yang tidak mau pindah ini akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.
    Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah genangan air.

Penyelesaian/Solusi:
    Melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah dengan pemerintah daerah dan pemerintah daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
    Pemerintah pusat semestinya peduli terhadap permasalahan ini dan berkeinginan untuk segera menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berkelanjutan, karena seperti yang kita ketahui bawasannya tanah pada zaman dulu merupakan barang yang dianggap sangat berharga dan merupakan suatu harga diri bagi pemiliknya yang patut untuk diperjuangkan.

Kasus 2 : FENOMENA PENGGUSURAN DI JAKARTA

Pendahuluan
Penggusuran demi penggusuran di berbagai wilayah ibukota mewarnai bulan September ini. Pertama, pembersihan warga ampung Pulo di bantaran Kali Ciliwung. Proses yang memakan waktu panjang ini akhirnya diselesaikan dengan memindahkan 930 keluarga warga yang menempati bantaran kali. Meskipun sempat terjadi unjuk rasa warga kampung pada 1 September 2014 yang menuntut kejelasan pembayaran ganti rugi, pada tanggal 9 September Pemerintah DKI Jakarta sudah mulai menggunakan alat berat untuk melakukan pengerukan kali inspeksi Ciliwung. Kedua, pada 2 September 2014 perkumpulan warga makoorvat tolak Penggusuran’ menutup mulut dengan lakban sebagai aksi protes buntunya pembicaraan pembebasan lahan di Kali Mookervart dengan pihak Pemerintah Kota Jakarta Barat. Dan, ketiga, pada tanggal 3 September 2014 petugas Satpol PP menggunakan eskavator untuk menghancurkan puluhan bangunan permanen di Jalan Raya Fatmawati, Jakarta. Penggusuran ini dilakukan karena lokasi bangunan tersebut masuk dalam proyek Mass Rapid Transit (MRT).
            Selama Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta setidaknya telah dilakukan 16 penggusuran. Penggusuran merupakan kegiatan terencana yang dapat diketahui satu tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penggusuran yang terjadi di tahun 2014 sudah tercantum dalam pembahasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) yang disahkan pada pertengahan Desember 2013. Dalam RDTR tersebut disebutkan bahwa Pemprov DKI akan melakukan normalisasi empat sungai besar, yakni bantaran Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Angke, dan Kali Sunter serta 10 waduk. Selain upaya normalisasi waduk dan sungai, Pemprov DKI juga akan melakukan penertiban bangunan di atas saluran-saluran air karena melanggar Perda Nomor 8 tahun 2007. Di samping itu, Pemprov DKI juga akan membuka ruang terbuka hijau besar-besaran pada 2014 nanti yang tentunya berdampak pada penggusuran.
            Namun demikian, dokumen RDTR yang telah disahkan tersebut tidak menampilkan
informasi mengenai lokasi-lokasi permukiman liar dan kios/pedagang kaki lima (PKL) liar, sehingga seolah-olah tidak terlihat siapa saja yang akan terkena dampak penggusuran. Padahal banyak permukiman liar/PKL yang mengambil tempat sementara di lahan Negara yang diabaikan oleh Pemprov. Akibatnya, proses penggusuran selalu rentan terhadap konflik.

