Kontak Pertama
Dengan Kekuasaan Eropa, 1511
Sejak Portugis menemukan rute laut menuju India pada
1498 dan berlayar hingga Malaka pada 1509, seorang pedagang Florentina bernama
Giovanni da Empoli (1483 – 1517) yang memiliki usaha komersial di India bersama
Portugis diutus untuk mengikuti ekspedisi penaklukkan Kesultanan Malaka bersama
Alfonso de Albuquerque, komandan Portugis. Portugis menganggap pusat
perdagangan Malaka sebagai kunci untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah
dari pedagang Muslim.
Saat berada di Teluk Benggala, Giovanni dan para
bawahannya menangkap dan merampas semua muatan 7 kapal besar yang membawa
banyak sekali muatan besar yang berlayar dari Cambay dengan tujuan Malaka. Pada
tanggal 16 Mei 1511, mereka melihat daratan untuk pertama kalinya serta
daerah-daerah lain yang jaraknya lebih jauh. Dalam upaya mencari daratan,
mereka sampai di pelabuhan Pidie di yang terletak di pulau Taprobana. Pada saat
berlabuh di pulau itu, mereka merampas sebuah kapal mendekat guna memasuki pelabuhan
Pidie, dimana banyak dari rombongan kapal rampasan itu melarikan diri di
daratan.
Selagi berlabuh di Pidie, kapten-jenderal
memerintahkan Giovanni untuk pergi dan mencari tahu di pihak siapakah
kapal-kapal tersebut, barang dagangan apa saja yang dibawa, apa tujuannya, dan
untuk mendapat pengetahuan tentang situasi saat itu. Setelah membandingkan
jumlah muatan dan kekuatan kapal rombongan itu dengan kapal Portugis, Giovanni menyampaikan
pesan kepada raja Portugis, bahwa rombongan itu datang untuk mengalahkan dan
menghancurkan musuh-musuh Portugis. Setelah mendengar kabar tentang Malaka, kapten-jenderal
ingin memperkuat dan memperbanyak sekutu.
Ia langsung memerintahkan Giovanni untuk berpergian
dengan perahu milik orang darat yang datang ke kapal Portugis. Di perahu ini
ada dua pria yang mencari tahu tentang Portugis dan seperti apakah orang-orang
Portugis itu. Giovanni berangkat pada saat senja, karena jenderal mengirim dia
ke satu wilayah, dimana banyak orang yang barang dan kapalnya telah mereka
rampas, dan ayah, putera, dan saudara-saudaranya, telah mereka bunuh.
Dia naik perahu pada malam hari dan berlayar sekitar
5-15 km melewati kapal-kapal dengan persenjataan lengkap dan berhasil memasuki
kota dengan susah payah sekitar pukul 4 pagi.
Dia tiba
di rumah syahbandar ditemani seorang pria yang fasih dengan
bahasa penduduk setempat. Syahbandar tersebut memberi tempat di luar rumahnya untuk dia tidur
sampai fajar karena syahbandar tidak menerimanya masuk ke dalam.
Selama berada di sana, banyak orang
datang pada malam hari sambil membawa penerangan untuk melihat dirinya,
seolah-olah dia adalah monster. Banyak di antara mereka (adalah orang Turki
yang kapalnya telah dia rampas di depan pelabuhan sehari sebelumnya) yang
bertanya, kenapa dia berani melewati wilayah orang lain untuk menjarah para
penduduk dan pelabuhan-pelabuhannya. Persoalan yang terjadi antar penduduk
membuatnya lega. Tiga ekor gajah dengan kaki dirantai lewat di hadapannya untuk
membuatnya lebih takut, mereka melepaskan seekor gajah yang datang bersama
gajah-gajah lain dan membuat kegaduhan. Orang-orang berlari ketakutan
menghindari gajah-gajah itu.
Saat
matahari terbit, syahbandar keluar dari rumah dan mengulur-ulur waktu tanpa
berkata apa-apa kepadanya, kemudian pemberi keadilan itu datang kembali untuk
menanyakan maksud kedatangannya. Dia menjawab bahwa Jenderal mengirimnya untuk
berbicara kepada raja. Kemudian dia meminta untuk dipindahkan dari tempat
tersebut. Dia dipindahkan ke ruangannya yang berjarak sekitar 10 km yang
dicapai dengan berjalan kaki. Sesampainya di sana, raja Pidie telah diberitahu
tentang kedatangannya. Raja mengikuti banyak upacara, suatu kebiasaan yang
dilakukan ketika mereka akan mengadakan pembicaraan dengan orang Kristen.
Setelah menunjukkan surat mandat, Giovanni menjelaskan tugasnya sebagai utusan.
Salah satu
jawaban yang diberikan oleh sang raja adalah bahwa siapapun yang merampas
kapal-kapal raja lalu datang ke pelabuhan-pelabuhannya tidak dapat dianggap
sebagai sahabat, dan bila kapten-jenderal ingin bersahabat dengan raja, apa
yang telah dirampas harus dikembalikan, dan setelah itu kami harus datang ke
darat untuk berdagang, dan raja akan mengatur semua yang mungkin diperlukan
untuk kami perdagangkan.
Giovanni
kembali ke kapal untuk mengatakan jawaban sang raja Pidie kepada
kapten-jenderal. Setelah itu, dia kembali ke kapalnya sendiri.
Keesokan
harinya, kapten-jenderal mengirimkan hadiah kepada sang raja beberapa yard kain
bertekstur halus, kain camlet (kain
dari bulu unta atau kambing) dan barang-barang lain sebagai hadiah kepada raja
Pidie. Kemudian ia mengirim orang untuk membeli ter dan minyak ikan untuk
kebutuhan kapten-jenderal dan awak kapalnya. Ia juga mengirim pesan kepada raja
Pidie bahwa kapal yang telah dirampas tidak dapat dikembalikan.
Orang-orang
Pidie memerintahkan agar perahu beserta awaknya dirampas secara diam-diam. Hal
itu telah disadari oleh kapten-jenderal, yang kemudian bergegas mengumpulkan
semua awaknya ke kapal agar dapat melarikan diri dan meninggalkan begitu saja
barang dagangan serta uang yang telah dibayar di daratan.
