PENDAHULUAN
Kota Solo rupanya cukup
menyumbangkan peran dalam perkembangan Kereta Api di Indonesia. Di kota yang
sering disebut sebagai Kota Bengawan ini, masih terdapat rel kereta api
bersejarah yang melintas dipinggir jalan protokol tepat ditengah pusat kota. Keempat
stasiun kereta api yang ada di Kota Solo, yakni Stasiun Purwosari, Stasiun
Sangkrah, Stasiun Balapan dan Stasiun Jebres kini masuk dalam bangunan cagar budaya
(BCB). stasiun ini diketahui dibangun pada masa pemerintahan Kolonial Belanda
di Indonesia. Sedang kereta api sendiri mulai masuk ke kota Solo pada tahun
1870, seiring dengan dibangunnya jalur kereta api yang menghubungkan
Semarang-Solo-Jogja (110 Km) oleh Naamlooze
Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM).[1]
Kereta api mulai masuk pada tahun
1870, hal ini menyusul dibukanya jalur Semarang Vorstenlanden. Selanjutnya
muncul jalur Semarang-Solo-Jogja. Kemudian kurang lebih tahun 1873 dibangun
Stasiun Balapan yang dibangun oleh NV. NISM pada saat itu diresmikan oleh
Mangkunegoro IV.[3]
Naamlooze Venootschap Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM)
Perusahaan NV. NISM ini adalah
perusahaan swasta dari Pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu mendapatkan
lisensi untuk membuat jalur kereta.[4]
Motivasi awal pembangunan jalur kereta api adalah untuk eksplorasi ekonomi
perkebunan. Pada saat itu, perkebunan tebu untuk produksi gula dan perkebunan
tembakau memang sangat luar biasa. Dan kereta api waktu itu digunakan untuk
mempermudah eksplorasi dan eksploitasi komoditas perkebunan.
Melihat keberhasilan perusahaan
NV.NISM, membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan perusahaan
kereta api sendiri yakni Staatsspoorwegen
(SS). Selanjutnya perusahaan milik pemerintah kolonial ini pun mendirikan jalur
sendiri, yang menghubungkan Surabaya-Solo-Jakarta dan Bogor-Jakarta. Pada tahun
1884, SS membangun Stasiun Solo Jebres, yang pada waktu itu masuk wilayah
Keraton Kasunanan Surakarta. Sedangkan Stasiun Balapan masuk Kadipaten Praja
Mangkunegaran.[5]
Kemudian setelah itu NV.NISM
melebarkan sayapnya dengan membangun jalur yang melintas dari
Solo-Boyolali-Wonogiri.[6]
Jalur kereta yang menuju Wonogiri ini sampai saat ini masih ada di sebelah
selatan jalan Slamet Riyadi. Dan dengan adanya jalur menuju Wonogiri ini, maka
kemudian dibangun Stasiun Kota Sangkrah. Stasiun Sangkrah salah satu stasiun
tua yang dibangun oleh Naamlooze Venootschap
Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM).
Saat itu selain membangun kereta api
hingga menuju Wonogiri, NV.NISM juga membangun trem.[7]
Dahulu jalur trem ada di sebelah utara Jalan Slamet Riyadi. Jadi jalur trem ini
mirip BST, bisa turun di beberapa halte. Seperti halte Pasar Pon, Ngapeman
sampai tembus ke timur hingga Balekota-Pasar Gede-Panggung. Sampai saat ini
jalur trem tersebut hilang. Kira-kira pada tahun 1930 berdasarkan foto kuno
jalur tersebut masih ada. Kemudian pada tahun 1950an juga masih ada.
Diperkirakan jalur ini hilang pada tahun 1960. Belum diketahui secara pasti
kapan jalur tersebut hilang.
Pada saat itu, antara perusahaan
kereta api dengan perusahaan perkebunan pernah terjadi konflik. konflik ini
terjadi karena perusahaan perkebunan keberatan dengan perusahaan kereta api
yang membangun jalur kereta api melewati lahan yang mereka miliki. Kemudian
mereka membuat kesepakatan, bahwa jalur kereta boleh dibuat melalui lahan
mereka (perusahaan perkebunan) asalkan, NV.NISM juga membuat jalur trem sampai
ke perkebunan. Jalur trem ini digunakan untuk memudahkan membawa hasil
perkebunan.
