Skip to main content

Resume Buku Sumatera Tempo Doeloe : Dari Marco Polo sampai Tan Malaka Karya Anthony Reid

Kontak Pertama Dengan Kekuasaan Eropa, 1511
Sejak Portugis menemukan rute laut menuju India pada 1498 dan berlayar hingga Malaka pada 1509, seorang pedagang Florentina bernama Giovanni da Empoli (1483 – 1517) yang memiliki usaha komersial di India bersama Portugis diutus untuk mengikuti ekspedisi penaklukkan Kesultanan Malaka bersama Alfonso de Albuquerque, komandan Portugis. Portugis menganggap pusat perdagangan Malaka sebagai kunci untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah dari pedagang Muslim.

Saat berada di Teluk Benggala, Giovanni dan para bawahannya menangkap dan merampas semua muatan 7 kapal besar yang membawa banyak sekali muatan besar yang berlayar dari Cambay dengan tujuan Malaka. Pada tanggal 16 Mei 1511, mereka melihat daratan untuk pertama kalinya serta daerah-daerah lain yang jaraknya lebih jauh. Dalam upaya mencari daratan, mereka sampai di pelabuhan Pidie di yang terletak di pulau Taprobana. Pada saat berlabuh di pulau itu, mereka merampas  sebuah kapal mendekat guna memasuki pelabuhan Pidie, dimana banyak dari rombongan kapal rampasan itu melarikan diri di daratan.

Selagi berlabuh di Pidie, kapten-jenderal memerintahkan Giovanni untuk pergi dan mencari tahu di pihak siapakah kapal-kapal tersebut, barang dagangan apa saja yang dibawa, apa tujuannya, dan untuk mendapat pengetahuan tentang situasi saat itu. Setelah membandingkan jumlah muatan dan kekuatan kapal rombongan itu dengan kapal Portugis, Giovanni menyampaikan pesan kepada raja Portugis, bahwa rombongan itu datang untuk mengalahkan dan menghancurkan musuh-musuh Portugis. Setelah mendengar kabar tentang Malaka, kapten-jenderal ingin memperkuat dan memperbanyak sekutu.

Ia langsung memerintahkan Giovanni untuk berpergian dengan perahu milik orang darat yang datang ke kapal Portugis. Di perahu ini ada dua pria yang mencari tahu tentang Portugis dan seperti apakah orang-orang Portugis itu. Giovanni berangkat pada saat senja, karena jenderal mengirim dia ke satu wilayah, dimana banyak orang yang barang dan kapalnya telah mereka rampas, dan ayah, putera, dan saudara-saudaranya, telah mereka bunuh. 

Dia naik perahu pada malam hari dan berlayar sekitar 5-15 km melewati kapal-kapal dengan persenjataan lengkap dan berhasil memasuki kota dengan susah payah sekitar pukul 4 pagi.
Dia tiba di rumah syahbandar ditemani seorang pria yang fasih dengan bahasa penduduk setempat. Syahbandar tersebut memberi tempat di luar rumahnya untuk dia tidur sampai fajar karena syahbandar tidak menerimanya masuk ke dalam.
Selama berada di sana, banyak orang datang pada malam hari sambil membawa penerangan untuk melihat dirinya, seolah-olah dia adalah monster. Banyak di antara mereka (adalah orang Turki yang kapalnya telah dia rampas di depan pelabuhan sehari sebelumnya) yang bertanya, kenapa dia berani melewati wilayah orang lain untuk menjarah para penduduk dan pelabuhan-pelabuhannya. Persoalan yang terjadi antar penduduk membuatnya lega. Tiga ekor gajah dengan kaki dirantai lewat di hadapannya untuk membuatnya lebih takut, mereka melepaskan seekor gajah yang datang bersama gajah-gajah lain dan membuat kegaduhan. Orang-orang berlari ketakutan menghindari gajah-gajah itu.

Saat matahari terbit, syahbandar keluar dari rumah dan mengulur-ulur waktu tanpa berkata apa-apa kepadanya, kemudian pemberi keadilan itu datang kembali untuk menanyakan maksud kedatangannya. Dia menjawab bahwa Jenderal mengirimnya untuk berbicara kepada raja. Kemudian dia meminta untuk dipindahkan dari tempat tersebut. Dia dipindahkan ke ruangannya yang berjarak sekitar 10 km yang dicapai dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana, raja Pidie telah diberitahu tentang kedatangannya. Raja mengikuti banyak upacara, suatu kebiasaan yang dilakukan ketika mereka akan mengadakan pembicaraan dengan orang Kristen. Setelah menunjukkan surat mandat, Giovanni menjelaskan tugasnya sebagai utusan.
Salah satu jawaban yang diberikan oleh sang raja adalah bahwa siapapun yang merampas kapal-kapal raja lalu datang ke pelabuhan-pelabuhannya tidak dapat dianggap sebagai sahabat, dan bila kapten-jenderal ingin bersahabat dengan raja, apa yang telah dirampas harus dikembalikan, dan setelah itu kami harus datang ke darat untuk berdagang, dan raja akan mengatur semua yang mungkin diperlukan untuk kami perdagangkan.
Giovanni kembali ke kapal untuk mengatakan jawaban sang raja Pidie kepada kapten-jenderal. Setelah itu, dia kembali ke kapalnya sendiri.

Keesokan harinya, kapten-jenderal mengirimkan hadiah kepada sang raja beberapa yard kain bertekstur halus, kain camlet (kain dari bulu unta atau kambing) dan barang-barang lain sebagai hadiah kepada raja Pidie. Kemudian ia mengirim orang untuk membeli ter dan minyak ikan untuk kebutuhan kapten-jenderal dan awak kapalnya. Ia juga mengirim pesan kepada raja Pidie bahwa kapal yang telah dirampas tidak dapat dikembalikan. 

Orang-orang Pidie memerintahkan agar perahu beserta awaknya dirampas secara diam-diam. Hal itu telah disadari oleh kapten-jenderal, yang kemudian bergegas mengumpulkan semua awaknya ke kapal agar dapat melarikan diri dan meninggalkan begitu saja barang dagangan serta uang yang telah dibayar di daratan.