Hari
berikutnya kami pergi sambil membawa barang-barang rampasan dari kapal hasil
tangkapan. Kami meneruskan perjalanan hingga tiba di pelabuhan lain di pulau Taprobana
(Pasai). Ketika menurunkan jangkar di pelabuhan tersebut, kami menemukan banyak
kapal jung dan kapal dari berbagai daerah. Keesokan harinya, jenderal memanggil
Giovanni dan memerintahkannya untuk pergi ke darat dan berbicara dengan raja,
serta menyuruhnya membawa pesan dari sang kapten bahwa ia datang dan berlabuh
di negeri raja untuk membuat perjanjian dan perdamaian dengannya, dan raja
Pidie telah memberinya dua bari emas
(kurang lebih 1.616 kg) agar ia bersedia berperang atas nama sang raja Pidie,
tetapi jenderal tidak bersedia.
Ia juga
menyuruhnya untuk mengatakan bahwa ia memiliki 8 kapal Gujarat yang dirampas
dalam perjalanan karena mereka adalah musuh raja Portugis, barang mewah, barang
dagangan, dan arfion (opium tabaic) yang dimakan guna menjaga
badan tetap sejuk. Ia bersedia menjual arfion
tersebut kepada raja dengan barang dagangan senilai 300.000 ducat dengan syarat barang-barang
tersebut berada dalam kondisi yang lebih baik daripada yang mereka beli dari
orang-orang Moor, serta keuntungan-keuntungan lainnya, kemudian memerintahkan
salah satu kapten dari kapal sang raja Portugis guna menyiapkan awak perahunya
dan menempatkan Giovanni di darat dengan menggunakan perahu yang lain, serta
untuk menunggu di pantai di dalam perahunya sampai dia kembali. Dia pun
berangkat.
Melewati
ambang sungai sambil memasuki Rio, Giovanni
mendarat di daratan dengan jarak yang cukup dekat dari rumah syahbandar. Ketika
tiba di sana, dia mendapat sambutan yang agak baik daripada yang dialaminya di
Pidie. Banyak orang segera berkumpul di rumah syahbandar itu, yang kemudian
syahbandar datang kepadanya dan berkata bahwa raja Pidie tidak senang karena
mereka telah merampas 5 kapal Gujarat yang sedang menuju pelabuhan ini, dimana
raja dan para pemimpin lainnya memiliki andil di wilayah tersebut. Pedagang
penting dari kapal-kapal tersebut hadir menanyakan kepadanya, apakah dia
menganggap kapten-jenderal dapat mengembalikan kapal itu kepada mereka.
Dia
menjawab bahwa tampaknya kapten-jenderal bisa saja melakukan hal tersebut bia
sekiranya kami dapat mencapai beberapa kesepakatan bagus. Meskipun demikian,
dia tidak diberitahu apapun oleh jenderal. Syahbandar pergi menghadap raja
Pidie guna memberitahu bahwa Giovanni telah datang untuk berbicara dengannya.
Raja Pidie telah mengutus bawahannya untuk mengatur seluruh kota dan alun-alun
agar tertib. Raja juga memerintahkan syahbandar untuk menuntunnya ke tempat
dimana orang-orangnya dipersenjatai. Ketika tiba waktu raja bertemu dengannya,
mereka berangkat dan Giovanni dibawa “dengan pedang dan tombak” sampai tepat di
depan alun-alun istana.
Giovanni
menyampaikan tugas kedutaan kepada raja yang menyelubungi diri dengan tirai
karena tidak mau terlihat, kemudian kepada salah satu petinggi, setelah itu ke
petinggi yang lain, lalu disampaikan lagi kepada yang lain sampai 4 atau 5 kali
hingga sampai ke Gazizi (orang yang
jabatannya setara dengan menteri atau pendeta tinggi di Portugis, yang
posisinya dibawah raja).
Sang Gazizi mengumumkan tawaran Giovanni.
Begitu raja mendengarnya, jawaban yang ia berikan adalah sebagai berikut: “Saya
harus memberitahu kapten-jenderal bahwa hukum tentang membeli barang-barang
hasil curian dari tetangganya, khususnya dari sahabat-sahabatnya adalah
terlarang.” Oleh karena itu sang raja tidak ingin membeli apapun dari pihak
Portugis. Selain itu, jika Raja Pidie rela memberikan kapten-jenderal dua bari emas untuk berperang, raja Pidie
heran bahwa kapten-jenderal menolak emas tersebut.
Sejauh
pengetahuan raja, raja tidak akan memberi uang kepada mereka agar tidak berperang dengannya. Jika ingin
berperang, ia akan mempertahankan diri sebaik mungkin. Mengenai permintaan
kapten-jenderal untuk menyerahkan seorang pria Malaka di wilayahnya yang telah
mengkhianati orang-orang Portugal di Malaka raja tak akan menyerahkan seorang
pun di bawah naungan hukumnya ke tangan orang-orang Kristen.
Ini semua
adalah jawaban yang ia berikan kepada kapten-jenderal. Raja pun memerintahkan
agar tirai penutup diangkat agar dapat melihatnya dan raja menghadiahkan
beberapa kain sutra dan sebuah batu rubi kepadanya.
Kunjungan
Pertama Belanda Lebih Buruk, 1599
John Davis adalah seorang navigator
asal Sandridge, Inggris yang dipekerjakan sebagai pemandu utama dalam ekspedisi
ke wilayah Aceh oleh Cornelis dan Frederick de Houtman. Pelayaran pertama
Belanda ke perairan Asia dilakukan oleh Cornelis de Houtman yang membujuk
banyak pedagang Amsterdam kaya untuk mendukung klaimnya tentang pengetahuan
besar yang ia peroleh di Lisbon, yakni bagaimana orang Portugis membuat banyak
keuntungan dalam perdagangan rempah – rempah. Pelayaran pertama yang terdiri
dari empat kapal ini meninggalkan Amsterdam pada 1595 dan mengunjungi beberapa
pelabuhan di Jawa dan Bali pada 1596, setelah berlayar sepanjang pesisir pantai
barat daya Sumatera. Kepemimpinan De Houtman yang suka bertengkar dan tidak
kompeten menyebabkan mereka hanya mendapat keuntungan sedikit. Hal ini membuat
para pemberi modal awal De Houtman dari Amsterdam merasa kecewa.
Perang Suci
Aceh Melawan Batak, 1539
Perang yang terjadi antara Aceh dan
Batak diawali dari penolakan Raja Batak untuk masuk Islam atas anjuran penguasa
Aceh. Penguasa Aceh mengatakan jika Raja Batak, yang beragama Hindu bersedia
masuk Islam dan menceraikan istrinya yang dinikahi selama 26 tahun, Raja Aceh
akan menikahkannya dengan saudara perempuan Raja Aceh. Namun, raja Batak
menolak. Kemudian, raja Aceh menyatakan perang dengan Batak.