Penyebab Penggusuran di Perkotaan
Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tidak
langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran dapat terjadi di perdesaan maupun di perkotaan. Penggusuran yang terjadi di wilayah perdesaan, penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana yang membutuhkan lahan besar atau luas, seperti bendungan dan infrastruktur publik lainnya. Sebaliknya, penggusuran di wilayah perkotaan umumnya disebabkan keterbatasan dan mahalnya lahan. Upaya ini menyebabkan tersingkirnya kawasan pemukiman warga yang biasanya tidak pada tempatnya, misalnya perkampungan kumuh.
            Sebelum kita berbicara tentang perkampungan kumuh lebih jauh, ada baiknya kita memahami dua istilah yang hampir bermakna sama namun memiliki batasan yang berbeda, yaitu slum (pemukiman kumuh) dan squatter (pemukiman liar). Perkampungan kumuh yang menjadi sasaran penggusuran cenderung mengarah kepada squatter pemukiman liar. Jadi, penggunaan istilah perkampungan kumuh/ permukiman kumuh dalam tulisan ini adalah bermakna permukiman liar.
            Fenomena penggusuran berkaitan erat dengan keterbatasan ruang di kota untuk menyediakan tempat bagi permukiman dan tempat usaha. Faktor pendorong terjadinya fenomena ini antara lain, pertama, adanya ledakan penduduk ibukota. Berdasarkan data
dari Dinas Kependudukan, setiap tahun Kota Jakarta diserbu sekitar 250 ribu pendatang baru dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian besar pendatang tersebut tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga hanya mampu menjadi pekerja kasar dengan tingkat penghasilan yang rendah. Kondisi ini menyebabkan banyak di antaranya bertempat tinggal di permukiman liar atau berdagang di lokasi yang tidak semestinya.
            Kedua, terdapat banyak lahan tidur yang tidak jelas status dan peruntukkannya di Jakarta. Ketidakjelasan status ini selanjutnya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu yang dapat mengatur penguasaan lahan. Hal ini lambat laun mengakibatnya terjadi penguasaan lahan secara ilegal yang memicu terjadinya penggusuran.
            Ketiga, kemampuan pemerintah yang rendah dalam menyediakan rumah murah
dan tempat usaha yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terbatasnya akses masyarakat terhadap perumahan dan tempat usaha yang layak tersebutlah yang menyebabkan mereka terpaksa menempati wilayah pinggiran sungai atau lahan kosong secara ilegal.
            Penggusuran menghadapkan masyarakat pada dua posisi berlawanan, pro dan kontra. Bagi kalangan yang kontra, penggusuran menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, rusaknya kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah, serta melenyapkan aset hunian. Bagi sebagian pihak, penggusuran merupakan pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan, bahkan dianggap sebagai kejahatan terhadap hak
asasi manusia.
            Namun sebaliknya, kalangan yang pro meyakini bahwa penggusuran harus dilakukan karena hasil dari penggusuran tersebut adalah terciptanya suasana kota yang nyaman dan layak huni. Penggusuran diyakini sebagai bentuk lain pelayanan kepada masyarakat kota dan penegakan aturan hukum dengan tujuan mengembalikan hak-hak warga kota yang selama ini terampas ruang publiknya. Walapun beberapa kasus, penggusuran dilakukan dengan tujuan mengembalikan hak-hak pemilik lahan yang sah atas konflik lahan yang sering terjadi  di daerah perkotaan, tidak hanya berkaitan dengan lahan milik pemerintah. Di samping itu, banyak sekali warga yang tinggal di lahanlahan tidur atau kosong sebenarnya bukan berpenduduk Jakarta sehingga keberadaan mereka bukan tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.

Dampak Permukiman liar dan Kios Liar
Pemukiman liar acap kali dipandang sebagai sarang dari berbagai perilaku sosial menyimpang seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan sumber penyakit sosial lainnya. Berbagai prilaku menyimpang sering dijumpai di sini yang tentunya bertentangan dengan norma sosial, tradisi, dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat. Wujud plilaku menyimpang di permukiman liar ini berupa
perbuatan tidak disiplin lingkungan, antara lain membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat, tidak memiliki kartu tanda penduduk, atau menghindari kegiatankegiatan kemasyarakatan seperti gotong royong dan kegiatan sosial lainnya.
            Bagi kalangan remaja dan pengangguran biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, menggunakan obat terlarang, pelacuran, adu ayam, dan perbuatan mengganggu ketertiban umum lainnya. Akibat lebih lanjut dari perilaku menyimpang
ini mengarah kepada tindakan kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, tawuran, melakukan pungutan liar, mencopet, dan tindakan kekerasan lainnya.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman liar tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang semestinya disingkirkan. Kondisinya lingkungan yang kotor sering membuat masyarakat perkotaan memperlakukan permukiman liar sebagai “kotak sampah raksasa”. Tidak
mengherankan bila selain berasal dari dalam permukiman, sampah yang menggunung di permukiman liar juga sering berasal dari luar permukiman. Sering ditemui lahan kosong pada permukiman liar yang dijadikan tempat pembuangan sampah liar oleh masyarakat di sekitarnya. Permukiman liar juga identik dengan lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah oleh pengelola sampah kota. Pada akhirnya permukiman liar tumbuh menjadi sumber pencemaran udara, tanah, dan air serta menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai jenis penyebab penyakit.
            Permukiman liar tidak memiliki legalitas sehingga pembangunan sarana dan prasarana penunjang, seperti jaringan jalan, air bersih, air limbah, persampahan, dan saluran drainase oleh pemerintah tidak menjangkau kawasan ini. Tidak jarang masyarakat permukiman liar melakukan aktivitas mandi-cuci-kakus (MCK) di sungaisungai yang membelah kota. Mereka tidak lagi memedulikan kualitas air sungai tersebut yang umumnya sudah tercemar limbah rumah tangga ataupun limbah industri. Begitu pula dengan kios-kios liar, keberadaan mereka yang tidak tertata dengan baik sering menjadi penyebab kemacetan laluintas karena menyebabkan penyempitan jalan dan konsentrasi massa di lokasi yang tidak semestinya.
           
Menyelesaikan Masalah Penggusuran
Memperhatikan fenomena penggusuran perkampungan kumuh dan kaki lima di Jakarta maka diperlukan analisa kebijakan yang menyeluruh sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta menyadari bahwa meningkatnya jumlah penduduk miskin di kota-kota besar merupakan indikator meningkatnya ketimpangan sosial dan ketidakberesan manajemen kota. Selain itu, Pemprov DKI juga harus konsisten dalam mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayahnya. Sebagai contoh, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata  wilayah provinsi DKI Jakarta bahwaRTH yang harus dipenuhi sebanyak 13,94 persen dari luas DKI Jakarta yang 661,62 kilometer persegi, atau sekitar 90,6 kilometer persegi, namun realisasi pemenuhan RTH sampai saat ini baru mencapai 9,9 kilometer persegi. Pemerintah perlu menggunakan lahan yang rawan disalahgunakan agar tidak mengundang tumbuhnya permukiman kumuh.
           