Hari berikutnya kami pergi sambil membawa barang-barang rampasan dari kapal hasil tangkapan. Kami meneruskan perjalanan hingga tiba di pelabuhan lain di pulau Taprobana (Pasai). Ketika menurunkan jangkar di pelabuhan tersebut, kami menemukan banyak kapal jung dan kapal dari berbagai daerah. Keesokan harinya, jenderal memanggil Giovanni dan memerintahkannya untuk pergi ke darat dan berbicara dengan raja, serta menyuruhnya membawa pesan dari sang kapten bahwa ia datang dan berlabuh di negeri raja untuk membuat perjanjian dan perdamaian dengannya, dan raja Pidie telah memberinya dua bari emas (kurang lebih 1.616 kg) agar ia bersedia berperang atas nama sang raja Pidie, tetapi jenderal tidak bersedia.

Ia juga menyuruhnya untuk mengatakan bahwa ia memiliki 8 kapal Gujarat yang dirampas dalam perjalanan karena mereka adalah musuh raja Portugis, barang mewah, barang dagangan, dan arfion (opium tabaic) yang dimakan guna menjaga badan tetap sejuk. Ia bersedia menjual arfion tersebut kepada raja dengan barang dagangan senilai 300.000 ducat dengan syarat barang-barang tersebut berada dalam kondisi yang lebih baik daripada yang mereka beli dari orang-orang Moor, serta keuntungan-keuntungan lainnya, kemudian memerintahkan salah satu kapten dari kapal sang raja Portugis guna menyiapkan awak perahunya dan menempatkan Giovanni di darat dengan menggunakan perahu yang lain, serta untuk menunggu di pantai di dalam perahunya sampai dia kembali. Dia pun berangkat.
Melewati ambang sungai sambil memasuki Rio, Giovanni mendarat di daratan dengan jarak yang cukup dekat dari rumah syahbandar. Ketika tiba di sana, dia mendapat sambutan yang agak baik daripada yang dialaminya di Pidie. Banyak orang segera berkumpul di rumah syahbandar itu, yang kemudian syahbandar datang kepadanya dan berkata bahwa raja Pidie tidak senang karena mereka telah merampas 5 kapal Gujarat yang sedang menuju pelabuhan ini, dimana raja dan para pemimpin lainnya memiliki andil di wilayah tersebut. Pedagang penting dari kapal-kapal tersebut hadir menanyakan kepadanya, apakah dia menganggap kapten-jenderal dapat mengembalikan kapal itu kepada mereka.

Dia menjawab bahwa tampaknya kapten-jenderal bisa saja melakukan hal tersebut bia sekiranya kami dapat mencapai beberapa kesepakatan bagus. Meskipun demikian, dia tidak diberitahu apapun oleh jenderal. Syahbandar pergi menghadap raja Pidie guna memberitahu bahwa Giovanni telah datang untuk berbicara dengannya. Raja Pidie telah mengutus bawahannya untuk mengatur seluruh kota dan alun-alun agar tertib. Raja juga memerintahkan syahbandar untuk menuntunnya ke tempat dimana orang-orangnya dipersenjatai. Ketika tiba waktu raja bertemu dengannya, mereka berangkat dan Giovanni dibawa “dengan pedang dan tombak” sampai tepat di depan alun-alun istana.

Giovanni menyampaikan tugas kedutaan kepada raja yang menyelubungi diri dengan tirai karena tidak mau terlihat, kemudian kepada salah satu petinggi, setelah itu ke petinggi yang lain, lalu disampaikan lagi kepada yang lain sampai 4 atau 5 kali hingga sampai ke Gazizi (orang yang jabatannya setara dengan menteri atau pendeta tinggi di Portugis, yang posisinya dibawah raja).

Sang Gazizi mengumumkan tawaran Giovanni. Begitu raja mendengarnya, jawaban yang ia berikan adalah sebagai berikut: “Saya harus memberitahu kapten-jenderal bahwa hukum tentang membeli barang-barang hasil curian dari tetangganya, khususnya dari sahabat-sahabatnya adalah terlarang.” Oleh karena itu sang raja tidak ingin membeli apapun dari pihak Portugis. Selain itu, jika Raja Pidie rela memberikan kapten-jenderal dua bari emas untuk berperang, raja Pidie heran bahwa kapten-jenderal menolak emas tersebut.

Sejauh pengetahuan raja, raja tidak akan memberi uang kepada mereka agar  tidak berperang dengannya. Jika ingin berperang, ia akan mempertahankan diri sebaik mungkin. Mengenai permintaan kapten-jenderal untuk menyerahkan seorang pria Malaka di wilayahnya yang telah mengkhianati orang-orang Portugal di Malaka raja tak akan menyerahkan seorang pun di bawah naungan hukumnya ke tangan orang-orang Kristen.
Ini semua adalah jawaban yang ia berikan kepada kapten-jenderal. Raja pun memerintahkan agar tirai penutup diangkat agar dapat melihatnya dan raja menghadiahkan beberapa kain sutra dan sebuah batu rubi kepadanya.

Kunjungan Pertama Belanda Lebih Buruk, 1599
John Davis adalah seorang navigator asal Sandridge, Inggris yang dipekerjakan sebagai pemandu utama dalam ekspedisi ke wilayah Aceh oleh Cornelis dan Frederick de Houtman. Pelayaran pertama Belanda ke perairan Asia dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang membujuk banyak pedagang Amsterdam kaya untuk mendukung klaimnya tentang pengetahuan besar yang ia peroleh di Lisbon, yakni bagaimana orang Portugis membuat banyak keuntungan dalam perdagangan rempah – rempah. Pelayaran pertama yang terdiri dari empat kapal ini meninggalkan Amsterdam pada 1595 dan mengunjungi beberapa pelabuhan di Jawa dan Bali pada 1596, setelah berlayar sepanjang pesisir pantai barat daya Sumatera. Kepemimpinan De Houtman yang suka bertengkar dan tidak kompeten menyebabkan mereka hanya mendapat keuntungan sedikit. Hal ini membuat para pemberi modal awal De Houtman dari Amsterdam merasa kecewa.


Perang Suci Aceh Melawan Batak, 1539
Perang yang terjadi antara Aceh dan Batak diawali dari penolakan Raja Batak untuk masuk Islam atas anjuran penguasa Aceh. Penguasa Aceh mengatakan jika Raja Batak, yang beragama Hindu bersedia masuk Islam dan menceraikan istrinya yang dinikahi selama 26 tahun, Raja Aceh akan menikahkannya dengan saudara perempuan Raja Aceh. Namun, raja Batak menolak. Kemudian, raja Aceh menyatakan perang dengan Batak.