Setelah mengerahkan seluruh tentara
ke medan perang dan bertempur selama 3 jam, Aceh kehilangan banyak tentaranya
dan terpaksa mengakui keunggulan Batak. Tentara Aceh yang masih hidup mundur ke
area pegunungan Cagerrendao dimana
Batak mengepungnya selama 23 hari.
Ditangkap Orang
Minangkabau, 1561
Henrique Dias adalah seorang ahli
obat-obatan yang bekerja di RS Misericordia di Goa, India. Dias pernah menulis
sebuah laporan yang diterbitkan pada 1565 di kota Lisbon tentang karamnya kapal
besar Portugis, Sao Paulo di pesisir barat Sumatera pada 1561 oleh orang-orang
Minangkabau yang juga menangkap salah satu wanita tercantik mereka, Dona Fransisca
Sardinha.
Karamnya kapal besar Portugis, Sao
Paulo, di pesisir barat Sumatera pada 1561 merupakan peristiwa yang terkenal
pada abad ke – 16 karena besarnya dampak bencana tersebut bagi Portugis,
kesulitan yang dirasakan oleh mereka yang selamat dan tidak diragukan lagi,
sentuhan sensual dari peristiwa penangkapan Dona Francisca Sardinha (salah satu
perempuan tercantik pada masa nya) oleh orang Sumatera. Laporan mengenai
peristiwa tersebut diterbitkan di Lisbon pada 1565, dicetak ulang dan
disebarluaskan melalui buku terkenal Historia Tragico – Maritima yang terbit
pada 1735 – 1736.
Walaupun berangkat dari Tanjung
Harapan dengan tujuan Goa, kapal Sao Paulo terbawa ke Sumatera oleh badai dahsyat
lalu karam pada 21 Januari 1561, kemungkinan di suatu tempat di sekitar Tiku.
Hampir semua awak kapal yang jumlahnya beberapa ratus orang bisa mencapai
pantai dengan selamat. Sedikit demi sedikit, mereka melakukan persiapan membuat
perahu kecil dari rongsokan kapal untuk kemudian berlayar ke Banten. Akan tetapi,
mereka bertengkar dan terlibat dalam perang hebat dengan orang – orang Aceh
yang mereka temui. Dalam peperangan itu, mereka tidak membiarkan satu pun orang
Aceh selamat. Hal ini melatarbelakangi orang Minangkabau menyerang orang
Portugis secara tiba – tiba.
Laksamana
Belanda Dalam Tahanan
Saudara Cornelis de Houtman,
Frederick, menjadi tawanan selama 2 tahun oleh kesultanan Aceh sejak menyerang
kapal-kapal Belanda pada 11 September 1599. Sultan member penawaran kepada Le
Fort, yaitu penukaran satu kapal Belanda dengan tawanan yang tersisa. Le Fort
menerima tawaran itu, tetapi ia mengingkari janji karena tidak menemui Sultan.
Hal itu, menurut Anthony Reid, mengakibatkan Sultan Alauddin memperlakukan
tawanan yang tersisa dengan kasar.
Pada tanggal 22 Januari 1601, Begitu
kapal-kapal itu pergi, salah satu kasim Sultan mendatangi Frederick, kemudian
mengajak kepadanya masuk Islam atas nama Sultan. Namun, Frederick menolak
ajakan itu. Setelah itu, Frederick dibawa ke hadapan para hakim di tempat
pengadilan untuk menyelidiki kepercayaannya.
Hakim berkata, “Yang Mulia telah
mengirim Saudara kemari di hadapan kami sebagai hakim raja, dengan titah bahwa
Saudara harus menerima kepercayaan Muhammad sebagai satu-satunya jalan menuju
keselamatan. Bagaimana menurut Saudara?”
Frederick menjawab bahwa dia belum
menggerakkan hatinya untuk merasakan kepercayaan Muhammad sebagai jalan
keselamatan dan jika seseorang yang tahu kalau hanya satu Tuhan serta memiliki
keimanan yang kuat harus melepaskan kepercayaannya dan menerima kepercayaan
lain tanpa mengetahui atau memahami betul atau bahkan diperintahkan untuk
mengikuti keyakinan baru tersebut, itu adalah penentangan terhadap hukum alam.
Perdebatan mulai terjadi antara
Frederick dan sang hakim, mulai tentang nabi-nabi terdahulu, Muhammad sebagai
Rasulullah, masalah sunat, dan keyakinan Kristiani itu sendiri. Frederick tetap
menolak mengubah keyakinannya.
Para hakim mengeluarkannya dari
pengadilan, lalu dia dibawa ke sungai. Frederick didudukkan secara paksa,
lemudia salah seorang Aceh mengeluarkan sebilah belati dan memegangnya pada
posisi seolah-olah akan menikam lehernya dari belakang. Dia pun diamcam jika
dia tidak mau masuk Islam orang itu akan memotong sebagian tubuhnya, namun hal
itu tidak membuatnya gentar.
Pagi hari, pada tanggal 23 Januari
1601, Frederick dibawa untuk menemui seorang Syaikh dalam keadaan dirantai
kedua kakinya dan kedua tangannya. Syaikh bertanya kepadanya, kenapa dia tidak
bersedia menerima kepercayaan Islam. Jawaban yang diberikan Frederick adalah
bahwa dia tidak bersedia menerima Islam kecuali hatinya bisa diyakinkan, bahwa
kepercayaan Islam lebih baik dan lebih tepat daripada keyakinannya.
Seorang
Perempuan Dicabuli Di Pantai
Italia
mendirikan Perusahaan Dagang Genoa untuk Hindia-Belanda pada 1647 dan memiliki
dua kapal yang dibuat secara rahasia di Belanda. Kedua kapal tersebut
dioperasikan oleh oleh awak yang sebagian orang Italia dan sebagian lagi pelaut
Belanda yang sudah berpengalaman dan memegang komando atas kapal-kapal
tersebut.