Setelah Kemerdekaan Republik
Indonesia, perusahaan swasta Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische
Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) dan perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda
Staatsspoorwegen (SS) diambil alih oleh Pemerintah RI dengan nama Perum Jawatan
Kereta Api (PJKA) kemudian sekarang menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).[8]
Sebelum Indonesia merdeka, pasca pemerintahan Jepang, banyak rel kereta api
yang dibongkar dan dibangun di Vietnam untuk kepentingan Jepang.
STASIUN JEBRES
Stasiun
Solo Jebres atau Stasiun Solojebres (SK) merupakan stasiun kereta api yang terletak
di Jl. Ledoksari No. 1, Purwadiningratan, Jebres, Surakarta. Stasiun yang
terletak pada ketinggian +97 m dpl ini berada di bawah manajemen PT Kereta Api
Daerah Operasi 6 Yogyakarta. Stasiun Solo Jebres terletak ke arah timur dari
Jl. Urip Sumoharjo. Di dekat stasiun ini terdapat sebuah terminal peti kemas
yang kini tak lagi aktif.
Stasiun
Solo Jebres terletak di daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Didirikan pada tahun
1884 oleh Staatsspoorwegen, Stasiun
Solo Jebres dahulu adalah stasiun besar untuk Staatsspoorwegen.[9]
Stasiun yang merupakan peninggalan dari zaman pemerintahan colonial Belanda
ini, sekarang sudah mengalami banyak perubahan atau renovasi dan revitalisasi
oleh pemerintahan Kota Solo. Di setiap sudut bangunan stasiun telah mengalami
semacam pembaharuan seperti warna bangunan yang klasik tempo dulu, pernak pernik
bangunan yang bercorakkan Eropa (Pintu Gerbang, Jendela, Kursi, Lambang – lambang,
dll) dan adanya semacam tugu dari Stasiun Jebres sendiri yang baru.
STASIUN
BALAPAN
Stasiun Balapan adalah stasiun induk di kota
Surakarta, tepatnya di wilayah Kelurahan Kestalan dan Gilingan, Banjarsari, Surakarta.
Nama "Balapan" diambil dari nama kampung yang terletak di sebelah utara
kompleks setasiun. Stasiun ini terletak di jalur kereta api yang menghubungkan Kota
Bandung, Jakarta, Surabaya,
serta Semarang
dan Stasiun Solo Balapan merupakan stasiun kereta api terbesar di kota Surakarta
dan Jawa Tengah.
Pembangunan stasiun ini dilakukan
oleh jaringan kereta api masa kolonial NIS pada abad ke-19 (tepatnya
1873) dan merupakan salah satu stasiun besar tertua di Indonesia
(setelah Stasiun Semarang Tawang).[10]
Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Mangkunagara
IV, dan merupakan stasiun untuk wilayah Kadipaten Praja Mangkunagaran. Stasiun besar di Solo
untuk wilayah Kasunanan
adalah Stasiun Solo Jebres. Pembangunannya dirancang
oleh Herman Thomas Karsten, seorang arsitek
kenamaan beraliran Indisch.[11]
Pada saat itu Stasiun Balapan
dikelola oleh Staats Spoor (SS), dan sengaja dirancang sebagai stasiun antar
kota dengan rel lebar. Lalu dikembangkan lagi jalur rel baru dari daerah-daerah
di sekitar Solo menuju ke Stasiun Balapan. Jalur rel baru antar daerah ini
dikelola oleh Nederland Indisch Spoor (NIS), lebar relnya sendiri lebih kecil
dibanding rel milik SS. Karena jalur rel NIS ini memang diperuntukkan bagi
kereta berukuran kecil yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh.
Setelah Stasiun Balapan berdiri, rel
KA dihubungkan dengan stasiun-stasiun yang berada di titik-titik strategis,
yakni di Purwosari, Sriwedari, dan Jebres. Stasiun-stasiun itu terhubungkan
oleh rel-rel yang melewati tengah kota. Berarti pada awal abad 20, Kota Solo
sebenarnya sudah memiliki alat transportasi dalam kota berupa kereta. Salah
satu buktinya adalah jalur rel yang ada di tepi jalan Slamet Riyadi, jalur rel
ini masih digunakan hingga sekarang.
STASIUN
PURWOSARI
Stasiun Purwosari (PWS) merupakan stasiun kereta api yang
terletak di Jl. Slamet Riyadi
No. 502, Kerten RT.04 RW.02, Laweyan, Surakarta. Stasiun yang
terletak pada ketinggian +98 m dpl ini berada di Daerah Operasi (Daops) 6 Yogyakarta.
Stasiun
Purwosari dibangun pada tahun
1875 oleh arsitek Hermann Thomas Karsten pada masa Mangkunegoro IV, dan
merupakan stasiun tertua di Surakarta.
Pembangunannya ditangani oleh Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij
(NISM).[12]
Stasiun Purwosari merupakan stasiun percabangan jalur KA, antara arah Surabaya dengan Wonogiri. Jalur yang
menuju Surabaya termasuk kelas utama, sedangkan yang ke Wonogiri termasuk kelas
sekunder. Sampai Stasiun
Kota (Sangkrah), jalur ini termasuk unik karena menjadi satu-satunya
jalur KA di Indonesia yang
berjejer berdampingan dengan jalan raya. Dahulu sepanjang jalur Purwosari-Kota (Sangkrah) terdapat 8
buah halte, yakni
Pesanggrahan, Ngadisuryan, Bendha, Ngapeman,
Pasar Pon, Derpoyudan, Kauman dan
Loji Wetan.
Halte-halte tersebut sekarang sudah tidak ada lagi.
Stasiun Purwosari memiliki 9 jalur KA, di mana 4 buah
sebagai jalur utama, 3 untuk stabling gerbong barang, dan 2 jalur menuju
ke depo lokomotif dan gudang semen. Dari Stasiun
Purwosari juga dahulu terdapat jalur percabangan yang menuju Boyolali melalui Kartasura, yang kini
sudah tidak ada lagi. Sampai sekarang, beberapa bagian dari sisa-sisa jalur tersebut
masih dapat disaksikan.
Dahulu
Stasiun Purwosari merupakan depo
lokomotif, jejak peninggalan sebagai dipo lokomotif masih terdapat menara
air di sisi utara stasiun.[13] Saat ini stasiun ini
masih berfungsi sebagai dipo, namun bukan dipo lokomotif melainkan dipo alat
mekanik. Bongkar muat semen juga dilakukan di Stasiun Purwosari.
Bangunan Stasiun Purwosari yang
bergaya termasuk bangunan benda cagar budaya. Benda cagar budaya dan kawasannya
adalah salah satu unsur peninggalan budaya material, bagian suatu bukti adanya
sejarah proses pembentukan perjuangan dan perkembangan bangsa Indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan kota seringkali masih dilihat dari arti fisik
kota, meski sebenarnya ada banyak persoalan termasuk keadaan serta kondisi
masyakat di dalamnya.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Tim Telaga Bakti Nusantara. 1997.
Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I. Bandung : Penerbit Angkasa..
Waskito Widi W., 2012. JALUR KERETA API SEMARANG-SURAKARTA DAN PENGARUH SOSIAL EKONOMI DI KARESIDENAN SURAKARTA (1864-1930). Yokyakarta : Tesis UGM.
http://oase.kompas.com/read/2011/07/21/10045816/Sejarah.Kereta.Api.di.Indonesia,
diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 16.00 wib.
http://gudangarkeologi.blogspot.com/2012/05/latar-sejarah-jalur-kereta-api.html, diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 16.00
wib.
[1] Tim
Telaga Bakti Nusantara, Sejarah
Perkeretaapian Indonesia Jilid II, (Bandung: Angkasa, 1997), hlm. 12.
[2] http://oase.kompas.com/read/2011/07/21/10045816/Sejarah.Kereta.Api.di.Indonesia, diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 16.00
wib.
[3] Tim
Telaga Bakti Nusantara, Op. Cit. hlm.
20-25.
[4] Ibid., hlm. 50-52.
[5] Ibid.
[6] Ibid. hlm. 60.
[7] Waskito
Widi W., JALUR KERETA API
SEMARANG-SURAKARTA DAN PENGARUH SOSIAL EKONOMI DI KARESIDENAN SURAKARTA
(1864-1930). (Yokyakarta : Tesis UGM. 2012.), hlm. 40.
[8] http://gudangarkeologi.blogspot.com/2012/05/latar-sejarah-jalur-kereta-api.html,
diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 16.00 wib.
[10] http://gudangarkeologi.blogspot.com/2012/05/latar-sejarah-jalur-kereta-api.html, diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 16.00
wib.
[11] Tim
Telaga Bakti Nusantara, Op. Cit. hlm.
70-82.
[12] Waskito,
Widi W., Op.Cit., hlm. 90.
Comments
Post a Comment