BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jika kita mendengar kata konflik, maka asosiasi kita
akan tertuju pada adanya peselesihan atau ketidakharmonisan atau pertentangan
dan atau yang paling ekstrim adanya tindakan kekerasan. Konflik biasanya akan
melibatkan adanya dua pihak yang besebrangan antara satu dengan lainnya.
Masalah tanah
merupakan persoalaan sensitif bagi kehidupan dan penghidupan
manusia. Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ Permukaan Bumi” ( lihat pasal 4 ayat
1 UUPA). Sejak dulu, siapa yang mempunyai tanah paling
banyak ialah yang paling berkuasa.
Menurut Budi Harsono dalam bukunya yang berjudul ”Hukum
Agraria Indonesia” menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut
arti luas yaitu, bumi,air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut
dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan atau hukum mengenai agraria dan tidak
hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya
berkaitan dengan penguasaan Sumber Daya Alam. Diantaranya mencakup tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber
daya alam lainnya.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang melatarbelakangi konflik
agraria antara masyarakat dengan pemerintah ?
2.
Bagaimana penyelesaian konflik
agraria antara masyarakat dengan pemerintah ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik agraria
antara masyarakat dan pemerintah.
2. Mengetahui cara – cara yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik
agraria antara masyarakat dengan pemerintah.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka. Data berasal dari buku atau literatur baik
cetak maupun online. Sumber literatur digunakan guna mendukung informasi dalam
makalah ini. Sumber pustaka yang digunakan antar lain : buku, jurnal dan sumber lain
yang memberikan informasi tentang peristiwa yang diteliti.
Dengan menggunakan bahan yang luas, penulis berharap dapat memberi
suatu sumbangan kepada pengertian yang lebih baik tentang konflik yang ada mengenai rakyat dan pemerintah.
Adapun sistematika penulisan paper ini
diantaranya yaitu:
Bab I yaitu
tentang Pendahuluan tentang penulisan makalah ini, yaitu terdiri dari : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, masalah, dan sitematika penulisan.
Bab II yaitu tentang pengertian konsep rakyat, pengertian
konsep pemerintah, konflik dan mengenai pembebasan lahan untuk kepentingan
komunal, contoh konflik dan analisis faktor penyebab konflik dan solusi yang
ditawarkan.
Bab III yaitu sebagai penutup penulisan kliping adalah kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAAN
A. PENGERTIAN-PENGERTIAN
DASAR
Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa,
sebagai contoh konkret antara rakyat dengan pemerintah. Sehubungan dengan hal
tersebut, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, terhadap kasus pertanahan
memberikan respons / reaksi / penyelesaian terhadap sengketa tanah. Sengketa
menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik
dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok
ataupun organisasi-organisasi. Sedangkan pengertian dari tanah itu sendiri
adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi,
yang mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempak makhluk hidup
lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa sengketa tanah
adalah perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas mampu karena kepemilikan
tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah kepentingan
hak.
Sebelum membahas mengenai konfik tanah
antara rakyat dengan pemerintah maka terlebih dahulu membahas mengenai
pengertian-pengertian dasar mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam
konflik tanah antara rakyat dan pemerintah dahulu.
1. Pengadaan Tanah
Pada dasarnya
pengadaan tanah memiliki beberapa penjelasan. Penyediaan dan pengadaan
tanah
dimaksudkan untuk
menyediakan atau
mengadakan tanah untuk kepentingan
atau
keperluan
pemerintah, dalam
rangka pembangunan proyekatau pembangunansesuatusesuai programpemerintahyangtelah ditetapkan.[2]Secara
garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan
tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang kedua pengadaan
tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingankomersial dan bukan
komersial atau bukan sosial.
Menurut Pasal 1
angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadidapat disimpulkan bahwa
pengadaan tanah dilakukan hanya dengan cara memberikanganti kerugian kepada
yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain.