Setelah mengerahkan seluruh tentara ke medan perang dan bertempur selama 3 jam, Aceh kehilangan banyak tentaranya dan terpaksa mengakui keunggulan Batak. Tentara Aceh yang masih hidup mundur ke area pegunungan Cagerrendao dimana Batak mengepungnya selama 23 hari.

Ditangkap Orang Minangkabau, 1561
Henrique Dias adalah seorang ahli obat-obatan yang bekerja di RS Misericordia di Goa, India. Dias pernah menulis sebuah laporan yang diterbitkan pada 1565 di kota Lisbon tentang karamnya kapal besar Portugis, Sao Paulo di pesisir barat Sumatera pada 1561 oleh orang-orang Minangkabau yang juga menangkap salah satu wanita tercantik mereka, Dona Fransisca Sardinha.

Karamnya kapal besar Portugis, Sao Paulo, di pesisir barat Sumatera pada 1561 merupakan peristiwa yang terkenal pada abad ke – 16 karena besarnya dampak bencana tersebut bagi Portugis, kesulitan yang dirasakan oleh mereka yang selamat dan tidak diragukan lagi, sentuhan sensual dari peristiwa penangkapan Dona Francisca Sardinha (salah satu perempuan tercantik pada masa nya) oleh orang Sumatera. Laporan mengenai peristiwa tersebut diterbitkan di Lisbon pada 1565, dicetak ulang dan disebarluaskan melalui buku terkenal Historia Tragico – Maritima yang terbit pada 1735 – 1736. 

Walaupun berangkat dari Tanjung Harapan dengan tujuan Goa, kapal Sao Paulo terbawa ke Sumatera oleh badai dahsyat lalu karam pada 21 Januari 1561, kemungkinan di suatu tempat di sekitar Tiku. Hampir semua awak kapal yang jumlahnya beberapa ratus orang bisa mencapai pantai dengan selamat. Sedikit demi sedikit, mereka melakukan persiapan membuat perahu kecil dari rongsokan kapal untuk kemudian berlayar ke Banten. Akan tetapi, mereka bertengkar dan terlibat dalam perang hebat dengan orang – orang Aceh yang mereka temui. Dalam peperangan itu, mereka tidak membiarkan satu pun orang Aceh selamat. Hal ini melatarbelakangi orang Minangkabau menyerang orang Portugis secara tiba – tiba.


Laksamana Belanda Dalam Tahanan
Saudara Cornelis de Houtman, Frederick, menjadi tawanan selama 2 tahun oleh kesultanan Aceh sejak menyerang kapal-kapal Belanda pada 11 September 1599. Sultan member penawaran kepada Le Fort, yaitu penukaran satu kapal Belanda dengan tawanan yang tersisa. Le Fort menerima tawaran itu, tetapi ia mengingkari janji karena tidak menemui Sultan. Hal itu, menurut Anthony Reid, mengakibatkan Sultan Alauddin memperlakukan tawanan yang tersisa dengan kasar.

Pada tanggal 22 Januari 1601, Begitu kapal-kapal itu pergi, salah satu kasim Sultan mendatangi Frederick, kemudian mengajak kepadanya masuk Islam atas nama Sultan. Namun, Frederick menolak ajakan itu. Setelah itu, Frederick dibawa ke hadapan para hakim di tempat pengadilan untuk menyelidiki kepercayaannya. 

Hakim berkata, “Yang Mulia telah mengirim Saudara kemari di hadapan kami sebagai hakim raja, dengan titah bahwa Saudara harus menerima kepercayaan Muhammad sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan. Bagaimana menurut Saudara?”

Frederick menjawab bahwa dia belum menggerakkan hatinya untuk merasakan kepercayaan Muhammad sebagai jalan keselamatan dan jika seseorang yang tahu kalau hanya satu Tuhan serta memiliki keimanan yang kuat harus melepaskan kepercayaannya dan menerima kepercayaan lain tanpa mengetahui atau memahami betul atau bahkan diperintahkan untuk mengikuti keyakinan baru tersebut, itu adalah penentangan terhadap hukum alam.
Perdebatan mulai terjadi antara Frederick dan sang hakim, mulai tentang nabi-nabi terdahulu, Muhammad sebagai Rasulullah, masalah sunat, dan keyakinan Kristiani itu sendiri. Frederick tetap menolak mengubah keyakinannya.


Para hakim mengeluarkannya dari pengadilan, lalu dia dibawa ke sungai. Frederick didudukkan secara paksa, lemudia salah seorang Aceh mengeluarkan sebilah belati dan memegangnya pada posisi seolah-olah akan menikam lehernya dari belakang. Dia pun diamcam jika dia tidak mau masuk Islam orang itu akan memotong sebagian tubuhnya, namun hal itu tidak membuatnya gentar.

Pagi hari, pada tanggal 23 Januari 1601, Frederick dibawa untuk menemui seorang Syaikh dalam keadaan dirantai kedua kakinya dan kedua tangannya. Syaikh bertanya kepadanya, kenapa dia tidak bersedia menerima kepercayaan Islam. Jawaban yang diberikan Frederick adalah bahwa dia tidak bersedia menerima Islam kecuali hatinya bisa diyakinkan, bahwa kepercayaan Islam lebih baik dan lebih tepat daripada keyakinannya.

Seorang Perempuan Dicabuli Di Pantai
Italia mendirikan Perusahaan Dagang Genoa untuk Hindia-Belanda pada 1647 dan memiliki dua kapal yang dibuat secara rahasia di Belanda. Kedua kapal tersebut dioperasikan oleh oleh awak yang sebagian orang Italia dan sebagian lagi pelaut Belanda yang sudah berpengalaman dan memegang komando atas kapal-kapal tersebut.

Jan Jansoon Struys, yang saat itu berusia 17 tahun adalah pembuat layar kapal asal Belanda yang mempunyai catatan terlengkap mengenai perjalanan kedua kapal tersebut. Struys mengadakan pelayaran pertamanya dengan ikut dalam armada kapal Genoa. Sepertinya, catatan miliknya menjadi acuan dari catatan perjalanan Glanius yang lebih terkenal, tetapi kurang dapat dipercaya, karena dimungkinkan dibajak pada tahun 1682 untuk memenuhi permintaan pembaca di kota London yang pada tahun itu disebabkan oleh kedatangan duta besar kesultanan Banten.