Jan
Jansoon Struys, yang saat itu berusia 17 tahun adalah pembuat layar kapal asal
Belanda yang mempunyai catatan terlengkap mengenai perjalanan kedua kapal
tersebut. Struys mengadakan pelayaran pertamanya dengan ikut dalam armada kapal
Genoa. Sepertinya, catatan miliknya menjadi acuan dari catatan perjalanan
Glanius yang lebih terkenal, tetapi kurang dapat dipercaya, karena dimungkinkan
dibajak pada tahun 1682 untuk memenuhi permintaan pembaca di kota London yang
pada tahun itu disebabkan oleh kedatangan duta besar kesultanan Banten.
Ekspedisi
Genoa mengalami kegagalan, karena permusuhan yang terjadi di antara para awak
mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Madagaskar. Tidak lama setelah tiba
di pesisir barat daya pula Sumatera pada tahun 1649 untuk memulai mencari lada,
mereka melakukan kebiadaban, yaitu mencabuli seorang perempuan. Peristiwa itu,
serta serangan kepada kapal-kapal Melayu yang sedang mengangkut lada di
Pelabuhan Tiku, menyebabkan beberapa nakhoda Melayu mengadukan perlakuan armada
Italia kepada Belanda di Batavia. Belanda segera mengirimkan kapal-kapalnya
untuk menangkap para pengacau Italia yang telah masuk dalam wilayah mereka, dan
untuk menghukum orang-orang Belanda yang telah membantu orang-orang Italia
tersebut. Ceritanya adalah sebagai berikut.
Setelah
menghabiskan 5 tahun di Madagaskar, dia bersama orang-orang yang berada di
armada Genoa berlayar menuju Sumatera pada tanggal 16 Maret 1649. Pada tanggal
12 Juni 1649, mereka tiba di pulau Sumatera dan membuang sauh di Teluk Silebar,
dimana mereka menukar barang dengan lada dan kebutuhan-kebutuhan pokok yang
masih segar. Di pantai ini, mereka merebut 2 kapal jung milik Aceh. Hal itu
mengakibatkan para awaknya terjun ke laut, kecuali perempuan yang dianiaya dan
dicabuli secara keji oleh orang Italia. Sesampainya di pantai, perempuan malang
itu diperkosa, hingga suaminya menusuk tubuhnya dengan keris sampai mati.
Komandan kapal tidak mampu mencegahnya karena orang-orang yang bejat dan tidak
tertib itu tidak bisa dikendalikan sama sekali dalam pelayaran.
Pada
tanggal 28 Juni 1649, mereka mengurangi tali-temali kapal, kemudian berlayar ke
Inderapura.
Pada
tanggal 29 Juni 1649, mereka tiba di Inderapura, kemudian mengambil beberapa
kebutuhan pokok yang masih segar. Pada mulanya, mereka akan menemukan kapal
lagi, namun mereka tertipu karena kapal-kapal itu telah berangkat dari
pelabuhan sebelum mereka sampai.
Orang-Orang
Fransiskan Di Aceh
Kaum
pedagang di ibukota Aceh sepertinya bisa menerima pemimpin perempuan, begitu
pula masyarakat kosmopolitan yang tercipta melalui aktivitas perdagangan,
tetapi kalangan ulama konservatif dan masyarakat petani yang tinggal di hulu
sungai dari arah ibukota (yang para pemimpinnya disatukan dibawah kepemimpinan
Panglima Sagi XXII Mukim) melakukan perlawanan terhadap sistem tersebut.
Dalam
sebuah laporan tanggal 24 Oktober 1688, Jeronymo dos Reis, seorang Katolik
Fransiskan di Aceh mengatakan bahwa setelah kematian Ratu Aceh, para pendeta
Fransiskan di Aceh mengalami penderitaan dan penyiksaan hebat,seperti yang
dialami Bento de Christo asal kota Lisbon. Bento diikat oleh orang-orang Moor,
kemudian dicambuk dengan kejam, dan dibawa pergi dalam keadaan kedua tangan
terikat untuk kemudian dipenggal, tetapi Bento dibebaskan karena orang Kristen
menangis.
Dalam
laporan yang lain pada tanggal 10 Desember 1732, Carlos de N. S. Do Porto
Seguro mengatakan bahwa kesultanan Aceh merupakan daerah kristenisasi. Pemimpin
setempat hanya mengizinkan satu gereja, sementara faktanya ada 2 pendeta yang
bertugas, yaitu pendeta yang telah bertugas selama 16 tahun beserta rekannya
yang bertugas selama 13 tahun dalam ordo yang sama dan seorang putera altar
yang bertugas selama 20 tahun. Agama Kristen mengalami kemajuan dan para
misionaris diizinkan mengajarkan agama Katolik kepada masyarakat karena situasi
Aceh sangat damai. Agama Kristen mengalami kemunduran saat situasi memburuk
akibat perang sipil. Orang-orang Kristen meninggalkan Aceh selama 10 tahun
terakhir, kemudian pergi ke Benggala untuk mencari dermawan agar bisa membangun
gereja kembali.
Aceh Pada 1602
François
Martin adalah salah satu pedagang yang ikut dalam pelayaran dua kapal yang
dikomandani Michel Frotet dan Sieur de la Bardelière ke Samudra Hindia pada Mei
1601. Martin mempunyai uraian yang komprehensif mengenai Aceh pada tahun 1602,
namun tidak pernah diterjemahkan atau diterbitkan ulang dan kini sudah sangat
sulit ditemukan.
Pada
tanggal 24 Juli 1602, satu jam menjelang fajar, rombongan ekspedisi menggulung
layar untuk bersiap-siap memasuki Aceh dan pada pukul 6 sore mereka melempar
jangkar ke laut sedalam 8 depa. Seorang diutus oleh sultan untuk mengetahui dan
memastikan identitas mereka.
Pada
tanggal 26 Juli 1602, jenderal Monsieur de la Bardelière turun dari kapal untuk
menemui dan member salam kepada sultan sembari membawa hadiah berupa barang
pecah-belah dari kristal serta cangkir dan mangkuk perak. Jenderal diterima
dengan baik oleh sultan yang belum pernah melihat orang Perancis di daerahnya. Selama
3 jam, Sultan dan jenderal berdialog tentang kedatangan mereka dan sultan
tertarik untuk mengetahui lebih jauh perihal perjalanan rombongan Perancis,
kemudian sultan dan jenderal saling memberi hadiah berupa pakaian khas.
Saat
singgah di Aceh, mereka mengamati gaya hidup sehari-hari raja dan masyarakat
Aceh.
Pakaian
bagi rakyat biasa berupa kain untuk menutupi kemaluan mereka, sementara bagian
yang lain dibiarkan terbuka. Pakaian para pedagang dan bangsawan terbuat dari
bahan katun atau sutra yang panjangnya selutut serta semacam mantel yang sangat
besar,berlengan lebar, dan terbuka di bagian depan. Mereka memakai sejenis
sorban yang bentuknya menyerupai garter dan dililitkan satu kali di kepala.
Raja
sangat gemar menonton sabung ayam. Semua bangsawan kerajaan memelihara ayam
jantan untuk disabung. Acara sabung ayam itu akan diikuti dengan taruhan besar
bagi yang menang.
Makanan
penduduk setempat sangat sederhana, yaitu beras yang hanya dimasak dalam air
dan dihidangkan bersama pisang dan kelapa yang merupakan buah utama. Penduduk
setempat juga menyantap daging kerbau, khususnya daging kerbau hitam yang
dihargai mahal. Minuman mereka biasanya air. Mereka menyuling minuman keras yang
terbuat dari gula tebu, beras, dan kacang India.
Mereka
akan berjongkok ketika ingin buang air kecil. Ketika mereka memergokinya buang
air kecil dengan berdiri, mereka berteriak seolah-olah dirinya telah melakukan
kejahatan besar, sehingga untuk menghindari keonaran dirinya harus mengikuti
adat mereka.
Mereka
mandi di sungai yang airnya sangat bersih dan sehat sehingga mereka
memanfaatkannya sebagai obat luka. Mereka menggunakan sungai sepanjang waktu
untuk mandi, sehingga jika pergi ke sana pada malam hari, pagi hari, atau jam
berapa pun, banyak lelaki, perempuan, gadis kecil, dan anak-anak yang terlihat
telanjang. Mereka tidak khawatir akan ada yang mengolok-olok atau menertawai
mereka. Di hari yang panas, ketika keluar dari air, mereka akan menggosok tubuh
dengan jeruk limun kecil yang dibelah dua untuk menyegarkan diri dan
membersihkan kulit.
Apabila
terjadi perzinaan di negeri itu, pelakunya akan mendapat hukuman berupa
dipotong kemaluannya, dipotong hidungnya, atau dicukil keluar matanya. Adapun
kasus pencurian,tangan si pencuri akan dipotong pada pelanggaran pertama, dan
dipotong kaki dan tangan yang lain apabila melanggar lagi.
Beberapa
dari mereka menganut agama Islam, yang diantaranya menjalankan hukum Al-Quran,
melafalkan doa-doa di masjid, ibadah di hari Jumat, dan praktek khitan. Ketika
seseorang yang meninggal akan dikubur, mereka memukul genderang dan simbal
sesedih mungkin. Mereka membawa lentera berhias, menjulurkan tangan dan
memandang langit sambil berdoa. Makamnya dibangun dengan sangat rumit, pada
semua kuburan mereka meletakkan batu nisan yang telah dipahat.
Kekejaman
Iskandar Muda
Augustin
de Beaulieu memiliki catatan yang berisi gambaran yang sangat teliti mengenai
situasi Aceh pada saat itu, serta gambaran terbaik yang pernah kita miliki
tentang Sultan Iskandar Muda, yang berhasil membawa Aceh ke puncak kejayaan
melalui ekonomi yang cemerlang dan strategi militer, penindasan yang sangat
kejam terhadap perbedaan pendapat yang terjadi di negeri Aceh, serta mendukung
sekolah-sekolah aliran wujudiyah yang mengajarkan mistisisme Islam.
Sebuah
perusahaan Prancis yang bertujuan menyuplai kapal – kapal yang dipakai dalam
perdagangan rempah – rempah di Timur didirikan pada 1616 oleh para pedagang
dari Rouen dan Paris. Pada waktu itu dua kapal telah dikirim ke Timur. Keduanya
kembali dari Jawa dengan membawa keuntungan meskipun terpaksa harus menjual
salahstu kapal di sana setelah Belanda memaksa semua anggota Belanda dari awak
kapal Prancis itu meninggalkan kapal tersebut.
Pada 1619,
armada kedua yang terdiri dari tiga kapal dikirim oleh perusahaan tersebut di
bawah komando Augustin de Beaulieu (1589 – 1637), seorang pelaut yang pernah
mengadakan satu kali pelayaran ke Afrika Barat serta memimpin salahsatu dari
dua kapal dalam ekspedisi sebelumnya ke Hindia. Karena blokade Belanda di
banten, Jawa, Beaulieu pergi ke pusat ekspor lada di Tiku, pantai barat
Sumatera. Ia sampai di sana pada Desember 1620. Rupanya pengawasan Aceh di Tiku
terlalu ketat sehingga Aceh yang pada waktu itu dipegang oleh Iskandar Muda
yangsangat ditakuti (1607 – 1636). Beaulieu sampai di Aceh pada 30 Januari 1621
dan tinggal di sana sampai 25 Juli 1621 karena melakukan tawar – menawar harga
lada yang tersedia di pelabuhan dan mengalami kesulitan mendapatkan izin untuk
mengangkut lada di Tiku. Setelah beberapa bulan mencari kesempatan di Kedah
yang berada di Semenanjung Malaya, Beaulieu kembali ke Aceh pada November dan
Desember 1621, lalu mendapatkan izin untuk mengangkut lada di Tiku.
j.
Hari Raya Idul
Adha, 1637
Saat mengunjungi Aceh pada 1637, Peter Mundy, sang
pelancong Inggris melihat perayaan hari raya Idul Adha pada tanggal 10
Dzulhijjah 1046 (26 April 1637) yang dinilainya megah dan rumit.
Mundy
menceritakan bahwa pemandangan hari raya Idul Adha di Aceh pada saat itu sangat
mengagumkan, tetapi sangat kacau dan ramai, karena hampir tidak ada ruang
kosong dan keteraturan. Banyak sekali
gajah-gajah besar yang dihiasi dan dipersenjatai dalam beberapa gaya, senjata,
dan ornamen, serta peralatan mahal, dan lain-lain. Ketika raja lewat dengan
menunggangi gajah, rakyat melakukan sembah dengan mengangkat kedua telapak
tangan yang disatukan di atas kepala.
Setelah melanjutkan
perjalanan hingga ke masjid, raja turun dari gajah tunggangan dan masuk ke
masjid, kemudian dikirimkan 500 ekor anak kerbau untuk dikurbankan. Setelah
disembelih, dagingnya dibagikan kepada rakyat. Hari raya Idul Adha di Aceh juga
diisi dengan pertunjukan adu gajah.
Penyair dan
Diplomat Persia
Kisah dari
Ibnu Muhammad Ibrahim tentang kunjungan utusan Syaikh Persia untuk meningkatkan
peranan penting di Aceh.
Pada 1685,
Syekh Persia, Sulaiman (1666 – 1694), mengirimkan utusan ke Raja Narai di Siam
dalam upaya yang sia – sia untuk meningkatkan peranan penting Muslim Shiah dari
Persia dan India di kerajaan tersebut. Rombongan tersebut sempat berhenti di
Aceh untuk beberapa waktu dalam pelayaran ke ibukota Siam, dan meninggalkan
catatan tentang kekuasaan para ratu di sana. Penulis misi perjalanan tersebut,
Ibn Muhammad Ibrahim, menulis dengan gaya prosa bersajak yang muluk – muluk
dalam bahasa Persia.
Kehidupan
Sosial di bawah Pemerintahan Para Ratu
Seorang
pedagang swasta asal Inggris, Thomas Bowrey, pernah menulis sebuah catatan
tentang kehidupan social dibawah pemerintahan Ratu Aceh saat dia melakukan
aktivitas perdagangan di kawasan Samudera Hindia pada 1670-an.
Dia
menceritakan bahwa ketika seorang wanita dinobatkan sebagai ratu pewaris tahta
kekuasaan, orang-orang bijak kesultanan menetapkan peraturan-peraturan berikut
sehingga pemerintahan sang ratu tidak ditakuti, diantaranya sang ratu tidak
boleh menikah atau bergaul dengan laki-laki; tidak satupun laki-laki dikerajaan
diperbolehkan melihat rupa sang ratu setelah dinobatkan menjadi penguasa; para
bangsawan dan hakim serta para petinggi lainnya tidak boleh melanggar
undang-undang atau aturan atau melakukan apapun tanpa seizin atau kehendak
ratu; pelayan ratu tidak boleh kurang dari 500 perempuan dan kasim; dan banyak
lagi peraturan yang lain.
Krisis
Pewarisan Tahta Pada 1688
William
Dampier menulis catatan tentang konflik internal yang terjadi di kesultanan
Aceh saat ratu ketiga Aceh meninggal.
Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya, Somerset, William Dampier
(1651 – 1715) bergabung dengan para privateer pada tahun 1673 untuk menyerang kapal
– kapal spayol di Amerika. Dengan menaiki kapal Cygnet , Dampier mengarungi
Samudera Pasifik dalam rangka merebut kapal galiung Manila yang penuh muatan
dari Filipina. Namun ia mengalami masalah dengan awak yang membangkang dan
meninggalkannya tanpa bekal sedikit pun di Kepulauan Nicobar pada 1688. Dari
Kepulauan Nicobar, ia berhasil mengadakan pelayaran heroik dengan perahu kecil
ke Aceh. Pengalaman selama tinggal beberapa bulan di Kota Aceh pada 1688 – 1689
guna memulihkan kesehatannya dan mengembalikan sedikit keuangannya di tulis
dalam sebuah catatan perjalanannya yang berjudul Voyages and Discoveries
(1699).
Belanda
Menghancurkan Palembang, 1659
Johan
Nieuhof menulis catatan perjalanannya tentang invasi Belanda ke Palembang pada
tahun 1659. Situasi di Palembang mengalami naik – turun setelah kejatuhan
Sriwijaya. Sementara pada abad ke 14 dan ke 15 kekuatan Sriwijaya bergeser ke
kerajaan pedalaman Minangkabau dan ke Melaka yang terletak di pesisir,
Palembang muncul kembali dalam wujud kesultanan Islam di bawah pengaruh Jawa
dan kondisi perekonomiannya kembali bangkit pada abad ke 16 berkat pengiriman
hasil panen lada oleh petani Minangkabau ke pasar Palembang melalui Sungai
Musi.
Hal itu
berhasil menarik perhatian pembeli lada dari Cina, Portugis, Belanda dan
Inggris. Seperti kerajaan – kerajaan lain, Palembang turut menderita akibat
hegemoni perdagangan Perusahaan Dagang Hindia Timur (VOC) sejak 1620. VOC
menandatangani perjanjian mengenai monopoli ekspor lada di Palembang pada 1642.
Hubungan kedua pihak memburuk karena Cornelius Ockerz menawan kapal – kapal
pesaing di Palembang dan memperlakukan pemerintah setempat dengan tidak hormat.
Pada Agustus 1658, Ockerz dan 40 orang anakbuahnya terbunuh ketika meninggalkan
Palembang, sedangkan orang – orang Belanda yang tersisa di penjara dan
diislamkan.
Kehidupan
Gubernur di Bencoolen (Bengkulu) dan Masyarakatnya
Joseph
Collet, sang arsitek benteng Marlborough, menulis catatan tentang kehidupan
gubernur Inggris di Bengkulu. Dia melihat bahwa negeri Bengkulu sangat jauh
berbeda dari tulisan-tulisan yang beredar di Inggris. Benteng Marlborough
memang didirikan di atas rawa, yang jelas tidak ideal, tetapi keseluruhan
negeri ini termasuk wilayah dalam jarak setengah tembakan senapan lontak, sama
indahnya dengan yang dibayangkan. Perkampungan Melayu di sebelah benteng
Marlborough terletak di tepi sungai yang sangat ramah untuk dilayari, dan
terdiri dari 700 atau 800 rumah yang masing-masing menampung beberapa keluarga
sekaligus. Di sisi lain,.terdapat desa kecil yang dihuni para budak EIC di
dekat laut. Iklimnya tidak terlalu panas dan curah hujannya lebih sedikit
dibandingkan dengan Inggris. Wilayah pemerintahan kolonial Inggris dengan 6
atau 7 garnisun di bawah kekuasaannya, masing-masing memiliki 40 atau 50 pucuk
senapan. Beberapa raja menyatakan dirinya sebagai pengikut. Dia selalu menerima
layaknya orang yang memiliki posisi tinggi.
Sebagai
gubernur wilayah Bengkulu, Collet mempunyai kehidupannya sendiri. Sekitar pukul
7:00 pagi, dia menyantap sarapan berupa roti isi mentega dan teh Bohea. Dia
bekerja hingga pukul 12:00 siang di dewan untuk mengadakan rapat, jika perlu.
Pukul 12:00 siang, dia bersantap siang dengan santapan berkualitas terbaik dari
daging ayam atau daging merpati rebus, kepiting, atau udang. Kadang-kadang dia
hanya menenggak minuman yang disuguhkan di cawan punch. Makan sorenya terdiri
dari 4 atau 5 jenis hidangan, kemudian minum alkohol dan menghisap cerutu.
Waktu
luangnya ia gunakan hanya sekedar berkuda atau jalan-jalan santai mulai pukul 4:00 sore dan pulang ke benteng
dan kembali bekerja pukul 6:00 sore. Dia pun menghisap cerutu dan minum alkohol
sebelum bekerja atau mengurus hal lain sebelum tidur. Dia pernah mengatakan
bahwa semua orang Inggris yang meninggal semenjak dirinya ada di Bengkulu disebabkan
minuman keras atau perempuan. Sementara itu, tidak satupun anggota pengawal
pribadinya yang meninggal selama 10 bulan terakhir. Dia merasa bahwa mereka
tidak ada kesempatan untuk menenggak minuman keras.
Benjamin Heyne
adalah seorang ahli bedah dan naturalis yang bekerja untuk EIC di Madras,
India, dan pernah mengunjungi Bengkulu pada 1812. Dia memiliki catatan tentang
kehidupan masyarakat Bengkulu, khususnya yang tinggal di daerah Marlborough.
Masyarakatnya
tidak kompak satu sama lain dibandingkan dengan penduduk lain di Hindia,
kecuali memanfaatkan orang asing yang datang ke tempat mereka semaksimal
mungkin. Dia tidak tahu sejauh mana kebenaran berita ini, akan tetapi semua
orang asing yang belum lama berkunjung di Bengkulu memaklumi sikap mereka yang
kurang bersahabat.
Orang-orang
Eropa yang tinggal di pemukiman tersebut hanya sedikit, dan mereka adalah para
petualang yang tidak jelas dari mana asalnya, atau para pelarian kapal yang
kabur dari suasana yang membosankan. Mereka mendapat kekayaan, baik dari
kegiatan usaha, penyewaan jasa kepada pemerintah, ataupun spekulasi
perdagangan. Bagi mereka, satu-satunya syarat untuk menjadi orang terhormat di
Inggris adalah uang. Tadinya terdapat banyak orang Jerman yang tinggal di Bengkulu,
sebagian besar berprofesi sebagai seniman. Namun, yang tinggal hanya seorang
pensiunan yang hidup dari tunjangan pemerintah.
Semua
orang di tempat itu berdagang, dan pedagang yang paling besar akan membenarkan
diri dengan membeli perkebunan, tetapi dengan harga di bawah setengah dari
nilai aslinya. Namun, banyak dari mereka yang tidak mau memberikan nasihat
kepada pendatang baru. Mereka juga akan membiarkan orang-orang itu ditipu oleh
para pedagang. Bahkan, bila hal itu terjadi di depan mata dan di dalam rumah
mereka, mereka beralasan tidak inginikut campur setap kali diminta pndapat, dan
mereka juga menerima perlakuan yang sama dari tetangga dalam situasi serupa.
Pedalaman yang Misterius
Sementara kota maritim seperti Aceh dan Palembang hidup
di dekat laut, ada wilayah Sumatera lain yang masih misterius dan tidak
terjangkau oleh pedatang. Penjelajah – penjelajah paling awal, seperti Marco
Polo, cenderung menganggap daerah pedalaman sebagai daerah yang dihuni oleh
manusia – manusia kanibal yang biadab. Tetapi persepsi yang berbeda tentang
seluruh peradaban di balik bukit – bukit terlarang di pesisir barat Sumatera
beransur – ansur muncul, begitu pula tentang raja dan asyarakat yang mungkin
lebih siap menerima kedatangan orang – orang muslim di pelabuhan. Hanya sedikit
sekali penjelajah yang masuk ke bukit – bukit di pantai barat Sumatera untuk
mempelajari masyarakat di sana secara langsung, sehingga masyarakat Minangkabau
hampir tidak mengetahui keberadaannya hingga 1830 – an dan masyarakat Batak
utara pada 1890 – an.
Ketika Sriwijaya tidak lagi disebut – sebut di dalam
sumber – sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke 14, beberapa
reputasi kerajaan tersebut tampaknya bergeser ke pedalaman di hulu Sungai
Batang Hari, di mana Raja Adityawarman meninggalkan sebuah patung dan prasasti
tertanda 1347. Kemungkinan kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan bagi
munculnya tradisi agung kekuasaan raja di Sumatera Barat bagian tengah, dimana
tradisi tersebut hidup berdampingan tetapi kurang harmonis dengan asyarakat
Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik. Raja – raja Minangkabau di
Pagaruyung memiliki kharisma kuat bagi masyarakat pesisir hampir di seluruh
Pulau Sumatera pada abad ke 17 dan ke 18. Sejak 1660 – an, perwakilan Belanda di
pantai barat Sumatera mulai berurusan dengan raja – raja Minangkabau di sebuah
tempat yang mereka sebut ‘negeri’. Sementara Belanda yang menguasai Melaka
untuk Dutch East India Company (VOC) setelah 1641 mengetahui, meskipun samar –
samar, tentang penguasa Minangkabau di tempat yang mereka sebut Pagaruyung.
Pada awal Juli 1818, Raffles berlayar dari Bengkulu ke
Padang bersama isterinya, seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan staf
dalam jumlah banyak dalam rangka ekspedisi ke dataran tinggi Minangkabau. Di
Padang mereka langsung menemukan 200 kuli angkut yang bersedia ikut dalam
rombongan dan pada 14 Juli 1818 mereka berangkat dari Padang ke daerah
pedalaman dengan berjalan kaki dalam rombongan besar, termasuk di dalamnya 50
serdadu Inggris. Walaupun keberadaan Kerajaan Sriwijaya belum diketahui pada
masa itu, Raffles yakin bahwa Melayu, seperti halnya Jawa sedang berada dalam
proses kemerosotan dari suatu peradapan kuno yang gemilang dan ia bertekad
mencari peradapan tersebut. Kenyataannya, raja – raja bayangan dari kerajaan
Pagaruyung yang ingin dijadikan sekutu oleh Raffles akan segera dijatuhkan
untuk selama – lamanya oleh gerakan militan Islam yang dikenal sebagai Kaum
Padri.
Meskipun keinginan menjelajahi dataran tinggi Batak Toba
sudah diperlihatkan oleh Portugis sejak abad ke 16, daerah tersebut tampaknya
masih belum terjamah oleh para pedatang dari luar Sumatera. Semua itu berubah
ketika Raffles secara aktif menggalakkan pengaruh Inggris di dunia Melayu,
suatu hal yang membangkitkan gema simpati kelompok penginjil dari gerakan
kebangkitan Kristen. Atas dorongan Raffles, Baptist Missionary Society di
London menirim tiga misionaris ke Sumatera pada 1820. Tiga misionari tersebut
adalah Richard Burton,Nathaniel Ward dan Evans. Richard Burton di tempatkan di
Sibolga dimana ia mempelajari bahasa Batak Toba dan menerjemahkan injil dalam
bahasa Batak Toba,Nathaliel Ward adalah seorang ahli kesehatan menyibukkan diri
di Bengkulu,Evans ditugaskan mendirikan sekolah di Padang.
Para
Nahkoda dan Raja – Raja
Monopoli parsial yang dibangun oleh Dutch East India Company (VOC) atas
lada dan timah sangat berperan dalam merongrong kekuasaan kesultanan –
kesultanan besar pada awal abad ke 17. Namun, kekuasaan Eropa tentu tidak dapat
menggantikan kekuasaan para sultan. Bahkan kekuasaan yang dimiliki Belanda
dalam mengendalikan perdagangan pada paruh kedua abad ke 17 akhirnya terkikis
pada abad 18. Pada paruh kedua abad ke 18, Sumatera menjadi wilayah tanpa
negara yang kuat dan terdiri dari banyak pelabuhan kecil yang lambat laun
semakin bebas berdagang dengan siapa saja yang mereka inginkan. Perlahan tapi
pasti, VOC dan EIC menjadi semakin terpinggirkan seiring dengan kedatangan
armada kecil yang terdiri dari para pedagang lepas dengan tujuan untuk mencari
lada, emas, timah, kopi, pinang dan gambir di Pulau Sumatera. Aktivitas
perdagangan yang relatif bebas dari aturan yang mengekang ini cocok bagi
pedagang yang mampu menawar di satu pelabuhan ke pelabuhan lain demi
mendapatkan harga terendah, tetapi juga bisa meningkatkan kemungkinan
terjadinya aksi kekerasan dan serangan ke kapal bermuatan penuh yang sedang
lengah.
Thomas Forrest adalah kapten yang bertugas di English
East India Company (EIC) selama lebih dari 30 tahun sejak 1751. Ia terutama
beroperasi di perairan Asia Tenggara, tepatnya di sekitar perairan Bengkulu
atau Madras, fasih berbicara Melayu dan mengenal baik pelabuhan – pelabuhan
Melayu independen. Ia diutus oleh EIC dengan mengemban beberapa misi, yakni ke
Maluku pada 1775 untuk mendapatkan rempah – rempah. Antara tahun 1762 dan 1784,
Thomas Forrest beberapa kali dipanggil ke Aceh dan ke kerajaan – kerajaan kecil
di bawah kekuasaan Aceh yang terletak di pesisir barat Sumatera. Masa itu
adalah masa ketika para sultan yang memerintah di ibukota menghadapi kesulitan
yang sangat besar dalam mengendalikan pertumbuhan perdagangan di pesisir utara
dan pesisir barat mereka.
Selama Perang Napoleon, Inggris menduduki sebagian besar
pelabuhan Belanda di dunia Melayu dan para pedagang yang bertempat di pelabuhan
– pelabuhan Inggris di Penang dan Madras memiliki akses bebas ke Sumatera.
Namun, berdasarkan perjanjian damai, Melaka dikembalikan ke tangan Belanda pada
1818 dan para pejabat Belanda yang ditugaskan di sana mencoba memperbarui
perjanjian ekslusif mereka dengan para penguasa di pesisir timur Sumatera.
Merasa was – was dengan perkembangan ini, pada 1823 Gubernur Phillips dari
Penang mengutus John Andersson untuk mengunjungi ‘pelabuhan – pelabuhan lada’
di pesisir timur Sumatera. Andrson (1795 – 1845) adalah seorang Skotlandia yang
bergabung dengan English East India Company (EIC) di Penang pada usia muda. Ia
mempelajari bahasa Melayu dengan baik dan dipercaya mengemban beberapa misi
sulit terkait dengan para penguasa Aceh dan Melayu ketika usianya masih
duapuluhan.
Kapal – kapal dari New England mulai berdagang di Asia
dalam skala besar pada 1780 – an dan kunjungan pertama yang tercatat di Padang
dan Bengkulu adalah pada 1789. Pada 1795, kapal – kapal dari Salem menemukan
jalan menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di wilayah yang
kini termasuk Aceh selatan, yakni pantai yang terletak antara Suso dan Trumon.
Akan tetapi, pantai lada ini adalah daerah perbatasan yang bersifat komersial,
dimana tidak ada pemerintah yang memegang kewenangan dan para pedagang harus
melindungi diri mereka sendiri. Pada Januari 1831, kapal dari Salem,
Friendship, diserang di Kuala Batu dan lima orang awaknya terbunuh. Hal ini
berujung pada keterlibatan pertama angkatan laut Amerika di Asia Tenggara,
yakni ketika kapal Potomac meluluhlantahkan kota Kuala Batu pada Februari 1832.
Walter Gibson lahir di Inggris pada 1822 tetapi tumbuh
dewasa di South Carolina. Kemampuan persuasif Gibson pertama kali dikembangkan
di Amerika Tengah, sehingga ia diangkat menjadi konsulat – Jenderal untuk tiga
republik di Amerika Serikat dan mengatur pembelian sekunar bekas milik Dinas
Perpajakan Pemerintah Amerika Serikat, Flirt, untuk seorang Jenderal Guatemala.
Ketika urusan pembelian tersebut ternyata melanggar berbagai aturan, Gibson
melarikan diri dengan cara berlayar ke Sumatera dan tiba di Palembang pada awal
1852. Gibson ditangkap di Palembang ketika mencoba berkomunikasi dengan
pemerintah Jambi yang dianggap pemberontak oleh Belanda, tetapi berhasil kabur
dari Batavia setelah setahun ditahan di sana.
Comments
Post a Comment