Menurut Pasal 1
angka 3 PerpresNo.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.36/2005
dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk
dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan menurut
Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti
kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
Dari pengertian-pengertian datas mengenai
pengadaan tanah dapat disimpulkan bahwa kegiatan memperoleh tanah yang
dimaksudkan untuk kepentingan bersama dalam rangka pembangunan proyek sesuai
dengan program pemerintah yang telah ditatapkan namun untuk mendapatkan tanah
tersebut maka harus memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan tanah
tersebut.
2. Pembebasan Tanah
Pembebasan tanah sangatlah
rawan dalam penanganannya, kerena di
dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau dilihat dari kebutuhan
pemerintah akan tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, dapat dimengerti
bahwa tanah negara yang tersedia sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh yaitu membebaskan tanah milik rakyat, baik yang
dikuasai hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat diatasnya. pelaksanaan pembangunan maupun pembinaan dan pemeliharaan hasil-hasil
pembangunan bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah semata-mata, melainkan
menjadi tanggung jawab masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, rasa tanggung
jawab masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus
ditumbuhkan, dengan mengikut sertakan masyarakat secara adil. Dengan demikian,
kalau rakyat melepaskan tanah-tanah mereka, pelepasan hak itu harus dengan
keikhlasan demi pembangunan bangsanya.Pembebasan (hak) tanah adalah suatu
perbuatan hukum yang bertujuan melepaskan hubungan hukum antara pemilik atau
pemegang hak dengan tanah, dengan pembayaran harga atau uang ganti rugi.[3]Dengan
demikian maka tanah menjadi dikuasai langsung oleh negara, persetujuan
pembebasan tanah tersebut terdapatnya kedua pihak yang membebaskan dan yang
melepaskan hak dengan bantuan panitia pembebasan (hak) tanah dan Camat selaku
Kepala Wilayah. Secara yuridis persetujuan tersebut tidak diikuti oleh salah
satu pihak maka hak tanah tersebut tidak akan terlepas. Selain itu juga harus
adanya surat atau pembebasan hak atas tanah, selain itu juga harus ada bukti
bahwa pihak yang melepaskan tanah telah menerima ganti rugi sehingga bukan
suatu paksaan.
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa
tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu :
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau
badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku.
3. Pencabutan hak atas tanah
Pencabutan hak
atas tanah menurut UUPA adalah
pengambilalihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi
hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai
dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.[4]
Dengandemikian,pencabutan
hak atas tanah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan
untuk kepentingan umum
setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil.Dasar hukum
pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan
bahwa:
”Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentinganbersamadarirakyat,hak-hak
atas tanah dapat dicabut,dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara
yang diatur dengan undang-undang”
4.
Pengertian
Kepentingan Umum
Dalam hal ini konsep kepentingan umum
yang digunakan Pemerintah untuk mengambil tanah yang telah dibebani suatu hak
atas tanah sesuai aturan UUPA.[5]
Pengadaan tanah bagi kegiatan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah
dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Kepentingan
umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan
Hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan
Ketahanan Nasional serta Wawasasn Nusantara.[6]
Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55/1993 dinyatakan
bahwa :“kepentinganpembangunanyang
dilakukan danselanjutnyadimiliki
pemerintah serta tidak digunakan
untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :
·
Jalan
umum, saluran pembuangan air
·
Waduk,bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi
·
Rumah
Sakit Umum dan Pusat-pusatKesehatanMasyarakat
·
Pelabuhan
atau Bandara atau Terminal
·
Peribadatan
·
Pendidikan
atau sekolahan
·
Pasar
Umum atau Pasar INPRES
·
Fasilitas
Pemakaman Umum
·
Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggu penanggulangan bahaya banjir, lahar
·
Pos
dan Telekomunikasi
·
Sarana
Olah Raga
·
Stasiun
Penyiaran Radio, Televisi beserta
sarana pendukungnya
·
Kantor
Pemerintah
·
Fasilitas
Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
Dapat
disimpulkan bahwa kepentingan umum tidak meniadakan kepentingan
pribadi/perorangan/badan, tetapi kepentingan umum adalah lebih tinggi
derajatnya, jika dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan pribadi.
Kepentingan
umum adalah kepentingan tersebut
harus memenuhi peruntukkannya dan harus dirasakan
kemanfaatannya,
dalam artidapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung.
5.
Proses Pengadaan Tanah
Untuk mendapatkan tanah dari rakyat,
pemerintah tidah tidak bisa mengambil tanah tersebut secara sewenang-wenang
namun pemerintah dapat mengadakan tanah tersebut dengan cara melakukan prosedur
pengadaan tanah yang baik dan benar. Salah satunya melalui perjanjian, menurut
Prof. Soebekti SH mengatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di
mana seorang (pihak) berjanji kepada seorang (pihak) lain atau dimana orang
(pihak) itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanian tersebut
dapat dijadikan sebagai sumber perikatan disamping undang-undang yang berlaku.
Dalam
Pasal6ayat(1)KeppresNo.55/1993pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
dengan bantuan Panitia Pengadaan
Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian
ayat(2) menyatakan bahwa :
Panitia
Pengadaan Tanah dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau lebih
Kabupaten/Kotamadya dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan
Tanah Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya
sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat
II yang bersangkutan.
Susunan Panitia Pengadaan Tanah Dalam Pasal 7 Keppres No.55/1993,susunan
panitia pengadaan tanah terdiri dari:
·
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai
Ketua merangkap anggota
·
Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil Ketua merangkap anggota
·
Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan, sebagai anggota
·
Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang
bangunan, sebagai anggota
·
Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dibidang
pertanian, sebagai anggota
·
Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencanadan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota
·
Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi
bidang tanah dimana rencana dan
pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota
·
Asisten Sekretaris
Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan
atau Kepala Bagian Pemerintahan pada
Kantor Bupati Walikota madya sebagai Sekretaris bukan anggota
·
Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Sekretaris II bukan anggota.
Panitia pengadaan tanah
tersebut diwilayah kabupaten/kotamadya,
dibentuk oleh Gubenur. Hal ini sesuai dengan Pasal
2ayat (1) Permenag Agraria/Kepala
BPN No.1/1994. Tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam Pasal 8 Keppres No.55/1993,
yaitu :
·
Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman,
dan benda-benda lain
yang ada kaitannya
dengan tanah yang hak atasnya
akan dilepaskan atau diserahkan
·
Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak
atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
·
Menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
·
Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan
tujuan pengadaan tanah tersebut
·
Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian
·
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas
tanah
·
Membuat berita acara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
Menurut Pasal 1 butir 10 UU No.12 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pengertian
Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
dalam proses pengadaan tanah. Uang ganti rugi ditetapkan atas kesepakan yang di
buat pada saat musyawarah. Uang ganti rugi biasanya memiliki harga yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan harga dasar tanah pada umumna. Namun selain itu
harga ganti rugi juga ditetapkan atas dasar lokasi dan faktor-faktor strategis
yang dapat mempengaruhi harga tanah.
Menurut Pasal 13
Keppres No. 55/1993 bentuk ganti kerugian yang diberikankepadapemilikhakatas
tanahyang tanahnya digunakan untuk
pembanguan bagi kepentingan umum adalah :
·
Uang
·
Tanah pengganti
·
Pemukimankembali
·
Gabungan dari
dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan
huruf c
·
Bentuk lain yang disetujui
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam Pasal 14, penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak
Ulayat diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain
yang bemanfaat bagi masyarakat setempat.
Pembayaran ganti
rugi harus dilakukan langsung kepada pemilik/pemegang haknya, baik menyangkut
tanahnya maupun mengenai bangunan dan atau tanaman tumbuh (pasal 9 ayat 2).[7]
Namun pembayaran ganti rugi dapat melalui yang diberi kuasa namun harus dengan
alasan kuat yaitu pemiliknya berada di luar negri sehingga sulit untuk datang,
pemiliknya sakit dan tidak dapat datang sendiri.
6. Penolakan atas Pengadaan Tanah
Hendaknya
memperhatikan kembali mengenai ketentuan dalam penetapan harga/uang ganti rugi,
baik besarnya/jumlahnya maupun mengenai bentuknya atau kebijakan lainyanya agar
dapat diterima oleh pemilik tanah. Namun jika belum ada jalan keluarmya maka
dapat diselesaikan melalui :
·
Pemerintah harus mencari tanah lain.
·
Jika tanah yang diperlukan hanya
tanah tersebut maka pemerintah terpaksa harus
menyelesaikan
hal tersebut dengan cara pencabutan hak. Jika sudah tidak ada cara lain.
Pencabutan hak tanah secara yuridis tidak meliputi benda-benda yang ada di
atasnya. Hal tersebut dikarenakan yang dibutuhkan hanya tanah kosong sehingga
benda-benda yang ada di atas tanh tersebut harus turut diganti rugi
bersama-sama ddengan tanah tersebut. Mengenai pencabutan hak tersebut
memerlukan prosedure dan waktu yang cukup panjang, karena pencabutan hak itu
dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia.[8]
B. ANALISIS KASUS/CONTOH KASUS
Penguasa dan rakyat khususnya petani merupakan dua kubu yang hampir
selalu berlawanan dalam sejarah agraria di Indonesia. Petani sebagai grass root yang tidak memiliki
kewenangan dalam struktur pemerintahan adalah pihak yang banyak mengalami
kerugian akibat dari kebijakan penguasa yang tidak konsisten dan terkadang
memihak pada kepentingan tertentu. Masalah inilah yang sering memicu terjadinya
konflik-konflik pertanahan di Indonesia.
Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada
berbagai jenis sengketa, seperti pembangunan sarana umum dan fasilitas
perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan, sarana
pengairan lainnya, sarana wisata, areal kehutanan produksi dan saran militer.
Contoh Kasus :
Ø Sengketa
tanah akibat penggusuran dan pengambilan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan
sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun keamanan.
Misalnya, penggusuran ribuan keluarga karena akibat dari pembangunan Bendungan
Kedung Ombo di Jawa Tengah.
Ø Sengketa
tanah akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan Taman Nasional
atau Hutan Lindung yang mengatasnamakan kelestaraian lingkungan. Misalnya,
pembuatan Pulo Panggung Lampung yang menyebabkan rakyat tersingkir karena
lahan-lahan produktif mereka dinyatakan sebagai Hutan Lindung dan Suaka Marga
Satwa.
Perlu diketahui juga bawasannya banyak kasus sengketa tanah
antara negara dan rakyat yang mendapat campur tanggan dari instansi militer.
Contohnya dalam konflik agraria di desa Sukamulya dimana ini merupakan konflik
lama antara TNI AU dengan kaum petani dan masyarakat desa yang sampai saat ini
masih saja berlangsung. Konflik ini sebenarnya ada kaitannya dengan Negara.
Analisis Kasus
Kasus 1 : Pembangunan
Bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah
Pada tahun 1985 Pemerintah merencanakan membangun waduk baru di Jawa
Tengah untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 Megawatt dan dapat
menampung air untuk kebutuhan 70 hektar sawah disekitarnya. Waduk ini dinamakan
Waduk Kedung Ombo. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari
Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985
sampai dengan tahun 1989. Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989.
Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Grobogan dan
Boyolali. Sebanyak 5268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini.
Ketika sebagian besar warga sudah meninggalkan desanya, masih tersisa
600 keluarga yang masih bertahan karena ganti rugi yang mereka terima sangat
kecil. Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara
warga dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan juga mengalami teror,
intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek
tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi
tersebut, akibatnya warga yang bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah
genangan air.
Romo Mangun bersama Romo Sandyawan dan K.H. Hamman Ja’far, pengasuh
pondok pesantren Pebelan Magelang mendampingi para warga yang masih bertahan di
lokasi, dan membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak, serta
membangun sarana seperti rakit untuk transportasi warga yang sebagian desanya
sudah menjadi danau.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994.
Waduk ini akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, tanggal 18 Mei 1991 dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Perselisihan ini akhirnya sampai ke pengadilan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang No.117/Pdt/G/1990 dan dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah No.143/Pdt/1991, dilanjutkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung No. 2263.K/Pdt/1991 dan putusan Kasasi lebih memberi keadilan bagi rakyat, yang kemudian dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan No. 650.PK/Pdt/1994.
Tahun 2001, warga yang tergusur tersebut menuntut Gubernur Jawa Tengah
untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk
ganti-rugi tanah. Akan tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras bahwa
masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Sampai sekarang, kasus ini masih
terkatung-katung karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan rasa keadilan
dihati rakyat Kedung Ombo.
Faktor penyebab terjadinya
konflik:
→ Ganti
rugi yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai.
→ Terdapat
perbedaan pendapat mengenai besarnya ganti rugi yang diberikan yakni Mendagri
Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi Rp 3.000,-/m², sementara realitasnya warga
dipaksa menerima Rp 250,-/m².
→ Terjadi
teror, intimidasi dan kekerasan fisik kepada penduduk setempat yang tidak mau
pindah ini akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut.
→ Pemerintah
memaksa warga pindah dengan tetap mengairi lokasi tersebut, akibatnya warga
yang bertahan kemudian terpaksa tinggal ditengah-tengah genangan air.
Penyelesaian/Solusi:
→ Melakukan
negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah dengan pemerintah daerah dan pemerintah
daerah berkoordinasi dengan pemerintah pusat.
→ Pemerintah
pusat semestinya peduli terhadap permasalahan ini dan berkeinginan untuk segera
menyelesaikan permasalahan ini agar tidak berkelanjutan, karena seperti yang
kita ketahui bawasannya tanah pada zaman dulu merupakan barang yang dianggap
sangat berharga dan merupakan suatu harga diri bagi pemiliknya yang patut untuk
diperjuangkan.
Kasus
2 : FENOMENA
PENGGUSURAN DI JAKARTA
Pendahuluan
Penggusuran demi
penggusuran di berbagai wilayah ibukota mewarnai bulan September ini. Pertama,
pembersihan warga ampung Pulo di bantaran Kali Ciliwung. Proses yang memakan
waktu panjang ini akhirnya diselesaikan dengan memindahkan 930 keluarga warga
yang menempati bantaran kali. Meskipun sempat terjadi unjuk rasa warga kampung
pada 1 September 2014 yang menuntut kejelasan pembayaran ganti rugi, pada
tanggal 9 September Pemerintah DKI Jakarta sudah mulai menggunakan alat berat
untuk melakukan pengerukan kali inspeksi Ciliwung. Kedua, pada 2
September 2014 perkumpulan warga makoorvat tolak Penggusuran’ menutup mulut
dengan lakban sebagai aksi protes buntunya pembicaraan pembebasan lahan di Kali
Mookervart dengan pihak Pemerintah Kota Jakarta Barat. Dan, ketiga, pada
tanggal 3 September 2014 petugas Satpol PP menggunakan eskavator untuk
menghancurkan puluhan bangunan permanen di Jalan Raya Fatmawati, Jakarta.
Penggusuran ini dilakukan karena lokasi bangunan tersebut masuk dalam proyek Mass
Rapid Transit (MRT).
Selama Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta setidaknya
telah dilakukan 16 penggusuran. Penggusuran merupakan kegiatan terencana yang
dapat diketahui satu tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penggusuran yang
terjadi di tahun 2014 sudah tercantum dalam pembahasan Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) yang disahkan pada pertengahan
Desember 2013. Dalam RDTR tersebut disebutkan bahwa Pemprov DKI akan melakukan
normalisasi empat sungai besar, yakni bantaran Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan,
Kali Angke, dan Kali Sunter serta 10 waduk. Selain upaya normalisasi waduk dan
sungai, Pemprov DKI juga akan melakukan penertiban bangunan di atas saluran-saluran
air karena melanggar Perda Nomor 8 tahun 2007. Di samping itu, Pemprov DKI juga
akan membuka ruang terbuka hijau besar-besaran pada 2014 nanti yang tentunya berdampak
pada penggusuran.
Namun demikian, dokumen RDTR yang telah disahkan tersebut
tidak menampilkan
informasi mengenai
lokasi-lokasi permukiman liar dan kios/pedagang kaki lima (PKL) liar, sehingga
seolah-olah tidak terlihat siapa saja yang akan terkena dampak penggusuran.
Padahal banyak permukiman liar/PKL yang mengambil tempat sementara di lahan
Negara yang diabaikan oleh Pemprov. Akibatnya, proses penggusuran selalu rentan
terhadap konflik.
Penyebab Penggusuran di Perkotaan
Penggusuran adalah
pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tidak
langsung yang dilakukan
pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk
keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran dapat terjadi di perdesaan maupun di
perkotaan. Penggusuran yang terjadi di wilayah perdesaan, penggusuran biasanya
terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana yang membutuhkan lahan besar
atau luas, seperti bendungan dan infrastruktur publik lainnya. Sebaliknya,
penggusuran di wilayah perkotaan umumnya disebabkan keterbatasan dan mahalnya
lahan. Upaya ini menyebabkan tersingkirnya kawasan pemukiman warga yang
biasanya tidak pada tempatnya, misalnya perkampungan kumuh.
Sebelum kita berbicara tentang perkampungan kumuh lebih
jauh, ada baiknya kita memahami dua istilah yang hampir bermakna sama namun
memiliki batasan yang berbeda, yaitu slum (pemukiman kumuh) dan squatter
(pemukiman liar). Perkampungan kumuh yang menjadi sasaran penggusuran
cenderung mengarah kepada squatter pemukiman liar. Jadi, penggunaan
istilah perkampungan kumuh/ permukiman kumuh dalam tulisan ini adalah bermakna permukiman
liar.
Fenomena penggusuran berkaitan erat dengan keterbatasan
ruang di kota untuk menyediakan tempat bagi permukiman dan tempat usaha. Faktor
pendorong terjadinya fenomena ini antara lain, pertama, adanya ledakan
penduduk ibukota. Berdasarkan data
dari Dinas Kependudukan,
setiap tahun Kota Jakarta diserbu sekitar 250 ribu pendatang baru dari berbagai
wilayah di Indonesia. Sebagian besar pendatang tersebut tidak memiliki
pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga hanya mampu menjadi pekerja
kasar dengan tingkat penghasilan yang rendah. Kondisi ini menyebabkan banyak di
antaranya bertempat tinggal di permukiman liar atau berdagang di lokasi yang
tidak semestinya.
Kedua, terdapat banyak lahan tidur yang tidak
jelas status dan peruntukkannya di Jakarta. Ketidakjelasan status ini selanjutnya
dimanfaatkan oleh kalangan tertentu yang dapat mengatur penguasaan lahan. Hal
ini lambat laun mengakibatnya terjadi penguasaan lahan secara ilegal yang memicu
terjadinya penggusuran.
Ketiga, kemampuan pemerintah yang rendah dalam
menyediakan rumah murah
dan tempat usaha yang layak
bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terbatasnya akses masyarakat terhadap
perumahan dan tempat usaha yang layak tersebutlah yang menyebabkan mereka
terpaksa menempati wilayah pinggiran sungai atau lahan kosong secara ilegal.
Penggusuran menghadapkan masyarakat pada dua posisi
berlawanan, pro dan kontra. Bagi kalangan yang kontra, penggusuran
menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, rusaknya
kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah, serta melenyapkan
aset hunian. Bagi sebagian pihak, penggusuran merupakan pelanggaran hak tinggal
dan hak memiliki penghidupan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
tidak berperikemanusiaan, bahkan dianggap sebagai kejahatan terhadap hak
asasi manusia.
Namun sebaliknya, kalangan yang pro meyakini bahwa
penggusuran harus dilakukan karena hasil dari penggusuran tersebut adalah
terciptanya suasana kota yang nyaman dan layak huni. Penggusuran diyakini
sebagai bentuk lain pelayanan kepada masyarakat kota dan penegakan aturan hukum
dengan tujuan mengembalikan hak-hak warga kota yang selama ini terampas ruang
publiknya. Walapun beberapa kasus, penggusuran dilakukan dengan tujuan mengembalikan
hak-hak pemilik lahan yang sah atas konflik lahan yang sering terjadi di daerah perkotaan, tidak hanya berkaitan dengan
lahan milik pemerintah. Di samping itu, banyak sekali warga yang tinggal di
lahanlahan tidur atau kosong sebenarnya bukan berpenduduk Jakarta sehingga
keberadaan mereka bukan tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.
Dampak Permukiman liar dan Kios Liar
Pemukiman liar acap
kali dipandang sebagai sarang dari berbagai perilaku sosial menyimpang seperti
kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Berbagai prilaku menyimpang sering dijumpai di sini yang tentunya bertentangan
dengan norma sosial, tradisi, dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak
sebagian besar anggota masyarakat. Wujud plilaku menyimpang di permukiman liar
ini berupa
perbuatan tidak disiplin
lingkungan, antara lain membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat, tidak
memiliki kartu tanda penduduk, atau menghindari kegiatankegiatan kemasyarakatan
seperti gotong royong dan kegiatan sosial lainnya.
Bagi kalangan remaja dan pengangguran biasanya
penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, menggunakan obat terlarang,
pelacuran, adu ayam, dan perbuatan mengganggu ketertiban umum lainnya. Akibat
lebih lanjut dari perilaku menyimpang
ini mengarah kepada
tindakan kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan,
pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, tawuran, melakukan pungutan liar,
mencopet, dan tindakan kekerasan lainnya.
Keluhan yang paling
sering disampaikan mengenai permukiman liar tersebut adalah rendahnya kualitas
lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang semestinya disingkirkan.
Kondisinya lingkungan yang kotor sering membuat masyarakat perkotaan
memperlakukan permukiman liar sebagai “kotak sampah raksasa”. Tidak
mengherankan bila selain
berasal dari dalam permukiman, sampah yang menggunung di permukiman liar juga
sering berasal dari luar permukiman. Sering ditemui lahan kosong pada
permukiman liar yang dijadikan tempat pembuangan sampah liar oleh masyarakat di sekitarnya. Permukiman liar juga identik dengan lokasi Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) sampah oleh pengelola sampah kota. Pada akhirnya
permukiman liar tumbuh menjadi sumber pencemaran udara, tanah, dan air serta
menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai jenis penyebab penyakit.
Permukiman liar tidak memiliki legalitas sehingga
pembangunan sarana dan prasarana penunjang,
seperti jaringan jalan, air bersih, air limbah, persampahan, dan saluran drainase oleh pemerintah tidak menjangkau kawasan ini. Tidak
jarang masyarakat permukiman liar melakukan
aktivitas mandi-cuci-kakus (MCK) di sungaisungai yang membelah kota.
Mereka tidak lagi memedulikan kualitas air sungai tersebut yang umumnya sudah tercemar limbah rumah tangga ataupun limbah industri.
Begitu pula dengan kios-kios liar, keberadaan mereka yang tidak tertata dengan
baik sering menjadi penyebab kemacetan laluintas karena
menyebabkan penyempitan jalan dan konsentrasi massa di lokasi yang tidak
semestinya.
Menyelesaikan Masalah Penggusuran
Memperhatikan
fenomena penggusuran perkampungan kumuh dan kaki lima di Jakarta maka diperlukan analisa kebijakan yang menyeluruh sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta
menyadari bahwa meningkatnya jumlah penduduk miskin di
kota-kota besar merupakan indikator meningkatnya ketimpangan sosial dan
ketidakberesan manajemen kota. Selain itu, Pemprov DKI juga harus konsisten
dalam mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayahnya. Sebagai contoh,
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata wilayah provinsi DKI Jakarta bahwaRTH yang
harus dipenuhi sebanyak 13,94 persen dari luas DKI Jakarta yang 661,62
kilometer persegi, atau sekitar 90,6 kilometer persegi, namun realisasi
pemenuhan RTH sampai saat ini baru mencapai 9,9 kilometer
persegi. Pemerintah perlu menggunakan lahan yang rawan disalahgunakan agar
tidak mengundang tumbuhnya permukiman kumuh.
Penutup
Penggusuran menjadi
masalah klasik Yang dihadapi pemerintah. Konflik yang ditimbulkan dalam
setiap usaha menata ulang kota merupakan cermin lemahnya perencanaan tata ruang kota. Pemprov perlu menekankan upaya menjadikan
Ibukota sebagai kawasan yang nyaman dan mampu
mendukung kehidupan warganya. Untuk itu, Pemprov harus
mengedepankan transparansi dalam mengkomunikasikan setiap rencana tata\ ruang
kota. Pejabat pemerintah harus memaparkan rencana tata ruang wilayah agar
masyarakat mengerti dan memahami mengapa diperlukan upaya penggusuran tersebut.
Selain itu, Pemprov DKI perlu menunjukkan konsistensi
pengaturan lahan, agar tidak ada pembiaran lahanlahan kosong yang rawan
disalahgunakan sebagai permukiman kumuh. Di samping itu, Pemprov DKI juga dapat
bekerja sama dengan daerah-daerah penyuplai kaum urban untuk mencegah
bertambahnya pendatang tidak berketerampilan, misalnya dengan pemberdayaan
usaha kecil daerah yang dapat memasarkan produknya di Jakarta.
KESIMPULAN
Penguasa dan rakyat khususnya petani merupakan dua kubu yang hampir
selalu berlawanan dalam sejarah agraria di Indonesia. Petani sebagai grass root yang tidak memiliki
kewenangan dalam struktur pemerintahan adalah pihak yang banyak mengalami
kerugian akibat dari kebijakan penguasa yang tidak konsisten dan terkadang
memihak pada kepentingan tertentu. Masalah inilah yang sering memicu terjadinya
konflik-konflik pertanahan di Indonesia.
Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada
berbagai jenis sengketa, seperti pembangunan sarana umum dan fasilitas
perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan, sarana
pengairan lainnya, sarana wisata, areal kehutanan produksi dan saran militer.
latar belakang
terjadinya konflik agraria antara rakyat dan pemerintah dikarenakan : 1. Ketidaksepakatan besarnya ganti rugi oleh
pemerintah dengan masyarakat, 2. Pemerintah tidak memberikan solusi yang tepat
setelah tanah atau lahan yang ditempati
masyarakat dialihfungsikan oleh pemerintah, 3. Terjadinya terror, intimidasi
serta kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam mnyelesaikan
konflik dimana masyarakat merasa dirugikan.
Dengan demikian,
cara –cara menyelesaikan konflik sengketa yaitu melakukan negosiasi ulang untuk
ganti-rugi tanah dengan pemerintah daerah dan pemerintah daerah berkoordinasi
dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat semestinya peduli terhadap
permasalahan ini dan berkeinginan untuk segera menyelesaikan permasalahan ini
agar tidak berkelanjutan, karena seperti yang kita ketahui bawasannya tanah
pada zaman dulu merupakan barang yang dianggap sangat berharga dan merupakan
suatu harga diri bagi pemiliknya yang patut untuk diperjuangkan.
Daftar Pustaka
Harsono, Budi. 1999. Hukum Agraria. Jakarta: Dijambantani.
Jhon,
Salindeho. 1993. Masalah Tanah Dalam
Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Maria SW
Surmardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan
Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rohani, Budi. 2014. Fenomena Penggusuran Di Jakarta. Jakarta:
Jurnal Vol. VI, no. 17 / I / P3DI/ 2014.
[1] Harsono, Budi. 1999. Hukum Agraria. hlm. 6-7.
[2]Jhon Salindeho, Masalah Tanah
Dalam Pembangunan,( Jakarta: Sinar Grafika, 1993), Hlm. 31.
[4]Effendi Perangin,
Hukum Agraria
Indonesia,(Jakarta:
Rajawali Pers,1991), Hlm.38.
[5] Maria SW Surmardjono.Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001), hlm 72
[6] Op.Cit, Jhon Salindeho, hlm. 40
[7] Ibid.hlm.101
[8] Ibid.hlm.103
Aku sudah tahu blog milikmu, kang. Hahahaha..........
ReplyDelete~Bagus~
wkwk
ReplyDelete