Ekspedisi Genoa mengalami kegagalan, karena permusuhan yang terjadi di antara para awak mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Madagaskar. Tidak lama setelah tiba di pesisir barat daya pula Sumatera pada tahun 1649 untuk memulai mencari lada, mereka melakukan kebiadaban, yaitu mencabuli seorang perempuan. Peristiwa itu, serta serangan kepada kapal-kapal Melayu yang sedang mengangkut lada di Pelabuhan Tiku, menyebabkan beberapa nakhoda Melayu mengadukan perlakuan armada Italia kepada Belanda di Batavia. Belanda segera mengirimkan kapal-kapalnya untuk menangkap para pengacau Italia yang telah masuk dalam wilayah mereka, dan untuk menghukum orang-orang Belanda yang telah membantu orang-orang Italia tersebut. Ceritanya adalah sebagai berikut.

Setelah menghabiskan 5 tahun di Madagaskar, dia bersama orang-orang yang berada di armada Genoa berlayar menuju Sumatera pada tanggal 16 Maret 1649. Pada tanggal 12 Juni 1649, mereka tiba di pulau Sumatera dan membuang sauh di Teluk Silebar, dimana mereka menukar barang dengan lada dan kebutuhan-kebutuhan pokok yang masih segar. Di pantai ini, mereka merebut 2 kapal jung milik Aceh. Hal itu mengakibatkan para awaknya terjun ke laut, kecuali perempuan yang dianiaya dan dicabuli secara keji oleh orang Italia. Sesampainya di pantai, perempuan malang itu diperkosa, hingga suaminya menusuk tubuhnya dengan keris sampai mati. Komandan kapal tidak mampu mencegahnya karena orang-orang yang bejat dan tidak tertib itu tidak bisa dikendalikan sama sekali dalam pelayaran.

Pada tanggal 28 Juni 1649, mereka mengurangi tali-temali kapal, kemudian berlayar ke Inderapura.

Pada tanggal 29 Juni 1649, mereka tiba di Inderapura, kemudian mengambil beberapa kebutuhan pokok yang masih segar. Pada mulanya, mereka akan menemukan kapal lagi, namun mereka tertipu karena kapal-kapal itu telah berangkat dari pelabuhan sebelum mereka sampai.

Orang-Orang Fransiskan Di Aceh
Kaum pedagang di ibukota Aceh sepertinya bisa menerima pemimpin perempuan, begitu pula masyarakat kosmopolitan yang tercipta melalui aktivitas perdagangan, tetapi kalangan ulama konservatif dan masyarakat petani yang tinggal di hulu sungai dari arah ibukota (yang para pemimpinnya disatukan dibawah kepemimpinan Panglima Sagi XXII Mukim) melakukan perlawanan terhadap sistem tersebut.

Dalam sebuah laporan tanggal 24 Oktober 1688, Jeronymo dos Reis, seorang Katolik Fransiskan di Aceh mengatakan bahwa setelah kematian Ratu Aceh, para pendeta Fransiskan di Aceh mengalami penderitaan dan penyiksaan hebat,seperti yang dialami Bento de Christo asal kota Lisbon. Bento diikat oleh orang-orang Moor, kemudian dicambuk dengan kejam, dan dibawa pergi dalam keadaan kedua tangan terikat untuk kemudian dipenggal, tetapi Bento dibebaskan karena orang Kristen menangis.

Dalam laporan yang lain pada tanggal 10 Desember 1732, Carlos de N. S. Do Porto Seguro mengatakan bahwa kesultanan Aceh merupakan daerah kristenisasi. Pemimpin setempat hanya mengizinkan satu gereja, sementara faktanya ada 2 pendeta yang bertugas, yaitu pendeta yang telah bertugas selama 16 tahun beserta rekannya yang bertugas selama 13 tahun dalam ordo yang sama dan seorang putera altar yang bertugas selama 20 tahun. Agama Kristen mengalami kemajuan dan para misionaris diizinkan mengajarkan agama Katolik kepada masyarakat karena situasi Aceh sangat damai. Agama Kristen mengalami kemunduran saat situasi memburuk akibat perang sipil. Orang-orang Kristen meninggalkan Aceh selama 10 tahun terakhir, kemudian pergi ke Benggala untuk mencari dermawan agar bisa membangun gereja kembali.

Aceh Pada 1602
François Martin adalah salah satu pedagang yang ikut dalam pelayaran dua kapal yang dikomandani Michel Frotet dan Sieur de la Bardelière ke Samudra Hindia pada Mei 1601. Martin mempunyai uraian yang komprehensif mengenai Aceh pada tahun 1602, namun tidak pernah diterjemahkan atau diterbitkan ulang dan kini sudah sangat sulit ditemukan.


Pada tanggal 24 Juli 1602, satu jam menjelang fajar, rombongan ekspedisi menggulung layar untuk bersiap-siap memasuki Aceh dan pada pukul 6 sore mereka melempar jangkar ke laut sedalam 8 depa. Seorang diutus oleh sultan untuk mengetahui dan memastikan identitas mereka.
Pada tanggal 26 Juli 1602, jenderal Monsieur de la Bardelière turun dari kapal untuk menemui dan member salam kepada sultan sembari membawa hadiah berupa barang pecah-belah dari kristal serta cangkir dan mangkuk perak. Jenderal diterima dengan baik oleh sultan yang belum pernah melihat orang Perancis di daerahnya. Selama 3 jam, Sultan dan jenderal berdialog tentang kedatangan mereka dan sultan tertarik untuk mengetahui lebih jauh perihal perjalanan rombongan Perancis, kemudian sultan dan jenderal saling memberi hadiah berupa pakaian khas.

Saat singgah di Aceh, mereka mengamati gaya hidup sehari-hari raja dan masyarakat Aceh.
Pakaian bagi rakyat biasa berupa kain untuk menutupi kemaluan mereka, sementara bagian yang lain dibiarkan terbuka. Pakaian para pedagang dan bangsawan terbuat dari bahan katun atau sutra yang panjangnya selutut serta semacam mantel yang sangat besar,berlengan lebar, dan terbuka di bagian depan. Mereka memakai sejenis sorban yang bentuknya menyerupai garter dan dililitkan satu kali di kepala.

Raja sangat gemar menonton sabung ayam. Semua bangsawan kerajaan memelihara ayam jantan untuk disabung. Acara sabung ayam itu akan diikuti dengan taruhan besar bagi yang menang.

Makanan penduduk setempat sangat sederhana, yaitu beras yang hanya dimasak dalam air dan dihidangkan bersama pisang dan kelapa yang merupakan buah utama. Penduduk setempat juga menyantap daging kerbau, khususnya daging kerbau hitam yang dihargai mahal. Minuman mereka biasanya air. Mereka menyuling minuman keras yang terbuat dari gula tebu, beras, dan kacang India.

Mereka akan berjongkok ketika ingin buang air kecil. Ketika mereka memergokinya buang air kecil dengan berdiri, mereka berteriak seolah-olah dirinya telah melakukan kejahatan besar, sehingga untuk menghindari keonaran dirinya harus mengikuti adat mereka. 
Mereka mandi di sungai yang airnya sangat bersih dan sehat sehingga mereka memanfaatkannya sebagai obat luka. Mereka menggunakan sungai sepanjang waktu untuk mandi, sehingga jika pergi ke sana pada malam hari, pagi hari, atau jam berapa pun, banyak lelaki, perempuan, gadis kecil, dan anak-anak yang terlihat telanjang. Mereka tidak khawatir akan ada yang mengolok-olok atau menertawai mereka. Di hari yang panas, ketika keluar dari air, mereka akan menggosok tubuh dengan jeruk limun kecil yang dibelah dua untuk menyegarkan diri dan membersihkan kulit.

Apabila terjadi perzinaan di negeri itu, pelakunya akan mendapat hukuman berupa dipotong kemaluannya, dipotong hidungnya, atau dicukil keluar matanya. Adapun kasus pencurian,tangan si pencuri akan dipotong pada pelanggaran pertama, dan dipotong kaki dan tangan yang lain apabila melanggar lagi.

Beberapa dari mereka menganut agama Islam, yang diantaranya menjalankan hukum Al-Quran, melafalkan doa-doa di masjid, ibadah di hari Jumat, dan praktek khitan. Ketika seseorang yang meninggal akan dikubur, mereka memukul genderang dan simbal sesedih mungkin. Mereka membawa lentera berhias, menjulurkan tangan dan memandang langit sambil berdoa. Makamnya dibangun dengan sangat rumit, pada semua kuburan mereka meletakkan batu nisan yang telah dipahat.

Kekejaman Iskandar Muda
Augustin de Beaulieu memiliki catatan yang berisi gambaran yang sangat teliti mengenai situasi Aceh pada saat itu, serta gambaran terbaik yang pernah kita miliki tentang Sultan Iskandar Muda, yang berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaan melalui ekonomi yang cemerlang dan strategi militer, penindasan yang sangat kejam terhadap perbedaan pendapat yang terjadi di negeri Aceh, serta mendukung sekolah-sekolah aliran wujudiyah yang mengajarkan mistisisme Islam. 

Sebuah perusahaan Prancis yang bertujuan menyuplai kapal – kapal yang dipakai dalam perdagangan rempah – rempah di Timur didirikan pada 1616 oleh para pedagang dari Rouen dan Paris. Pada waktu itu dua kapal telah dikirim ke Timur. Keduanya kembali dari Jawa dengan membawa keuntungan meskipun terpaksa harus menjual salahstu kapal di sana setelah Belanda memaksa semua anggota Belanda dari awak kapal Prancis itu meninggalkan kapal tersebut. 

Pada 1619, armada kedua yang terdiri dari tiga kapal dikirim oleh perusahaan tersebut di bawah komando Augustin de Beaulieu (1589 – 1637), seorang pelaut yang pernah mengadakan satu kali pelayaran ke Afrika Barat serta memimpin salahsatu dari dua kapal dalam ekspedisi sebelumnya ke Hindia. Karena blokade Belanda di banten, Jawa, Beaulieu pergi ke pusat ekspor lada di Tiku, pantai barat Sumatera. Ia sampai di sana pada Desember 1620. Rupanya pengawasan Aceh di Tiku terlalu ketat sehingga Aceh yang pada waktu itu dipegang oleh Iskandar Muda yangsangat ditakuti (1607 – 1636). Beaulieu sampai di Aceh pada 30 Januari 1621 dan tinggal di sana sampai 25 Juli 1621 karena melakukan tawar – menawar harga lada yang tersedia di pelabuhan dan mengalami kesulitan mendapatkan izin untuk mengangkut lada di Tiku. Setelah beberapa bulan mencari kesempatan di Kedah yang berada di Semenanjung Malaya, Beaulieu kembali ke Aceh pada November dan Desember 1621, lalu mendapatkan izin untuk mengangkut lada di Tiku.

j.        Hari Raya Idul Adha, 1637
Saat mengunjungi Aceh pada 1637, Peter Mundy, sang pelancong Inggris melihat perayaan hari raya Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah 1046 (26 April 1637) yang dinilainya megah dan rumit.

Mundy menceritakan bahwa pemandangan hari raya Idul Adha di Aceh pada saat itu sangat mengagumkan, tetapi sangat kacau dan ramai, karena hampir tidak ada ruang kosong  dan keteraturan. Banyak sekali gajah-gajah besar yang dihiasi dan dipersenjatai dalam beberapa gaya, senjata, dan ornamen, serta peralatan mahal, dan lain-lain. Ketika raja lewat dengan menunggangi gajah, rakyat melakukan sembah dengan mengangkat kedua telapak tangan yang disatukan di atas kepala. 

Setelah melanjutkan perjalanan hingga ke masjid, raja turun dari gajah tunggangan dan masuk ke masjid, kemudian dikirimkan 500 ekor anak kerbau untuk dikurbankan. Setelah disembelih, dagingnya dibagikan kepada rakyat. Hari raya Idul Adha di Aceh juga diisi dengan pertunjukan adu gajah.

Penyair dan Diplomat Persia
Kisah dari Ibnu Muhammad Ibrahim tentang kunjungan utusan Syaikh Persia untuk meningkatkan peranan penting di Aceh.

Pada 1685, Syekh Persia, Sulaiman (1666 – 1694), mengirimkan utusan ke Raja Narai di Siam dalam upaya yang sia – sia untuk meningkatkan peranan penting Muslim Shiah dari Persia dan India di kerajaan tersebut. Rombongan tersebut sempat berhenti di Aceh untuk beberapa waktu dalam pelayaran ke ibukota Siam, dan meninggalkan catatan tentang kekuasaan para ratu di sana. Penulis misi perjalanan tersebut, Ibn Muhammad Ibrahim, menulis dengan gaya prosa bersajak yang muluk – muluk dalam bahasa Persia.

Kehidupan Sosial di bawah Pemerintahan Para Ratu
Seorang pedagang swasta asal Inggris, Thomas Bowrey, pernah menulis sebuah catatan tentang kehidupan social dibawah pemerintahan Ratu Aceh saat dia melakukan aktivitas perdagangan di kawasan Samudera Hindia pada 1670-an.

Dia menceritakan bahwa ketika seorang wanita dinobatkan sebagai ratu pewaris tahta kekuasaan, orang-orang bijak kesultanan menetapkan peraturan-peraturan berikut sehingga pemerintahan sang ratu tidak ditakuti, diantaranya sang ratu tidak boleh menikah atau bergaul dengan laki-laki; tidak satupun laki-laki dikerajaan diperbolehkan melihat rupa sang ratu setelah dinobatkan menjadi penguasa; para bangsawan dan hakim serta para petinggi lainnya tidak boleh melanggar undang-undang atau aturan atau melakukan apapun tanpa seizin atau kehendak ratu; pelayan ratu tidak boleh kurang dari 500 perempuan dan kasim; dan banyak lagi peraturan yang lain.

Krisis Pewarisan Tahta Pada 1688
William Dampier menulis catatan tentang konflik internal yang terjadi di kesultanan Aceh saat ratu ketiga Aceh meninggal.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya, Somerset, William Dampier (1651 – 1715) bergabung dengan para privateer pada tahun 1673 untuk menyerang kapal – kapal spayol di Amerika. Dengan menaiki kapal Cygnet , Dampier mengarungi Samudera Pasifik dalam rangka merebut kapal galiung Manila yang penuh muatan dari Filipina. Namun ia mengalami masalah dengan awak yang membangkang dan meninggalkannya tanpa bekal sedikit pun di Kepulauan Nicobar pada 1688. Dari Kepulauan Nicobar, ia berhasil mengadakan pelayaran heroik dengan perahu kecil ke Aceh. Pengalaman selama tinggal beberapa bulan di Kota Aceh pada 1688 – 1689 guna memulihkan kesehatannya dan mengembalikan sedikit keuangannya di tulis dalam sebuah catatan perjalanannya yang berjudul Voyages and Discoveries (1699).

Belanda Menghancurkan Palembang, 1659
Johan Nieuhof menulis catatan perjalanannya tentang invasi Belanda ke Palembang pada tahun 1659. Situasi di Palembang mengalami naik – turun setelah kejatuhan Sriwijaya. Sementara pada abad ke 14 dan ke 15 kekuatan Sriwijaya bergeser ke kerajaan pedalaman Minangkabau dan ke Melaka yang terletak di pesisir, Palembang muncul kembali dalam wujud kesultanan Islam di bawah pengaruh Jawa dan kondisi perekonomiannya kembali bangkit pada abad ke 16 berkat pengiriman hasil panen lada oleh petani Minangkabau ke pasar Palembang melalui Sungai Musi. 

Hal itu berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis, Belanda dan Inggris. Seperti kerajaan – kerajaan lain, Palembang turut menderita akibat hegemoni perdagangan Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC) sejak 1620. VOC menandatangani perjanjian mengenai monopoli ekspor lada di Palembang pada 1642. Hubungan kedua pihak memburuk karena Cornelius Ockerz menawan kapal – kapal pesaing di Palembang dan memperlakukan pemerintah setempat dengan tidak hormat. Pada Agustus 1658, Ockerz dan 40 orang anakbuahnya terbunuh ketika meninggalkan Palembang, sedangkan orang – orang Belanda yang tersisa di penjara dan diislamkan.

Kehidupan Gubernur di Bencoolen (Bengkulu) dan Masyarakatnya
Joseph Collet, sang arsitek benteng Marlborough, menulis catatan tentang kehidupan gubernur Inggris di Bengkulu. Dia melihat bahwa negeri Bengkulu sangat jauh berbeda dari tulisan-tulisan yang beredar di Inggris. Benteng Marlborough memang didirikan di atas rawa, yang jelas tidak ideal, tetapi keseluruhan negeri ini termasuk wilayah dalam jarak setengah tembakan senapan lontak, sama indahnya dengan yang dibayangkan. Perkampungan Melayu di sebelah benteng Marlborough terletak di tepi sungai yang sangat ramah untuk dilayari, dan terdiri dari 700 atau 800 rumah yang masing-masing menampung beberapa keluarga sekaligus. Di sisi lain,.terdapat desa kecil yang dihuni para budak EIC di dekat laut. Iklimnya tidak terlalu panas dan curah hujannya lebih sedikit dibandingkan dengan Inggris. Wilayah pemerintahan kolonial Inggris dengan 6 atau 7 garnisun di bawah kekuasaannya, masing-masing memiliki 40 atau 50 pucuk senapan. Beberapa raja menyatakan dirinya sebagai pengikut. Dia selalu menerima layaknya orang yang memiliki posisi tinggi. 

Sebagai gubernur wilayah Bengkulu, Collet mempunyai kehidupannya sendiri. Sekitar pukul 7:00 pagi, dia menyantap sarapan berupa roti isi mentega dan teh Bohea. Dia bekerja hingga pukul 12:00 siang di dewan untuk mengadakan rapat, jika perlu. Pukul 12:00 siang, dia bersantap siang dengan santapan berkualitas terbaik dari daging ayam atau daging merpati rebus, kepiting, atau udang. Kadang-kadang dia hanya menenggak minuman yang disuguhkan di cawan punch. Makan sorenya terdiri dari 4 atau 5 jenis hidangan, kemudian minum alkohol dan menghisap cerutu.

Waktu luangnya ia gunakan hanya sekedar berkuda atau jalan-jalan santai  mulai pukul 4:00 sore dan pulang ke benteng dan kembali bekerja pukul 6:00 sore. Dia pun menghisap cerutu dan minum alkohol sebelum bekerja atau mengurus hal lain sebelum tidur. Dia pernah mengatakan bahwa semua orang Inggris yang meninggal semenjak dirinya ada di Bengkulu disebabkan minuman keras atau perempuan. Sementara itu, tidak satupun anggota pengawal pribadinya yang meninggal selama 10 bulan terakhir. Dia merasa bahwa mereka tidak ada kesempatan untuk menenggak minuman keras.

Benjamin Heyne adalah seorang ahli bedah dan naturalis yang bekerja untuk EIC di Madras, India, dan pernah mengunjungi Bengkulu pada 1812. Dia memiliki catatan tentang kehidupan masyarakat Bengkulu, khususnya yang tinggal di daerah Marlborough.
Masyarakatnya tidak kompak satu sama lain dibandingkan dengan penduduk lain di Hindia, kecuali memanfaatkan orang asing yang datang ke tempat mereka semaksimal mungkin. Dia tidak tahu sejauh mana kebenaran berita ini, akan tetapi semua orang asing yang belum lama berkunjung di Bengkulu memaklumi sikap mereka yang kurang bersahabat. 

Orang-orang Eropa yang tinggal di pemukiman tersebut hanya sedikit, dan mereka adalah para petualang yang tidak jelas dari mana asalnya, atau para pelarian kapal yang kabur dari suasana yang membosankan. Mereka mendapat kekayaan, baik dari kegiatan usaha, penyewaan jasa kepada pemerintah, ataupun spekulasi perdagangan. Bagi mereka, satu-satunya syarat untuk menjadi orang terhormat di Inggris adalah uang. Tadinya terdapat banyak orang Jerman yang tinggal di Bengkulu, sebagian besar berprofesi sebagai seniman. Namun, yang tinggal hanya seorang pensiunan yang hidup dari tunjangan pemerintah.

Semua orang di tempat itu berdagang, dan pedagang yang paling besar akan membenarkan diri dengan membeli perkebunan, tetapi dengan harga di bawah setengah dari nilai aslinya. Namun, banyak dari mereka yang tidak mau memberikan nasihat kepada pendatang baru. Mereka juga akan membiarkan orang-orang itu ditipu oleh para pedagang. Bahkan, bila hal itu terjadi di depan mata dan di dalam rumah mereka, mereka beralasan tidak inginikut campur setap kali diminta pndapat, dan mereka juga menerima perlakuan yang sama dari tetangga dalam situasi serupa.


Pedalaman yang Misterius
Sementara kota maritim seperti Aceh dan Palembang hidup di dekat laut, ada wilayah Sumatera lain yang masih misterius dan tidak terjangkau oleh pedatang. Penjelajah – penjelajah paling awal, seperti Marco Polo, cenderung menganggap daerah pedalaman sebagai daerah yang dihuni oleh manusia – manusia kanibal yang biadab. Tetapi persepsi yang berbeda tentang seluruh peradaban di balik bukit – bukit terlarang di pesisir barat Sumatera beransur – ansur muncul, begitu pula tentang raja dan asyarakat yang mungkin lebih siap menerima kedatangan orang – orang muslim di pelabuhan. Hanya sedikit sekali penjelajah yang masuk ke bukit – bukit di pantai barat Sumatera untuk mempelajari masyarakat di sana secara langsung, sehingga masyarakat Minangkabau hampir tidak mengetahui keberadaannya hingga 1830 – an dan masyarakat Batak utara pada 1890 – an.

Ketika Sriwijaya tidak lagi disebut – sebut di dalam sumber – sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke 14, beberapa reputasi kerajaan tersebut tampaknya bergeser ke pedalaman di hulu Sungai Batang Hari, di mana Raja Adityawarman meninggalkan sebuah patung dan prasasti tertanda 1347. Kemungkinan kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan bagi munculnya tradisi agung kekuasaan raja di Sumatera Barat bagian tengah, dimana tradisi tersebut hidup berdampingan tetapi kurang harmonis dengan asyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik. Raja – raja Minangkabau di Pagaruyung memiliki kharisma kuat bagi masyarakat pesisir hampir di seluruh Pulau Sumatera pada abad ke 17 dan ke 18. Sejak 1660 – an, perwakilan Belanda di pantai barat Sumatera mulai berurusan dengan raja – raja Minangkabau di sebuah tempat yang mereka sebut ‘negeri’. Sementara Belanda yang menguasai Melaka untuk Dutch East India Company (VOC) setelah 1641 mengetahui, meskipun samar – samar, tentang penguasa Minangkabau di tempat yang mereka sebut Pagaruyung.

Pada awal Juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu ke Padang bersama isterinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan staf dalam jumlah banyak dalam rangka ekspedisi ke dataran tinggi Minangkabau. Di Padang mereka langsung menemukan 200 kuli angkut yang bersedia ikut dalam rombongan dan pada 14 Juli 1818 mereka berangkat dari Padang ke daerah pedalaman dengan berjalan kaki dalam rombongan besar, termasuk di dalamnya 50 serdadu Inggris. Walaupun keberadaan Kerajaan Sriwijaya belum diketahui pada masa itu, Raffles yakin bahwa Melayu, seperti halnya Jawa sedang berada dalam proses kemerosotan dari suatu peradapan kuno yang gemilang dan ia bertekad mencari peradapan tersebut. Kenyataannya, raja – raja bayangan dari kerajaan Pagaruyung yang ingin dijadikan sekutu oleh Raffles akan segera dijatuhkan untuk selama – lamanya oleh gerakan militan Islam yang dikenal sebagai Kaum Padri.

Meskipun keinginan menjelajahi dataran tinggi Batak Toba sudah diperlihatkan oleh Portugis sejak abad ke 16, daerah tersebut tampaknya masih belum terjamah oleh para pedatang dari luar Sumatera. Semua itu berubah ketika Raffles secara aktif menggalakkan pengaruh Inggris di dunia Melayu, suatu hal yang membangkitkan gema simpati kelompok penginjil dari gerakan kebangkitan Kristen. Atas dorongan Raffles, Baptist Missionary Society di London menirim tiga misionaris ke Sumatera pada 1820. Tiga misionari tersebut adalah Richard Burton,Nathaniel Ward dan Evans. Richard Burton di tempatkan di Sibolga dimana ia mempelajari bahasa Batak Toba dan menerjemahkan injil dalam bahasa Batak Toba,Nathaliel Ward adalah seorang ahli kesehatan menyibukkan diri di Bengkulu,Evans ditugaskan mendirikan sekolah di Padang.

Para Nahkoda dan Raja – Raja
Monopoli parsial yang dibangun oleh Dutch East India Company (VOC) atas lada dan timah sangat berperan dalam merongrong kekuasaan kesultanan – kesultanan besar pada awal abad ke 17. Namun, kekuasaan Eropa tentu tidak dapat menggantikan kekuasaan para sultan. Bahkan kekuasaan yang dimiliki Belanda dalam mengendalikan perdagangan pada paruh kedua abad ke 17 akhirnya terkikis pada abad 18. Pada paruh kedua abad ke 18, Sumatera menjadi wilayah tanpa negara yang kuat dan terdiri dari banyak pelabuhan kecil yang lambat laun semakin bebas berdagang dengan siapa saja yang mereka inginkan. Perlahan tapi pasti, VOC dan EIC menjadi semakin terpinggirkan seiring dengan kedatangan armada kecil yang terdiri dari para pedagang lepas dengan tujuan untuk mencari lada, emas, timah, kopi, pinang dan gambir di Pulau Sumatera. Aktivitas perdagangan yang relatif bebas dari aturan yang mengekang ini cocok bagi pedagang yang mampu menawar di satu pelabuhan ke pelabuhan lain demi mendapatkan harga terendah, tetapi juga bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya aksi kekerasan dan serangan ke kapal bermuatan penuh yang sedang lengah.

Thomas Forrest adalah kapten yang bertugas di English East India Company (EIC) selama lebih dari 30 tahun sejak 1751. Ia terutama beroperasi di perairan Asia Tenggara, tepatnya di sekitar perairan Bengkulu atau Madras, fasih berbicara Melayu dan mengenal baik pelabuhan – pelabuhan Melayu independen. Ia diutus oleh EIC dengan mengemban beberapa misi, yakni ke Maluku pada 1775 untuk mendapatkan rempah – rempah. Antara tahun 1762 dan 1784, Thomas Forrest beberapa kali dipanggil ke Aceh dan ke kerajaan – kerajaan kecil di bawah kekuasaan Aceh yang terletak di pesisir barat Sumatera. Masa itu adalah masa ketika para sultan yang memerintah di ibukota menghadapi kesulitan yang sangat besar dalam mengendalikan pertumbuhan perdagangan di pesisir utara dan pesisir barat mereka.

Selama Perang Napoleon, Inggris menduduki sebagian besar pelabuhan Belanda di dunia Melayu dan para pedagang yang bertempat di pelabuhan – pelabuhan Inggris di Penang dan Madras memiliki akses bebas ke Sumatera. Namun, berdasarkan perjanjian damai, Melaka dikembalikan ke tangan Belanda pada 1818 dan para pejabat Belanda yang ditugaskan di sana mencoba memperbarui perjanjian ekslusif mereka dengan para penguasa di pesisir timur Sumatera. Merasa was – was dengan perkembangan ini, pada 1823 Gubernur Phillips dari Penang mengutus John Andersson untuk mengunjungi ‘pelabuhan – pelabuhan lada’ di pesisir timur Sumatera. Andrson (1795 – 1845) adalah seorang Skotlandia yang bergabung dengan English East India Company (EIC) di Penang pada usia muda. Ia mempelajari bahasa Melayu dengan baik dan dipercaya mengemban beberapa misi sulit terkait dengan para penguasa Aceh dan Melayu ketika usianya masih duapuluhan.

Kapal – kapal dari New England mulai berdagang di Asia dalam skala besar pada 1780 – an dan kunjungan pertama yang tercatat di Padang dan Bengkulu adalah pada 1789. Pada 1795, kapal – kapal dari Salem menemukan jalan menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di wilayah yang kini termasuk Aceh selatan, yakni pantai yang terletak antara Suso dan Trumon. Akan tetapi, pantai lada ini adalah daerah perbatasan yang bersifat komersial, dimana tidak ada pemerintah yang memegang kewenangan dan para pedagang harus melindungi diri mereka sendiri. Pada Januari 1831, kapal dari Salem, Friendship, diserang di Kuala Batu dan lima orang awaknya terbunuh. Hal ini berujung pada keterlibatan pertama angkatan laut Amerika di Asia Tenggara, yakni ketika kapal Potomac meluluhlantahkan kota Kuala Batu pada Februari 1832.

Walter Gibson lahir di Inggris pada 1822 tetapi tumbuh dewasa di South Carolina. Kemampuan persuasif Gibson pertama kali dikembangkan di Amerika Tengah, sehingga ia diangkat menjadi konsulat – Jenderal untuk tiga republik di Amerika Serikat dan mengatur pembelian sekunar bekas milik Dinas Perpajakan Pemerintah Amerika Serikat, Flirt, untuk seorang Jenderal Guatemala. Ketika urusan pembelian tersebut ternyata melanggar berbagai aturan, Gibson melarikan diri dengan cara berlayar ke Sumatera dan tiba di Palembang pada awal 1852. Gibson ditangkap di Palembang ketika mencoba berkomunikasi dengan pemerintah Jambi yang dianggap pemberontak oleh Belanda, tetapi berhasil kabur dari Batavia setelah setahun ditahan di sana.

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis ...

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia mer...

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN A.    TUJUAN Mengetahui adanya karbohidrat, lemak, dan protein pada makanan. B.     ALAT DAN BAHAN Alat 1.        Tabung reaksi 2.        Mortar 3.        Plat tetes 4.        Kertas buram 5.        Pembakar Spirtus Bahan 1.        Larutan benedict (Fehling A + Fehling B) 2.        Larutan lugol 3.        Larutan biuret (NaOH 20% + CuSO4 0,1 M) 4.        Berbagai bahan makanan C.     CARA KERJA I.       UJI KARBOHIDRAT (AMILUM) 1.     Hancurkan bahan makanan yang akan diuji menggunakan mortar porselein. 2.     Masukkan masing-masing baha...