Penutup
Penggusuran menjadi masalah klasik Yang dihadapi pemerintah. Konflik yang  ditimbulkan dalam setiap usaha menata ulang kota merupakan cermin lemahnya perencanaan tata ruang kota. Pemprov perlu menekankan upaya menjadikan Ibukota sebagai kawasan yang nyaman dan mampu mendukung kehidupan warganya. Untuk itu, Pemprov harus mengedepankan transparansi dalam mengkomunikasikan setiap rencana tata\ ruang kota. Pejabat pemerintah harus memaparkan rencana tata ruang wilayah agar masyarakat mengerti dan memahami mengapa diperlukan upaya penggusuran tersebut.
            Selain itu, Pemprov DKI perlu menunjukkan konsistensi pengaturan lahan, agar tidak ada pembiaran lahanlahan kosong yang rawan disalahgunakan sebagai permukiman kumuh. Di samping itu, Pemprov DKI juga dapat bekerja sama dengan daerah-daerah penyuplai kaum urban untuk mencegah bertambahnya pendatang tidak berketerampilan, misalnya dengan pemberdayaan usaha kecil daerah yang dapat memasarkan produknya di Jakarta.

                                                                     BAB III
                                                   KESIMPULAN
Penguasa dan rakyat khususnya petani merupakan dua kubu yang hampir selalu berlawanan dalam sejarah agraria di Indonesia. Petani sebagai grass root yang tidak memiliki kewenangan dalam struktur pemerintahan adalah pihak yang banyak mengalami kerugian akibat dari kebijakan penguasa yang tidak konsisten dan terkadang memihak pada kepentingan tertentu. Masalah inilah yang sering memicu terjadinya konflik-konflik pertanahan di Indonesia.
Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa, seperti pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan, sarana pengairan lainnya, sarana wisata, areal kehutanan produksi dan saran militer.
latar belakang terjadinya konflik agraria antara rakyat dan pemerintah dikarenakan : 1.  Ketidaksepakatan besarnya ganti rugi oleh pemerintah dengan masyarakat, 2. Pemerintah tidak memberikan solusi yang tepat setelah tanah atau lahan yang   ditempati masyarakat dialihfungsikan oleh pemerintah, 3. Terjadinya terror, intimidasi serta kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam mnyelesaikan konflik dimana masyarakat merasa dirugikan.
Dengan demikian, cara –cara menyelesaikan konflik sengketa yaitu melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah dengan pemerintah daerah dan pemerintah daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat semestinya peduli terhadap permasalahan ini dan berkeinginan untuk segera menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berkelanjutan, karena seperti yang kita ketahui bawasannya tanah pada zaman dulu merupakan barang yang dianggap sangat berharga dan merupakan suatu harga diri bagi pemiliknya yang patut untuk diperjuangkan.

Daftar Pustaka
Harsono, Budi. 1999. Hukum Agraria. Jakarta: Dijambantani.
Jhon, Salindeho. 1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Maria SW Surmardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rohani, Budi. 2014. Fenomena Penggusuran Di Jakarta. Jakarta: Jurnal Vol. VI, no. 17 / I / P3DI/ 2014.



[1] Harsono, Budi. 1999. Hukum Agraria. hlm. 6-7.
[2]Jhon Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan,( Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Hlm. 31.
[3] Ibid, hlm.33.
[4]Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia,(Jakarta: Rajawali Pers,1991), Hlm.38.
[5] Maria SW Surmardjono.Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm 72
[6] Op.Cit, Jhon Salindeho, hlm. 40
[7] Ibid.hlm.101
[8] Ibid.hlm.103

Comments

  1. Aku sudah tahu blog milikmu, kang. Hahahaha..........

    ~Bagus~

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis  

laporan ilmiah pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan kacang hijau

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh karena masih banyak para petani yang belum memaksilmalkan pengunaan pupuk kandang ( kotoran sapi). Penulis melakukan penelitian pertumbuhan tanamankacang hijau dengan persentase pupuk kandang yang berbeda-beda. Dari berbagai dasar-dasar teori telah dipaparkan kandungan-kandungan dalam pupuk kandang. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, memang benar bahwa pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kacang hijau. Dan dari penelitian kami, pupuk kandang yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dan harus sesuai dengan kondisi tanah, contohnya kalau tanah yang memiliki kadar nutrisinya rendah akan membutuhkan presentase pupuk kandang yang lebih banyak. Bab 1 : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Tumbuhan merupakan makhluk hidup yang berperan sebagai produsen di muka bumi ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, salah satunya adalah nutrisi. Salah satu sumber nutrisi adalah pupuk

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh