Skip to main content

Makalah Tentang Militer Afrika

BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Sejarah militer memiliki usia yang sangat panjang. Pada abad ke-5 Thucydide menulis Histoire de la guerre du Peloponnese (Sejarah Perang Peloponesos) yang merupakan sejarah militer. Sejarah militer adalah suatu kajian yang menarik. Dari lebih tigapuluh negara yang memperoleh kemerdekaan setelah akhir Perang Dunia II, sekurang-kurangnya sepuluh negara memiliki angkatan bersenjata yang memainkan peranan penting dalam bidang politik.[1]
Naiknya kaum militer dalam kehidupan negara-negara baru merupakan akibat dari kesulitan yang dihadapi negara-negara ini dalam usaha mereka untuk menempatkan diri sebagai negara modern yang berdaulat. Negara-negara baru itu memiliki kelemahan yang tidak teratasi oleh lembaga-lembaga politik yang diwariskan atau dibentuk pada waktu negara-negara itu memenangkan kemerdekaan.[2]
Lebih dari dua pertiga negara-negara Amerika Latin, Asia, Afrika dan Timur Tengah telah mengalami tingkat campur tangan militer sejak tahun 1945.[3] Hingga 1976, pihak militer berhasil merebut kekuasaan di setengah dari 18 negara di Asia.[4]
Para perwira tidak ikut campur tangan di dalam negara-negara Afrika Tropis sebelum tahun 1963, karena hampir semua negara tersebut masih dijajah. Tetapi menjelang tahun 1966, pemerintahan sipil telah dijatuhkan di Togo, Kongo atau Brazzaville, Zaire, Ghana, Dahomey, Republik Afrika Tengah, Volta Hilir dan Nigeria. Menjelang tahun 1976, perebutan kekuasaan terjadi pada separuh negara afrika, dan pada tahun tersebut separuh dari negara tersebut dikuasai oleh militer.[5]
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana konsep militer di Afrika?
2.      Bagaimana perkembangan sejarah militer di Afrika?
3.      Bagaimana kondisi militer di negara-negara Afrika?
4.      Bagaimana kedudukan militer di Afrika?
C.      TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Mengetahui konsep militer di Afrika.
2.      Mengetahui perkembangan sejarah militer di Afrika.
3.      Mengetahui kondisi militer di negara-negara Afrika.
4.      Mengetahui kedudukan militer di Afrika.
D.      METODE PEMBAHASAN
Dalam penulisan ini, penulis melakukan kajian pustaka. Suatu kajian pustaka berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka tentang masalah yang berkaitan—tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang dihadapi—tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan (collateral). Leedy (1997) mengemukakan bahwa semakin banyak seorang peneliti mengetahui, mengenal dan memahami tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (yang berkaitan erat dengan topik penelitiannya), semakin dapat dipertanggungjawabkan caranya meneliti permasalahan yang dihadapi.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan beberapa literature sebagai bahan kajian pustaka. Data berasal dari buku atau literatur baik cetak maupun online. Sumber literatur digunakan guna mendukung informasi dalam makalah ini. Sumber pustaka yang digunakan antar lain : buku, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang peristiwa yang diteliti.
Objek dari penulisan ini yaitu Sejarah Militer Afrika. Dengan menggunakan bahan yang luas, penulis berharap dapat memberi suatu sumbangan kepada pengertian yang lebih baik tentang sejarah militer di Afrika.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Militer di Afrika
Relasi militer dan politik dalam sebuah negara memang tidak akan bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politik yang diterapkan di negara tersebut. Di negara yang menganut sistem politik yang otoriter, dimana kekuasaan penguasa dipaksakan secara represif kepada seluruh warga negara, serta di negara totaliter, dimana penguasa mengatur berbagai hal mengenai khalayak, mulai dari yang bersifat privat hingga yang paling publik, peran militer dalam kehidupan politik sangat besar. Pada kondisi tersebut militer memiliki kekuasaan yang sangat besar, bahkan merupakan pengusa itu sendiri. [6] Hal ini dapat diamati dengan cermat pada negara yang dipimpin oleh junta militer.
Peran militer yang besar dalam kehidupan politik memang tidak bisa dipisahkan dari sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Pertanyaan yang muncul kemudian seperti, bagaiamana peran militer dalam sebuah negara yang menganut sistem politik yang demokratis, atau ada dalam masa transisi menuju sistem politik yang demokratis. Beberapa pakar mengatakan bahwa peran militer dalam sebuah negara yang menganut sistem politik yang demokratis menempatkan militer dibawah supremasi sipil. Hal ini memiliki pengertian bahwa sipil, yaitu legislatif dan eksekutif memiliki peran yang dominan dalam mengontrol militer dari segi pertahanan keamanan hingga pelibatan dalam kehidupan politik. Namun untuk benar-benar terealisasi seperti itu, butuh keseriusan dari sipil dan keterbukaan dari pihak militer.
Eric Nordlinger mengungkapkan gambaran konseptual mengenai relasi antara militer dan politik yang tentunya melibatkan sipil[7]. Nordlinger menyebut tentara yang terlibat dalam politik sebagai tentara-tentara praetorian. Sebutan tentara praetorian sendiri berasal dari zaman Romawi Kuno, dimana kaisar membentuk unit militer khusus yang disebut prajurit praetorian. Prajurit praetorian ini justru memakan dirinya sendiri, yaitu menggulingkan kaisar dan mengontrol proses pergantian para kaisar berikutnya. Prajurit praetorian itu pada kenyataannya memiliki keukasaan yang tidak kalah dari kaisar yang membentuknya. Nordlinger menggambarkan praetorianisme sebagau sebuah situasi dimana anggota militer merupakan aktor politik utama karena menggunakan kekuatan nyata atau ancaman yang mereka miliki. Berdasarkan tingkat keterlibatan militer dalam kehidupan politik di sebuah negara, Nordlinger membagi tentara praetorian ke dalam tiga kategori besar, yaitu moderators, guardians, dan rulers.
Kategori pertama tentara praetorian menurut Nordlinger adalah moderators. Dalam kategori ini militer tidak memiliki kekuasaan yang penuh, melainkan berbagai dengan yang lain, namun militer memiliki hak veto dan berusaha melindungi status quo yang ada. Kategori kedua adalah guardians, dimana militer ikut secara langsung mengontrol pemerintahan. Tujuan dari keterlibatan militer secara langsung ini adalah memperbaiki kesalahan-kesalahan serta pemborosan-pemborosan yang telah terjadi maupun yang sedang terjadi. Kategori yang ketiga adalah rulers, dimana militer mendominasi kekuasaan dan bertujuan untuk melakukan perubahan baik dari segi politik maupun sosial ekonomi.
Tabel 1 Kategori Tentara Praetorian Menurut Nordlinger
Indikator
Moderators
Guardians
Rulers
Kekuasaan yang dimiliki
Kekuasaan Veto
Kontrol Pemerintahan
Dominasi Rezim
Tujuan ekonomi dan politik
Melindungi Status Quo
Melindungi Status Quo serta Mengoreksi Kesalahan dan Pemborosan
Mempengaruhi perubahan sosial, ekonomi dan politik

Intervensi militer dalam kehidupan politik tidak bisa dilepaskan dari situasi sistem politik yang tidak stabil. Beberapa literatur mendeskripsikan situasi yang dapat mengakibatkan adanya intervensi militer dalam sistem politik, yaitu (1) jatuhnya prestise pemerintahan sehingga rezim berkuasa menggunakan pendekatan represif dalam memelihara ketertiban nasional, (2) perpecahan diantara pemimpin politik, (3) adanya intervensi dari negara luar, (4) pengaruh buruk adanya perebutan kekuasaan oleh militer di negara tetangga, (5) permusahan sosial di dalam negeri, terutama yang diperintah oleh kelompok minoritas, (6) krisis ekonomi, (7) korupsi dan niat pejabat sipil menjual bangsanya kepada kelompok asing, (8) struktur kelas yang sangat ketat sehingga dinas militer menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi, (9) Kepercayaan yang semakin meningkat tebal dalam memandang anggota militer sebagai pihak yang paling disiplin, (10) pengaruh asing, dan (11) Keyakinan pimpinan militer bahwa pemerintahan sipil telah mengkhianati mereka (Welch, dalam Azhar, 2005:11-14). Dalam suasana seperti ini militer masuk ke dalam ranah politik dengan alasan ‘to create stability, order and legitimacy’, sehingga mendapat dukungan pula dari rakyat.
Seperti yang telah dipaparkan pada paragraf awal bahwa mempelajari relasi militer dan politik, mau tidak mau melibatkan relasi sipil dan juga militer. Hal ini dikarenakan domain dari masing-masing pihak, yaitu sipil dalam ranah politik, sementara militer dalam ranah pertahanan dan keamanan. Ketika militer melakukan intervensi ke ranah politik, ada sebuah relasi yang terbangun antara militer dengan sipil. Para pakar ilmu politik telah membangun tiga model yang dapat dijadikan acuan untuk menjelaskan mengenai relasi antara sipil dan militer (Marijan, 2011:245-246).
Model yang pertama adalah model tradisional. Model ini dikembangkan pada abad 17 dan abad 18 di kerajaan-kerajaan dengan corak sistem politik monarki di Eropa. Model ini mengemukakan bahwa kalangan aristokrat (ningrat) membentuk kelompok sipil (birokrasi) dan kelompok militer secara bersamaan. Tidak jarang, para aristokrat mengambil posisi sebagai penguasa angkatan bersenjata. Terjadi supremasi sipil atas militer, namun supremasi ini terjadi lantaran kedua kelompok tersebut dikendalikan oleh para aristokrat yang membentuknya.
Model yang kedua adalah model liberal. Model ini menggambarkan adanya supremasi sipil atas militer yang lebih jelas dibandingkan model yang pertama, yaitu tradisional. Kelebih jelasan ini dikarenakan adanya perbedaan keahlian dan tanggungjawab antara sipil dan militer. Kelompok sipil memegang jabatan pemerintahan, baik karena dipilih maupun ditunjuk. Mereka bertanggungjawab untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kelompok militer memiliki kemampuan yang terlatih dan berpengalaman di dalam penggunaan kekuatan bersenjata. Kelompok militer memiliki tanggungjawab untuk melindungi negara dari serangan negara lain. Kelompok militer tidak memiliki pengaruh dalam kehidupan politik. Tindakan mempertahankan negara atau menyerang negara lain merupakan bentuk keputusan yang dihasilkan oleh pemerintah sipil, bukan militer.
Model yang ketiga adalah model penetrasi. Model ini diterapkan di negara-negara totaliter atau negara komunis. Dalam model ini, militer memiliki pengaruh dalam kehidupan politik, yaitu melalui penetrasi gagasan-gagasan politik. Proses ini dilakukan mulai dilakukan di bangku pendidikan militer hingga ketika mereka berkarier di organisasi kemiliteran. Ada semacam pemahaman yang ditanamkan bahwa militer memiliki kewajiban untuk menyumbangkan gagasan mengenai situasi perpolitikan yang terjadi.
Pertanyaan yang muncul kemudian terkait dengan relasi militer dalam politik, seperti yang telah diungkapkan dalam paragraf awal adalah, bagaimana memahami relasi antara militer dan politik yang melibatkan sipil pada negara yang mengalami transisi menuju negara yang demokratis. Samuel Huntington (dalam Marijan, 2011:247-248) mengemukakan perlunya kontrol sipil dalam mewujudkan tatanan demokrasi yang ideal dalam negara yang sedang mengalami transisi menuju kondisi yang demokratis. Menurutnya ada dua jenis kontrol sipil atas militer, yaitu subjective civilian control dan objective civilian control.
Dalam subjective civilian control, kontrol sipil atas militer diwujudkan melalui pemaksimalan kekuasaan sipil atas militer. Dalam model ini, kontrol sipil dapat dimanifestasikan dalam bentuk kontrol atas lembaga pemerintahan, kelas-kelas sosial, dan bentuk-bentuk konstitusional. Di sini, peran legislatif dan eksekutif menemukan urgensinya. Sedangkan dalam objective civilian control, kontrol dilakukan oleh sipil dengan pemaksimalan profesionalisme militer dalam tubuh militer. Hal ini dilakukan agar militer merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya.
B.  Kekuatan Militer di Afrika
Hampir semua negara Afrika mendapatkan kemerdekaannya melalui perundingan konstitusionil daripada dengan pergolakan senjata. Penguasaan kolonial atas militer di Afrika diserahkan hanya setelah tercapainya pemerintahan sendiri dan kelihatannya militer tidak membahayakan stabilitas pemerintahan. Timbulnya militer secara tiba-tiba sebagai kekuatan politik dan pengaruhnya didalam modernisasi politik di Afrika adalah tema dari realitas yang ada di Afrika.
Dari pertengahan tahun 1965 sampai akhir tahun 1969, lebih dari duabelas kudeta telah mengguncangkan negara-negara Afrika tropis. Kekuatan militer yang selama masa pergerakan menuju kemerdekaan tidak ikut aktif, tiba-tiba muncul sebagai penentu, yang telah siap untuk menumbangkan pemerintahan sipil.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan ini. Dari sekian banyak faktor itu, delapan diantaranya yang dianggap paling penting, adalah:
a.       Kemerosotan legitimasi partai politik;
b.      Perpecahan diantara para politisi terkemuka;
c.       Terbatasnya kemungkinan-kemungkinan campurtangan fihak luar;
d.      Penularan;
e.       Keadaan sosial yang tidak stabil;
f.       Korupsi yang merajalela;
g.      Kemacetan ekonomi;
h.      Kesadaran militer akan kekuatannya.

Setelah pemerintah sipil dijatuhkan, pemimpin kudeta berusaha untuk membenarkan tindakannya dalam merebut kekuasaan dengan menonjolkan masalah-masalah ekonomi, politik dan sosial yang tidak dapat ditangani oleh para politisi. Penguasa-penguasa baru itu menyatakan bahwa pemerintahan militer dalam satu periode saja, cukup dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan sistem politik yang ada, dalam arti militer berusaha melakukan modernisasi politik.
Akan tetapi, retorika mereka belum tentu sesuai dengan tindakan-tindakan yang mungkin mereka lakukan. Negara yang berdasarkan kekutan militer belum tentu akan lebih berhasil dalam menangani kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh pemerintah sipil. Bahwa pemerintahan-pemerintahan di Afrika yang berdasarkan pada kekuatan militer pasti akan mengalami kesukaran besar untuk memperoleh legitimasi dan oleh karenanya harapan-harapan mereka untuk menjadi pemerintah yang berhasil tetap tidak menentu.
Tiga aspek pokok dalam modernisasi politik adalah:
1.      Peningkatan sentralisasi kekuasaan kedalam tangan negara, diikuti dengan melemahnya sumber-sumber kekuasaan tradisional;
2.      Diferensiasi dan spesialisasi lembaga-lembaga politik;
3.      Peningkatan partisipasi masyarakat dalam politik dan identifikasi yang lebih besar dengan sistem politik sebagai suatu keseluruhan.
C.  Konflik Militer di Afrika
            Konflik militer di Benua Afrika terjadi atas beberapa faktor. Berikut adalah beberapa penyebab konflik milter itu terjadi beserta contoh kasusnya:
1.      Agama
Salah satu contoh kasus yang diambil dari konflik agama adalah kasus pertikaian Sudan Utara dan Sudan Selatan. Sudan Selatan mayoritas adalah beragama Islam dan rata-rata adalah etnis Arab. Sedangkan Sudan Selatan rata-rata beragama Kristen.  Konflik ini sudah bermulai sejak tahun 1955 hingga sekarang. Hal ini berawal dari kurangnya adlinya pembagian di parlemen yang dikuasai orang-orang Sudan Utara. Pada tahun 2011 diadakan referendum dah hasilnya lebih dari 90% mengingkan Sudan Selatan pisah dari Sudan Utara.
2.      Politik
Salah satu konflik militer yang terjadi adalah Konflik Chad-Libya. Konflik Chad-Libya adalah sebuah konflik militer sporadis di Chad yang terjadi pada tahun 1978 sampai tahun 1987. Konflik ini adalah konflik yang terjadi antara Libya dan Chad, tetapi intervensi Libya dalam permasalahan Chad sudah terjadi sebelum tahun 1978, bahkan sebelum Muammar al-Gaddafi berkuasa pada tahun 1969. Perang ini dimulai sebagai perluasan dari Perang Saudara Chad di Chad utara tahun 1968. Konflik ini ditandai dengan keikutsertaan Libya di Chad pada tahun 1978, 1979, 1980–1981 dan 1983–1987. Gaddafi telah mendukung beberapa faksi yang berpartisipasi dalam perang sipil dan musuh dari Libya menerima bantuan dari pemerintahan Perancis. Hal itu menyebabkan adanya campur tangan militer untuk menyelamatkan pemerintah Chad pada tahun 1978, 1983 dan tahun 1986. Latar belakang militer dari perang ini digambarkan pada tahun 1978, dengan Libya memberi bantuan pelindung, artileri, angkatan udara dan infantri, dan mengambil bagian terbesar dalam mengamati dan berperang. Latar belakang ini akhirnya berubah pada tahun 1986, saat perang akan berakhir, ketika semua pasukan Chad yang melawan Libya merebut Chad utara dengan persatuan yang tidak pernah dilihat sebelumnya di Chad. Ini menghilangkan kebiasaan infantri pasukan Libya, terutama saat mereka melawan tank, mereka telah menyediakan anti-tank dan anti-misil, namun melemahkan kekuatan senjata api Libya. Yang terjadi selanjutnya adalah Perang Toyota. Pasukan Libya dapat dikalahkan dan dipukul mundur oleh Chad, dan juga mengakhiri konflik ini.
3.      Ekonomi
Negara-negara di Afrika sendiri mempunyai Sumber Daya yang melimpah. Hal ini dilirik oleh negara-negara yang menguasai ekonomi dunia seperti Amerika Serikat dan Cina. Konflik di Mali sendiri sebenarnya berakar dari hal ekonomi. Mali sendiri, seperti kebanyakan negara-negara Afrika lainnya, adalah wilayah yang kaya bahan baku. Negeri kecil ini memiliki cadangan besar emas, uranium, serta minyak bumi yang sangat berharga bagi negara-negara kapitalis.
Dibuatlah beberapa operasi militer di negara ini. Operasi di Mali hanyalah ujung dari gunung es besar Afrika. AFRICOM– Komando Afrika AS-Pentagon AS dibentuk oleh Presiden George W. Bush pada akhir tahun 2007. Tujuan utamanya adalah untuk melawan pertumbuhan dramatis pengaruh ekonomi dan politik Cina di seluruh Afrika. Washington diperingatkan pada bulan Oktober 2006 ketika Presiden China menjadi tuan rumah KTT bersejarah di Beijing, Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) yang dihadiri hampir lima puluh kepala negara dan menteri Afrika ke ibukota Cina. Pada tahun 2008, menjelang tur dua belas hari ke delapan negara Afrika, (kunjungan ketiga sejak ia menjabat pada 2003), Presiden China Hu Jintao mengumumkan tiga tahun program pinjaman preferensial senilai $3 milyar untuk perluasan dukungan dan bantuan untuk Afrika. Dana ini terbagi dalam $3 miliar dalam bentuk pinjaman, dan $2 milyar dalam bentuk Kredit Ekspor (KE).
Berbagai sumber Washington menyatakan secara terbuka bahwa AFRICOM diciptakan untuk melawan kehadiran pengaruh China di Afrika. Peningkatan keberhasilan Cina mengamankan perjanjian jangka panjang komoditas ekonomi bahan baku dari Afrika dengan imbalan bantuan, bagi hasil, dan royalti dari pemerintah Cina. Cina telah jauh melangkah maju di Afrika, alih-alih menawarkan kebijakan pengetatan anggaran yang didikte IMF, China menawarkan kredit yang besar, pinjaman lunak untuk membangun jalan dan sekolah-sekolah.

BAB III
MILITER DI NEGARA-NEGARA AFRIKA

A.  Pemerintahan Militer dan Perpecahan Nasional, Nigeria dan Ethiopia
Setelah jatuhnya pemerintahan sipil di Nigeria tahun 1966, rezim militer pimpinan Letnan Kolonel Gowon dihadapkan bahaya sekesi atau perpecahan nasional masyarakat suku Ibo yang menempati kawasan sebelah Timur dengan memproklamirkan sebuah republik Biafra yang baru. Pimpinan militer yang baru tidak mempunyai niat untuk menghindari konflik militer langsung mengenai masalah integritas teritorial Nigeria dan selama tiga tahun telah terjadi perang saudara. Sekalipun telah terjadi pertumpahan darah yang biasanya mengikuti perang saudara, elit militer Nigeria ternyata mampu menyiptakan kondisi untuk merangkul kembali kaum separatis tersebut ke dalam arus induk kehidupan sosial politik Nigeria.[8]
Permasalahan yang dihadapi oleh pemimpin Nigeria sama halnya dengan masalah yang menimpa pemimpin Ethiopia setelah menggulingkan Kaisar Haile Selassie tahun 1974. Gerakan pemberontakan mempunyai catatan panjang di Eritrea mengadakan konsolidasi menyusul runtuhnya pemerintahan sipil, dan setelah hal tersebut militer terjun dalam pertempuran sengit dengan kaum separatis secara terus-menerus.
1.    Sumber-sumber Konflik
Sumber konflik dari kedua ini hamper mirip. Baik Eritrea maupun Biafra mempunyai ikatan-ikatan yang lemah, bahkan lebih lemah daripada daerah pedalaman. Dibandingkan dengan orang Eritrea, masyarakat suku Ibos mempunyai hubungan yang lemah dengan rakyatnya. Pengalaman kolonial didasarkan pada suatu sistem pemerintahan yang tidak langsung yang sesuai dengan kebanyakan warga Nigeria. Pemerintahan tidak langsung disini diartikan bahwa pemerintahan kolonial akan memerintah melalui hierarki alami sistem politik pribumi. Hal tersebut tidak berlaku dengan Ibos. Ibos memiliki sistem nonhierarki, dan Inggris, untuk membuat sistem berjalan, mereka mengangkat kepala suku.
Konflik di Eritrea suatu sistem nasionalisme telah terbentuk dari suatu gabungan yang terdiri dari kelompok suku, bahasa, dan agama yang berbeda. dapat dikatakan perasaan sosial begitu rapuh, karena adanya pembagian antara orang Kristen dan Islam, orang radikal dan nonradikal. Hal tersebut ditunjang dengan kenyataan bahwa perkembangan yang lebih cepat memisah mereka dari Ethiopia. Tidak jauh berbeda, di Nigeria suatu nasionalisme lahir untuk propaganda di Timur yang digunakan untuk menanamkan mentalitas perang ke dalam pikiran orang Ibo.
Pada kedua kasus ini, gerakan menuju separatism ini dimungkinkan oleh suatu keyakinan kuat dalam vitalitas ekonomi kawasan dimaksud. Prospek kemerdekaan Eritrea nampaknya agak sulit akan tetapi tidak mustahil.[9]
Terdapat tiga sebab utama mengapa kemerdekaan langsung dirasakan tidak dapat diterima sebagai penyelesaian oleh kaum elite Ethiopia. Pertama Eritrea merupakan satu-satunya pintu Ethiopia ke laut, dimana pelabuhan Eritrea menangani hamper 70% perdagangan luar negeri Ethiopia. Kedua, Ethiopia tergantung dari Eritrea untuk menyediakan sebagian besar buruh trampil, karena cadangan Eritrea akan orang yang berpendidikan jauh lebih besar dibanding persediaan Ethiopia. Ketiga, dengan gerakan nasionalis yang menyulitkan Ethiopia, kemerdekaan Eritrea mungkin akan memulai proses untuk mempersatukan rakyat yang heterogen.
Konflik dimaksud terjadi bukan karena adanya akar yang sama, tetapi juga proses politik yang memicu perang saudara Nigeria tahun 1976 dan eskalasi gerakan kemerdekaan Eritrea menuju perang konvensional tahun 1975 mengandung kesejajaran yang penting. Pada kedua kasus tersebut segala ketegangan terjadi karena kemajuan ekonomi dan sosial bersamaan sampai tingkat tertentu sehingga keterasingan politik telah di jejali ke dalam mekanisme pemerintahan sipil paska kolonial.[10] Baik Nigeria maupun Ethiopia telah dihadapkan dengan kudeta militer yang telah memungkinkan para perwira yang berasal dari wilayah pemberontakan separatis memegang tampuk kekuasaan politik. Pemimpin dari dua negara tersebut sama-sama ingin menjawab masalah persatuan nasional.
2.    Hasil-hasil yang Berbeda
Meskipun banyak persamaan, namun dalam proses politik yang mengubah konfik menjadi konflik militer, sifat perang saudara yang terjadi di kedua negara ini juga terdapat perbedaan yang cukup penting. Perang Nigeria cukup singkat dan mempunyai resiko yang lebih kecil. Nigeria berusaha untuk mengintegrasikan kembali Biafra ke dalam federasi negeri itu. Sementara Ethiopia tidak mengusahakan langkah-langkah reintegrasi orang-orang Eritrea ke dalam federasi Ethiopia malainkan melancarkan suatu penaklukan militer.
Selama perang, Gowon menekankan bahwa Biafra adalah suatu bagian integral dari Nigeria dan harus diintegrasikan ke dalam federasi. Sebaliknya Kolonel Mengitsu Haile Mariam, yang pada suatu ketika menentukan halauan politik Ethiopian, sebagaimana dianggap oleh Dewan Administrasi Militer. Sementara, menekankan bahwa Eritrea adalah musuh Revolusi Ethiopia.[11]
Ada tiga dimensi perbedaan. Pertama orang-orang Nigeria menciptakan sebuah mitos bahwa saudara-saudara mereka orang Ibo tidak dapat dipersalahkan. Selain itu, orang Nigeria memandang orang Ibo bukan sebagai musuh. Kedua, kerangka retorika mengenai arti separatism atau sekesi. Gowon selalu menggunakan bahasa persaudaraan untuk memperkuat harapan reintegrasi. Sementara Mengitsu bertindak sebaliknya, ia menggunakan bahasa tindakan musuh. Dan yang ketiga yang sangat penting mengenai integrasi yang merepakan perlakuan terhadap kaum minoritas.
3.    Kesatuan dan Perpecahan
Kenyataan bahwa di pusat Nigeria, berbeda dengan Ethiopia, mampu untuk mencegah perpecahan serius, hal mana membantu menjelaskan perbedaan masa waktu kedua perang dimaksud.[12] Disatu pihak, pusat Ethiopia berada pada titik perpecahan karena unsur-unsur fraksi.
Gowon mengemban tugas suci yaitu menyatukan suatu negeri yang kurang berpengalaman baik dalam konsiliasi maupun integrasi. Di luar kalangan perwira tinggi, Gowon mengusahakan aliansi potensiel dari elite politik sebelum kup militer.
4.    Ketergantungan Vs Otonomi
Dari perang yang berkepanjangan kedua negara ini saling ketergantungan dengan dukungan eksternal. Dalam perang antar saudara antara Nigeria dan Ethiopia, Uni Soviet yang berperan menjadi pendukung utama bagi keduanya. Nigeria, dengan pemupukan berbagai pendukung mampu memilihara hanya hubungan perdagangan dengan semua negara supplier. Sebaliknya, Ethiopia hanya mengandalkan bantuan Soviet dan Kuba dan ini sangat mambatasi pilihan politik mereka di masa yang akan datang.
B.    Militer di Negara Mesir
1.      Pemerintahan Gamal Abdul Nasser
Salah satu momentum penting yang mengawali kepemimpinan militer di Mesir adalah pada saat terjadinya kudeta terhadap pemerintahan Raja Farouk pada Juli 1952. Kudeta ini dilakukan oleh para perwira militer yang tergabung dalam The Free Officers atau Organisasi Perwira Bebas dibawah pimpinan Gamal Abdul-Nasser[13]. Keberhasilan kudeta ini menjadi titik balik dalam pemerintahan. Mesir yang dahulu merupakan suatu kerajaan absolut dengan Raja Farouk sebagai pemimpinnya telah digulingkan dan digantikan dengan kepemimpinan rezim militer.
Pasca kudeta menjadi masa yang penuh dengan program revolusi untuk menghapuskan sisa-sisa pemerintahan Raja Farouk. Rezim militer membentuk suatu Revolution Command Council (RCC) yang merupakan suatu perangkat eksekutif militer yang menjalankan pemerintahan atau mengatur masyarakat. Dalam masa jabatan Gamal Abdul-Nasser, terdapat banyak pemimpin militer yang memegang peranan penting dalam politik domestik Mesir. Ia memasukan lebih banyak kalangan militer dalam pemerintahan, seperti pada saat ia menjabat deputi perdana menteri maupun perdana menteri. Di lain pihak, RCC tetap menjadi pendukung utama rezim Gamal Abdul-Nasser dan melanggengkan kekuasaan militer di Mesir. Tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, Gamal Abdul-Nasser juga menetapkan kebijakan-kebijakan otoritarian yang serupa dalam pemerintahannya. Ia membubarkan seluruh partai politik yang berkuasa di tahun 1952, melarang dan memenjarakan sejumlah aktivis organisasi-organisasi persaudaraan Muslim[14].
Langkah besar lainnya yang diambil Gamal Abdul-Nasser ialah mengeluarkan konstitusi baru pada tahun 1956 dan sekaligus membubarkan RCC di Mesir. Sebagai ganti RCC, Gamal Abdul-Nasser membentuk Arab Socialist Union (ASU) pada tahun 1962. ASU ini menjadi alat politik baru bagi presiden dalam menjalankan kebijakannya. Seluruh masyarakat Mesir diharuskan untuk memberikan dukungan pada segala bentuk mobilisasi ASU. Apabila terdapat individu atau kelompok masyarakat yang menentang, maka mereka akan dijadikan target represi politik dari penguasa militer Mesir[15].
2.      Pemerintahan Presiden Anwar Sadat
Pemerintahan Presiden Gamal Abdul-Nasser bertahan hingga kematiannya pada tahun 1970. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya, yakni Anwar Sadat, yang merupakan mantan perwira Organisasi Perwira Bebas dan juga terlibat dalam revolusi 1952. Pola seperti ini menunjukan bahwa masa kepemimpinan militer di Mesir masih terus berlanjut. Namun, pemerintahan Sadat nampaknya tidak begitu otoritarian seperti dua pemimpin sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintahan Sadat yang cenderung lebih bebas. keterlibatan militer pada masa Sadat mulai berkurang sebab presiden dapat mengontrol militer untuk tetap berada di belakangnya. Rezim militer yang dipimpin Sadat memberikan kebebasan politik dan ekonomi yang lebih besar pada rakyat Mesir. Ia memperbolehkan kembali pembentukan partai-partai politik untuk dapat ikut serta dalam pemilu.
Sadat juga membentuk National Democratic Party (NDP) sebagai basis pendukung politiknya sebagai basis politiknya dan membubarkan ASU bentukan Gamal Abdul Nasser.  NDP tetap dikuasai oleh kalangan militer dan menjadi alat politik bagi Presiden Sadat. Hanya saja kali ini Sadat menggunakan cara yang lebih halus, yakni dengan memberikan sejumlah kebebasan bagi rakyatnya agar tidak kehilangan dukungan. Kepemimpinan rezim militer Anwar Sadat harus berakhir secara tidak terduga saat ia dibunuh oleh kelompok Islam militan pada bulan Oktober 1981.
3.      Pemerintahan Presiden Husni Mubarak
Pemerintahan Anwar Sadat digantikan oleh wakilnya yaitu Husni Mubarak. Nuansa militer juga tetap terasa pada kepemimpinan Mubarak, sebab ia merupakan panglima tertinggi angkatan perang Mesir dan secara langsung memiliki kedekatan dengan kalangan militer. Sama seperti pendahulunya, Mubarak juga masih memimpin Mesir secara otoriter. Namun, di lain pihak ia juga memberikan sedikit kelonggaran, khususnya bagi keterlibatan publik dalam politik.
Mubarak tidak banyak melakukan perubahan pada konstruksi politik yang telah dijalankan sejak kepemimpinan Sadat. Ia hanya merancang perubahan sekedarnya untuk menyempurnakan demokratisasi di Mesir. Hal ini dilakukannya tidak lain agar rezim militer tetap mendapat dukungan, baik dari rakyat Mesir maupun dari dunia internasional.
Meskipun demikian, belum ada perubahan fundamental yang terjadi di Mesir semenjak kudeta dan revolusi tahun 1952. Di bawah Mubarak, parlemen menjadi semakin lemah karena pemerintahan Mesir justru didominasi oleh besarnya kekuasaan presiden yang mendapat dukungan penuh dari kelompok militer.[16]
Pada tahun 1981, Mubarak memberlakukan Undang-undang Keadaan Darurat yang memberikan kewenangan kepada polisi dan militer, menangguhkan hak konstitusional warga negara, dan melegalkan sensor. Terkait undang-undang tersebut pemerintah Mesir menggunakannya untuk melawan pihak radikal seperti kelompok Islam fundamentalis yang memberikan ancaman pada stabilitas kepemimpinan di Mesir. Selain itu, pada awalnya, Mubarak secara bertahap mengenalkan politik yang terkontrol. Ia memberbolehkan oposisi dan organisasi masyarakat mulai aktif dalam politik, namun di sisi lain, Mubarak juga memperbolehkan penangkapan aktor oposisi, dan secara tidak langsung menyingkirkan mereka dari kompetisi politik.
Semenjak diberlakukannya undang-undang Keadaan Darurat masyarakat Mesir merasa bahwa pemerintahan Mubarak telah mengekang kebebasan mereka melalui aksi militer dan aparat keamanan yang diberi keleluasaan dalam mengadili siapa saja pihak yang berpotensi mengancam kestabilan dan keamanan pemerintahan, entah itu kelompok Ikhwanul Muslimin maupun kelompok demonstran anti Mubarak. Di bawah undang-undang Keadaan Darurat para demonstran sering menerima aksi kekerasan yang dilancarkan oleh pihak aparat keamanan dalam serangkaian aksi demonstran yang memprotes pemerintahan Mubarak, selain itu undang-undang tersebut juga digunakan sebagai kontrol terhadap pihak oposisi, seperti Ikhwanul Muslimin, agar tidak dapat masuk ke dalam pemerintahan dan  mengganggu kepemimpinan Hosni Mubarak.
Secara gradual, militer mendapatkan lebih banyak kekuasaan dalam era Mubarak, cenderung menjadi tumpuan dukungan terhadap rejim yang berkuasa. Hal ini didukung dengan peningkatan tunjangan-tunjangan sosial kepada masyarakat dan memberikan akses ekonomi kepada militer, yang dilakukan oleh Mubarak. Petinggi militer menempati sepuluh persen dari posisi kementrian di Mesir.
Hal yang menarik pada sistem militer pada pemerintahan Husni Mubarak adalah intervensinya ke dalam sektor perekonomian negara. Dalam hal ini, berbagai sifat dan karakteristik militer membuatnya menjadi institusi yang dinilai mampu mendorong modernisasi. Mubarak mendukung peranan kaum militer dalam memproduksi makanan (minyak zaitun, susu, roti dan air minum kemasan), semen dan bensin, kendaraan (Cherokee dan Wrangler), serta infrastruktur.
Militer Mesir mengelola usaha ekonomi untuk memenuhi baik kebutuhannya sendiri maupun untuk kebutuhan masyarakat sipil dan juga berkontribusi terhadap berkembangnya ekonomi publik secara progresif. Dalam kurun waktu 1981 – 1985, Mesir mengalami rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tergolong tinggi, yaitu 6,8 %.[17] Perlu menjadi catatan bahwa dalam kurun waktu tersebut, sementara sektor pertanian kian menurun, kemudian harga minyak yang anjlok pada 1982, sektor industri menjadi penopang perekonomian Mesir untuk menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada 1986, tercatat bahwa tingkat pengangguran di Mesir hanya 5,4 % — jika dibandingkan dengan 1976 yang mencapai 16,5%, tingkat pengangguran jelas menurun. Pendapatan perkapita Mesir pun mengalami peningkatan dengan rata-rata 6% tiap tahunnya[18]. Dalam konteks ini, peranan militer dalam menguasai beberapa industri juga memberi kontribusi dalam menopang pertumbuhan ekonomi di Mesir yang tidak lagi mengandalkan sektor tradisional.


BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Intervensi militer terhadap negara hampir rata-rata terjadi di negara-negara Afrika. Hal ini terjadi dikarenakan rata-rata negara di Afrika adalah negara baru dan negara bekas terjajah. Kekuasaan sipil sangat jarang terjadi karena belum baiknya pembagian kekuasaan antara sipil dan militer di negara-negara Afrika. Timbulnya militer secara tiba-tiba sebagai kekuatan politik dan pengaruhnya didalam modernisasi politik di Afrika adalah tema dari realitas yang ada di Afrika. Dari pertengahan tahun 1965 sampai akhir tahun 1969, lebih dari duabelas kudeta telah mengguncangkan negara-negara Afrika tropis. Kekuatan militer yang selama masa pergerakan menuju kemerdekaan tidak ikut aktif, tiba-tiba muncul sebagai penentu, yang telah siap untuk menumbangkan pemerintahan sipil.
Ditambah lagi dengan kepentingan-kepentingan negara asing terhadap negara-negara Afrika. Kepentingan ekonomi menjadi hal utama intervensi negara-negara asing di Benua Hitam. Dibentuklah operasi-operasi militer guna melemahkan pemerintahan. Serta dibuatlah isu-isu yang sensitif di kalangan masyarakat terutama yang menyangkut dengan SARA. Dengan modus membantu dengan mengerahkan militer, tujuan akhir negara-negara kaya sebenarnya mengarah ke satu tujuan yaitu ekspansi sumber daya alam yang di Afrika.


B.   Saran
Pepatah Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh adalah suatu yang tepat bila negara kita tidak ingin seperti negara-negara Afrika. Dengan persatuan itulah, negeri kita tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang sensitif di masyarakat. Jika kita mudah terprovokasi, sangatlah mudah negara kita akan mudah terpecah belah.


DAFTAR PUSTAKA
Kacung Marijan, 2011, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nordlinger, Eric A. 1994, Militer dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta,
Sahat Simamora (Terj.), 1985 Hubungan-hubungan Sipil Militer, Jakarta: Bina Aksara.
Shils, Edward, 1981,  Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Negara-negara Baru” dalam
Sartono Kartodirdjo Elite dalam Perspektif  Sejarah Jakarta: LP3ES.
Shils, Edward, “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Negara-negara Baru” dalam
Sartono Kartodirdjo Elite dalam Perspektif  Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1981).
Syamsumar Dam (ed.)., Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir dan Afrika Selatan, (Pusat
Penelitian Politik, Jakarta, 2001).
Sumber Internet:
Diplomats Handbook, Egypt: Will Democracy Succeed the Pharaoh? (daring), www.diplomatshandbook.org/pdf/Handbook_Egypt.pdf, diakses 10 April 2015.


[1] Shils, Edward, “Angkatan Bersenjata dalam Pembangunan Politik Negara-negara Baru” dalam Sartono Kartodirdjo Elite dalam Perspektif  Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 177.
[2] Ibid, hlm. 178.
[3] Nordlinger, Eric A.,Militer dalam Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994),  hlm. 1.
[4] Ibid, hlm. 11.
[5] Loc.cit.
[6]Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 243.
[7]Ibid., hlm. 244-245.
[8] Sahat Simamora (Terj.), Hubungan-hubungan Sipil Militer,( Jakarta: Bina Aksara, 1985),. hlm. 247. 
[9]Ibid., hlm. 249.
[10] Ibid., hlm. 250-251.
[11] Ibid., hlm. 253.
[12] Ibid., hlm. 260.
[13] Agus R. Rahman, ‘Militer dan Demokratisasi di Mesir’, dalam Syamsumar Dam (ed.), Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir dan Afrika Selatan, (Pusat Penelitian Politik, Jakarta, 2001), hlm.  63.
[14] Diplomats Handbook, Egypt: Will Democracy Succeed the Pharaoh? (daring), <www.diplomatshandbook.org/pdf/Handbook_Egypt.pdf, diakses 10 April 2015.
[15] Agus R. Rahman, ‘Militer dan Demokratisasi di Mesir’, dalam Syamsumar Dam (ed.), Op.cit., hlm. 66 -67.
[16] Ibid., hlm. 70-71.
[17] Ibid., hlm. 87.
[18] Ibid., hlm. 110.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis  

laporan ilmiah pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan kacang hijau

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh karena masih banyak para petani yang belum memaksilmalkan pengunaan pupuk kandang ( kotoran sapi). Penulis melakukan penelitian pertumbuhan tanamankacang hijau dengan persentase pupuk kandang yang berbeda-beda. Dari berbagai dasar-dasar teori telah dipaparkan kandungan-kandungan dalam pupuk kandang. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, memang benar bahwa pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kacang hijau. Dan dari penelitian kami, pupuk kandang yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dan harus sesuai dengan kondisi tanah, contohnya kalau tanah yang memiliki kadar nutrisinya rendah akan membutuhkan presentase pupuk kandang yang lebih banyak. Bab 1 : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Tumbuhan merupakan makhluk hidup yang berperan sebagai produsen di muka bumi ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, salah satunya adalah nutrisi. Salah satu sumber nutrisi adalah pupuk

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh