KOMUNISME
DI RUSIA
A. Pengantar
Sejak abad ke-16 Rusia
mulai mendorong perbatasannya ke arah Asia, melalui ekspedisi dagang di bawah perlindungan negara ke
Siberia Timur, Pasifik, dan Lembah Amur. Wilayah Asia yang paling banyak
dicaplok adalah Cina, sekitar 1,5 juta km2.[1]
Sejak abad ke-17 Rusia menjadi semakin Eropa dengan arogansi kolonialis[2]
yang menjadi ciri negara-negara Eropa Barat. Setelah mengalahkan Swedia dalam
“Great Northern War” (1700-1721) Rusia semakin menjadi kekaisaran yang
multietnis dan menjadi negara besar dalam sistem negara-negara di Eropa.[3]
Dilihat dari sudut geopolitiknya, kepentingan Rusia adalah mengontrol pintu
masuk ke laut hitam.[4]
Sejak abad ke-18-19
keterlibatan Rusia di Asia semakin mendalam, meskipun tidak disenangi orang-orang
Eropa dan tidak diterima sebagai Eropa. Pada abad ke-20 (1940-an), Rusia memperluas jajahannya di Baltik, Finlandia,
Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Mongolia, dan Jepang (Kepulauan
Kurile, Habomai, dan Shikotan). Kemenangan kaum Bolshevik pada Revolusi 7
November 1917 tidak mengubah kebijakan Rusia atas Asia, meskipun salah satu
asas politik luar negeri Bolshevik adalah melawan imperialisme dan kolonialisme.
Hal ini ditunjukkan oleh Lenin yang menandatangani “Deklarasi Hak-hak Bangsa-bangsa
Rusia” yang menjamin bangsa-bangsa bekas imperium Tsar membentuk Negara merdeka.
Ia mengakui hak bangsa-bangsa atas penentuan diri tetapi tidak pernah
menginginkan pelaksanaannya karena tujuan utama Lenin adalah mendirikan negara
sebesar mungkin (Rusia Raya).
Lenin menggunakan hak
penentuan diri sebagai taktik, yakni menggalakkan disintegrasi bangsa-bangsa
jajahan Rusia (Masa Tsar) untuk mempercepat proses revolusioner. Lenin yakin, setelah
terjadi disintegrasi bangsa-bangsa itu akan dengan sukarela bergabung ke dalam
Rusia yang telah mengalami revolusi sosialis. Rupanya Lenin tidak pernah
menggunakan ideologi yang selama hampir 70 tahun Marx dan Engels menyebut
dengan istilah “sosialisme ilmiah”. Lenin sejak berhasil memimpin Revolusi
Bolshevik akhir tahun 1917 dan juga Stalin menerjemahkan istilah tersebut ke
dalam praktek. Oleh karena itu, ideologi Komunis sebenarnya baru dilahirkan setelah
Partai Bolshevik, fraksi mayoritas yang memisahkan diri dari Partai Buruh
Demokrat Rusia, untuk selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai, mulai
memegang kendali pemerintahan di
Rusia. Selanjutnya lima tahun setelah mengeluarkan
Manifes Partai Komunis, Marx dan Engels mengganti istilah humanisme dengan
Kemunisme.[5]
B. Jalannya Revolusi Rusia
Sebelum terjadi
revolusi tahun 1917, Rusia merupakan sebuah negara yang dikendalikan oleh
Monarkhi Otokratis, yang tugasnya terpusat pada pemeliharaan tatanan dalam
negeri dan penindakan musuh dari luar.[6]
Rejim ini sepenuhnya berdasarkan pada negara kekaisaran (Imperial State) yang
memiliki hirarkhi militer dan administrasi yang dikoordinasikan secara terpusat
di bawah pengawasan monarkhi yang absolut.[7]Kedudukan
kaum bangsawan pemilik tanah di Rusia sangat lemah karena secara politis mereka
tergantung pada Tsar. Selain itu perbudakan tidak dikonsolidasikan oleh mereka
tetapi oleh utusan Tsar untuk menarik sumbersumber dari rakyat guna mendukung
militer agar mampu mempertahankan dan memperluas lingkungan geopolitik yang
terancam. Namun demikian, lama kelamaan mereka pun merasa tertekan dan
tertindas, sehingga muncul keresahan dan ketidakpuasan politik di antara
mereka. Selain itu, kekuasaan Tsar yang absolut telah membawa kesengsaraan
rakyat dan kelompok-kelompok social yang berada di kota menjadi tidak puas
dengan kerja negara kekaisaran ini.[8]
Pemerintah Tsar
mengalami inefisiensi dan inefektif karena terlalu kaku. Akhirnya usaha ke arah
merubah sistem politik Tsar semakin nampak di atas permukaan. Sejak abad ke-19
usaha-usaha berbagai kelompok untuk bersikap kritis terhadap pemerintah telah
berlangsung meskipun masih bisa dihantam oleh pemerintah. Namun demikian sebenarnya
di masyarakat Rusia telah terjadi munculnya kelompok-kelompok kritis khususnya dari
kalangan borjuis yang bersikap antipati terhadap pemerintah. Mereka kemudian
mendirikan perkumpulan-perkumpulan tidak resmi dalam kehidupan masyarakat. Apa
yang kemudian menjadi objek dalam perkumpulan-perkumpulan sosial itu adalah
membicarakan datau memperdebatkan kebijakan pemerintah. Namun yang lebih
penting dari aktivitas itu adalah lahirnya konsep-konsep pemikiran baru tentang
negara dan sistem sosial, yang kemudian diajadikan landasan untuk melakukan
pembaharuan politik dan kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini kemudian
menjadi agitator politik dalam konteks menghantam “the old regime”.
Pergeseran fungsi dari
perkumpulan-perkumpulan ini berlangsung yang tadinya hanya bersifat diskusi,
kemudian menjadi wadah dan wahana perjuangan untuk menjatuhkan the old regime.
Crane Brinton menyebut perkumpulan-perkumpulan itu sebagai “societes de
pensee” yang dalam perkembangannya menjelma menjadi sel revolusi Revolusi
Rusia yang meletus pada 1917 juga bermula dari pergerakan dan perkembangan sel
revolusi ini, meskipun mereka tidak secara eksplisit menyatukan gerak dan
langkah mereka. Mereka adalah kelompok-kelompok sosialis, liberal, kelompok
yang pro dan anti Barat, militer, intelektual, dan sebagainya.[9]
Faktor lain yang
menjadi sebab terjadinya Revolusi Rusia adalah akibat langsung dari kekalahan
Rusia dalam peperangan. Kekaisaran Rusia harus bersaing ketat dengan
negara-negara lebih maju di Eropa sehingga perlu reformasi Rusia Prarevolusi.
Paling tidak, dari kondisi struktural dan kecenderungan-kecenderungan dalam
negeri, ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya Revolusi Rusia, yaitu: 1)
Ketidakmampuan para aparat pemerintah pusat the old regime; 2) meluasnya
pemberontakan klas bawah; 3) upaya pemimpin politik yang memobilisasi masa
untuk mengkonsolidasikan negara revolusioner.[10]
Padahal, suatu revolusi tidak dapat tidak merupakan suatu yang sangat otoriter.
Revolusi adalah suatu
tindakan dari suatu bagian penduduk untuk memaksakan kehendaknya pada pihak
lain dengan jalan kekerasan. Bila si pemenang menghendaki keberhasilan
perjuangannya, maka ia harus mempertahankan kekuasaannya dengan jalan terror
yang dihadapkan oleh alat senjatanya terhadap golongan reaksioner. Dengan kata
lain penguasa dalam revolusi boleh berbuat apa saja, pihak lawan atau yang
tidak setuju dianggap sebagai golongan reaksioner atau pun sebagai golongan
kontra revolusioner. Itulah sebabnya, produk revolusionernya adalah munculnya
negara bangsa yang sentralistis birokratis dan bersifat inkorporasi massa
dengan meningkatkan kekuasaan yang lebih besar di tingkat internasional.
Pada saat revolusi
berhasil digulirkan, biasanya golongan yang langsung mengambil alih kendali pemerintahan
adalah golongan moderat. Mereka adalah golongan kaya, terkenal dan berkedudukan
sosial tinggi dan diharapkan dapat menggantikan pemerintahan yang baru. Di
Rusia mereka adalah koalisi sosialis (sosialis revolusioner dengan golongan
Menshevik dan juga sebagian pengikut Bolshevik). Pada masa “bulan madu”
revolusi ini, sesuatu yang hampir selalu terjadi setelah revolusi adalah
munculnya pihak-pihak yang tidak begitu sepaham mengenai apa yang harus dilakukan
untuk membangun kembali negeri seperti yang diteriakkan melalui pidato-pidato dan
upacara peringatan kemenangan revolusi itu. Golongan moderat ini akan mendapat
perlawanan dari golongan ekstrimis radikal yang menuduh golongan moderat
sebagai pengkhianat revolusi, menghentikan arus revolusi dan lebih busuk dari
penguasa lama. Termasuk dalam golongan yang radikal dan ekstrimis ini adalah
kaum Bolshevik.[11]
Kondisi kritis pun
berlangsung sesaat setelah revolusi berlangsung. Biasanya setelah berlalunya
kondisi kritis ini, pihak pemenang cenderung pecah menjadi dua, yaitu: 1)
kelompok yang lebih konservatif (golongan moderat) yang memegang pemerintahan;
dan 2) kelompok yang lebih radikal sebagai oposisi. Sampai tingkat tertentu,
kemenangan ada di pihak oposisi/ kaum radikal.[12]
Memang pada masa
kritis, telah terjadi paradoks revolusi, yaitu bahwa menguasai mesin pemerintah
mengandung kelemahan pada dirinya sendiri. Golongan moderat dianggap lemah
karena mereka kehilangan kepercayaan dari sesama lawan rezim lama, dan
dihubungkan sebagai pewaris rezim lama yang karena keadaan memaksa mereka dalam
posisi mempertahankan. Memang, para penguasa Rusia baru yang belum berpengalaman
harus mengatur kegiatan militer dan menanggulangi akibat perang dan kekalahan
yang diderita. Itulah sebabnya sejak awal sudah kacau dan memiliki potensi
konflik yang mendasar sehingga revolusi tersebut merusak usaha-usaha stabilitas
temporer.
Muncul berbagai kesulitan setelah Revolusi
1917 yang semakin parah terutama masalah kereta api: jaringan kereta api yang
tidak memenuhi kebutuhan pertempuran dan bahan mentah industri, pemogokan buruh
kereta api, tuntutan kenaikan upah, kesulitan para penguasa untuk mempergunakan
jalur kereta untuk memerintah negara. Selain itu, perang tidak pernah berhenti
karena setiap pemerintahan Rusia tidak pernah mau menarik diri dari perang. Akibatnya
ekonomi ambruk karena perdagangan antarnegara tak berjalan.
Pemerintah Darurat
kehilangan otoritas karena selalu merangsang terjadinya perang, semakin banyak
pemberontakan rakyat di daerah, pemogokan buruh, dan pemimpin Soviet kurang
mencerminkan hal-hal yang terjadi pada masyarakat bawah. Rakyat Rusia mulai
mengatasi masalah sendiri melalui tatanan yang mereka miliki tanpa mengindahkan
kelas dominan. Akhirnya muncul kolektivitas-kolektivitas yang dirasakan lebih
cocok untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat secara langsung
karenapemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan harapan rakyat
jelata.
Bisa disimpulkan bahwa
sejak Revolusi Pebruari 1917 dilema Revolusi Rusia yang sesungguhnya adalah bukan
siapa yang harus memerintah melainkan siapa yang mampu memerintah[13]]
Pada suasana revolusi di manapun akan muncul masalah dwi kedaulatan. Di Rusia
hal itu disebut “dvoevlastie” (bisa diterjemahkan dengan kekuasaan
rangkap). Dwi lembaga ini muncul bila ada lembaga-lembaga lain dan bertentangan
dengan pemerintahan, kemudian membuat keputusan-keputusan lain dan bertentangan
dengan keputusan pemerintah. Akhirnya muncullah “pemerintahan tidak sah” dari
golongan ekstrimis yang mencoba meruntuhkan golongan moderat ini.
Posisi golongan moderat
terjepit antara golongan konservatif yang masih punya power dengan golongan
ekstrimis yang memiliki tekad dan agresif.[14]
Akhirnya kemenangan diraih oleh golongan ekstrimis. Golongan ekstrimis mendapat
kemenangan karena mereka memegang pengawasan terhadap pemerintahan tidak sah
dan mengubahnya dalam suatu kudeta atas pemerintahan yang sah. Kunci
keberhasilan mereka karena persoalan dwi-kedaulatan disesuaikan dengan tindakan
revolusioner yaitu memonopoli kekuasaan atas lembagalembaga yang telah ada
(soviet-soviet)[15]
; disiplin, cara berpikir satu-satunya adalah pemusatan kekuasaan.
Organisasi ekstrimis
sebenarnya kecil, tetapi mereka mewakili dan melaksanakan apa yang
“dikehendaki” oleh jiwa, kemauan, dan semangat bangsa mereka dengan bersemboyan:
”Mereka yang menentang pemberontakan adalah setiap orang kecuali golongan Bolshevik,
tetapi golongan Bolshevik adalah rakyat”. Perselisihan di antara pemimpin
ekstrimis bersifat doktriner. Penyelesaian yang dipilih biasanya berupa
judicial murder/ pembunuhan judisial. Perselisihan ini memang tidak tampak di
muka umum karena disiplin Bolshevik yang sangat memuaskan.[16]Memang,
menjelang pertengahan tahun 1918, terdapat kerumitan spektrum politik. Berbagai
kelompok digambarkan berdasarkan latar belakang politik, sosial, dan
psikologi/motivasinya. Kategori ini berkisar dari individu yang paling anti
Bolshevik sampai pada mereka yang tergabung dalam Partai Komunis Rusia.
Alexandre A. Bennigsen
membedakan tipologi kelompok politik tersebut dalam empat kategori, yaitu: 1)
Golongan Kontra Revolusi dan Pengikut Rusia Putih. Mereka banyak berasal dari
bekas pejabat Tsar, kaum monarkhis, kaum borjuis, tuan tanah dan kaum
bangsawan, serta sejumlah pendeta konservatif; 2) Kelompok Netral, Pasif, atau
Pindah. Mereka jumlahnya besar dan merasa tidak nyaman hidup dalam gejolak
revolutif. Mereka adalah para penganut Pan- Turki dan Pan-Islam, termasuk
sejumlah ulama, kaum borjuis klas menengah; 3) Kawan Seperjuangan, yaitu menunjuk
pada individu yang pada suatu saat diputuskan secara subjektif mendukung kaum
Bolshevik; 4) Pengikut Partai Komunis Rusia yang kebanyakan terdiri dari kaum
ekstrimis, radikal, kaum reformis yang agak moderat. Mereka berkeyakinan kuat
bahwa kemenangan akhir akan dipegang oleh golongan Bolshevik.
Melihat keragaman
spektrum politik, maka golongan ekstrimis tidak bisa tidak harus melakukan
tindakan tegas dengan merealisasikan kediktatoran dan terror. Kediktatorannya
diwujudkan dalam bentuk sentralisasi. Bentuk khas kekuasaan tertinggi berwujud
komite dan pemerintah terror pada dasarnya adalah kediktatoran komisi. Sementara
kekuasaan politik merupakan sebagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan
kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang yang mempunyai “hak” untuk
mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.[17]
Tindak kekerasan serta terror terhadap musuh-musuh politiknya dilancarkan,
bahkan bila perlu terhadap rakyat yang sebenarnya harus dilindunginya.
Partai Komunis Rusia
menguasai pemerintah dengan menciptakan Polisi Rahasia, terror dan pembunuhan politik,
pertentangan klas yang tajam. Secara halus sistem diktator proletariat ini
dikatakannya sebagai Sistem Politik Demokrasi Rakyat. Pada masa Stalin
totaliterisme partai berubah menjadi totaliterisme negara. Stalin melakukan
usaha mengenyahkan lawan dan saingan politik melalui pembunuhan dengan korban
mencapai 20-40 juta orang.[18]
Komunis sebagai ideology
diindoktrinasikan secara paksa melalui terror mental dan fisik dari generasi ke
generasi. Ideologi kemudian cenderung diperlakukan seperti agama dan menjadi
ideologi tertutup, artinya masyarakat tidak boleh membantah kebenarannya dan
tidak boleh menafsirkan atau mengembangkannya. Akhirnya kuasa dijaga dengan
pedang, mesiu, dan sejumlah alat pembasmi untuk melenyapkan mereka yang
menolaknya atau untuk menerbitkan “gentar”. Pendeknya, kuasa ditegakkan dengan
terror dan pengelolaan kengerian.[19]
C. Disintegrasi Uni Soviet: Komunis
Internasional
Jatuhnya sistem Tsar
telah menimbulkan reaksi yang campur aduk di Barat, dari yang semula antusias
mengharapkan demokrasi, sampai munculnya antisipasi terhadap kediktatoran komunis
yang menakutkan. Bagi Amerika Serikat misalnya, dia harus mulai membuat
asumsiasumsi yang realistis tentang kekuatan Uni Soviet dan lingkungan
pengaruhnya yang sedang dibangun serta memperlihatkan sasaran-sasaran keamanan
negara tersebut.
Perkembangan Uni Soviet
yang otoriter salah satunya disebabkan adanya warisan Lenin yang membawa
malapetaka, yaitu: 1) Pemusatan kekuatan politik hanya pada beberapa orang; 2) kegiatan/
aktivitas terror untuk mencapai tujuan. Pemusatan kekuatan politik dilembagakan
dalam sebuah Partai Tunggal yang dibirokratiskan. Selain itu juga dikembangkan
sebuah sistem kendali politik yang berlapis-lapis yang dijalankan secara ketat
dari lapisan atas sampai bawah. Aktivitas terror diorganisasikan secara rapi
oleh partai, ditujukan pada pihak-pihak yang mengganggu jalannya revolusi, dan
tidak perduli jika harus melakukan kekerasan kolektif.[20]
Kekerasan terorganisasi
menjadi alat utama dalam menyelesaikan masalah-masalah politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Pengutamaan terror mengakibatkan kekejaman-kekejaman
kolektif maupun individual yang dibangun oleh para elit Partai Tunggal dan Polisi
Rahasia.
Sementara itu, ketika
Stalin berkuasa, dia mewarisi tradisi otoriter dari pendahulunya Lenin, yang
juga membawa kemunduran negara dan bangsa US, antara lain: 1) Partai yang
dogmatis; 2) Partai Tunggal yang otoriter yang membangun birokrasi tidak
efisien; dan 3) Kekuasaan negara harus tumbuh dan ekspansionis. Pada intinya
adalah bahwa kekuasaan negara dicerminkan dengan penggunaan kekerasan yang
disponsori oleh Negara terhadap masyarakatnya sendiri, munculnya negara polisi
yang mematikan kreativitas masyarakat dan intelektual, dan sentralisasi
kekuasaan politik.
Suatu faktor penting
yang sangat menentukan adalah adanya pola perilaku politik Rusia sepanjang sejarahnya
yang merangkaikan gelombang otokrasi, destabilitas, ketidakmampuan rezim yang berkuasa
untuk mereformasikan sistem yang berlaku dari dalam, stagnasi politik, ekspansi
ke luar Uni Soviet dan akhirnya pemulihan tirani dalam suatu lingkaran setan.
Sejak pemimpin Uni Soviet Malenkov, Kruschev, Kosygin, dan Breznev, sudah
berusaha melepaskan diri dari lingkaran tersebut, tetapi tidak satu pun
berhasil, kecuali Gorbachev. Itulah sebabnya muncul desakan yang kuat untuk
merehabilitasi hubungan dengan dunia barat, dengan dipengaruhi oleh dua
perkembangan penting, yaitu perkembangan teknologi senjata yang pesat; dan memburuknya
ekonomi Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur serta kesenjangan teknologi yang
terus melebar.
Daftar
Pustaka
Dieter Heinzig. 1983. Rusia dan Uni Soviet di Asia. Jakarta: CSIS.
Dwi
Susanto & Zainuddin Djafar (ed). 1990. Perubahan Politik di Negara-negara
Eropa Timur. Jakarta : Gramedia.
Indriyanto.
Hubungan Rusia-Indonesia dalam Kajian
Sejarah Staf Edukatif.
Makalah disampaikan pada Seminar Internasional, Semarang Universitas
Diponegoro, tanggal 16 November 2000.
Julius
Siboro. 2012. Sejarah Eropa Dari Masa
Menjelang Perang Dunia I Sampai Masa Antarbellum. Yokyakarta : Penerbit
Ombak.
Theda Skocpol.1991. Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis
Komparatif tentang Prancis, Rusia, dan Cina. Jakarta: Erlangga.
Zbigniew
Brzezinki. 1990. Kegagalan
Besar Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad Keduapuluh. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
[1]
Secara geografis, tiga per
empat wilayah Rusia Soviet ada di Asia, sehingga ada pendapat bahwa kebijakan
Moskwa atas Asia identik dengan kebijakan domesktik Soviet. Dalam pendekatan
sejarah dan budaya, istilah Asia menjadi kabur karena pada kenyataannya tradisi
Rusia berakar pada tradisi Eropa. Diawali dari Kristianisasi pada abad ke-10,
dilanjutkan peperangan melawan Proturki, Yahudi, dan Muslim. Pertarungan
terpenting dan paling traumatis sampai sekarang adalah penaklukan Rusia oleh
Mongol pada pertengahan abad ke-13. Dieter Heinzig, “Rusia dan Uni Soviet di
Asia”, dalam Analisa 1983-12 (Jakarta: CSIS, 1983), hlm. 1051.
[2]
Meskipun Rusia sebenarnya
imperialis, Rusia Soviet mampu menghindari tuduhan sebagai kolonialis dan
bahkan sering diklasifikasikan sebagai non-kolonialis, karena: 1) terjadinya
pengintegrasian wilayah jajahan dilakukan melalui ikatan ekonomi yang erat
dengan negara induk; 2) Kolonialisme Rusia telah “menyimpang” dari pola
kolonialisme klasik yang umumnya bersifat maritim, sedangkan yang dilakukan Rusia
bersifat kontinental. Heinzig, “Rusia…”, dalam ibid., hlm. 1056.
[3]
Theda Skocpol, Negara
dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Prancis, Rusia, dan Cina (Jakarta:
Erlangga, 1991), hlm.83.
[4]
Baca: Theofanis George
Stevrou, Russian Under the Last Tsar (Minncapolis: University of
Minnesota Press, 1969), dalam ibid., hlm. 84. Rangkaian persitiwa yang membawa
kekaisaran Rusia dari dominan di Eropa setelah Revolusi 1848 menjadi
disintegrasi dan Revolusi 1917 berawal dari kekalahan dalam Perang Crimean
1854-1855. Perang itu bersumber dari kontrol atas Laut Hitam dan pengaruh di kekaisaran
Ottoman. Rusia berhadapan dengan Prancis dan Inggris tanpa dukungan bekas
sekutunya Austria. Armada Rusia tidak dapat menyaingi kapal mesin uap dari
skuadron sekutu yang sangat kuat.
[5]
Di dalam teorinya Marx
menentang penghapusan hak pribadi secara total yang harus dihapus, bukannya
setiap milik pribadi, tetapi milik pribadi yang merupakan manifestasi
L’exploitation de L’homme par L’homme saja. Penghapusan ini saja
harus menghindari pertentangan antara individu dan masyarakat. Marx berpendapat
bahwa di mana tak ada kebebasan individu, maka tak ada pula kebebasan
masyarakat. Postulat ini bertentangan dengan kenyataan Rusia masa Stalin, dimana
tak ada kebebasan individu, meskipun hal ini merupakan warisan kebudayaan Rusia
Prarevolusioner dimana agama yang memuja patung pararel dengan kebudayaan
kepada Tsar. Ketika Albert Camus pada tahun 1951 mengatakan bahwa semua
Revolusi Modern berakhir dengan diperkuatnya kekuasaan negara, tetapi di Rusia,
Revolusi 1917 berakhir dengan kuatnya kekuasaan Stalin. Baca: Dwi Susanto &
Zainuddin Djafar (ed), Perubahan Politik di Negara-negara Eropa Timur
(Jakarta; Gramedia, 1990), hlm. 4-7.
[6]
Julisus Subiro, Sejarah Eropa dari Masa
Menjelang Perang Dunia I Sampai Masa Antarbellum, (Yikyakarta: Penerbit
Ombak, 2012), hlm. 130.
[7]
Theda Skocpol, op cit.,
hlm. 51. Tentang konsep Imperial State sebagai suatu tipe negara, baca: Frances
V. Moulder, Japan, China, and Modern World Economy (Cambridge University
Press, 1977)
[8]
Ibid., hal. 227.
[9]
Ibid., hlm. 226-230.
[10]
Skocpol, op.cit.,
hlm. 36-37, 82.
[11]
Julisus Subiro, Op. Cit., hlm. 135.
[12]
Ibid., hlm. 130-131.
[13]
Theda Skocpol, op.cit.,
hlm. 228-230.
[14]
Golongan moderat hanya
punya tiga pilihan : 1) menekan pemerintahan tidak sah/ ekstrimis; 2) menguasai
pemerintahan tidak sah; 3) membiarkan hidup pemerintahan tidak sah. Ibid.,
hlm. 161-167.
[15]
Soviet berarti dewan-dewan
yang mencakup dewan lokal serikat sekerja, serdadu, pelaut, petani, dan cendekiawan.
Bolshevik memusatkan diri pada sosiet-soviet ini, sehingga akhirnya dapat
merebut kekuasaan atas soviet-soviet yang memiliki kedudukan kunci di
Petrograd, Moskwa, dan kota-kota industry lainnya.
[16]
Setelah kematian Lenin, perselisihan
antara golongan ekstrimis menjadi semakin terbuka. Ibid., hlm. 182,
201,201.
[17]
Dalam hal ini kekuasaan
politik merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum baik terbentuknya
maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasan sendiri.
Baca selengkapnya: Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:Gramedia,
1983), hlm. 37; F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Binacipta,
1978), hlm. 105-123.
[18]
Indriyanto. Hubungan Rusia-Indonesia dalam Kajian
Sejarah Staf Edukatif.
(Makalah disampaikan pada Seminar Internasional, Semarang Universitas
Diponegoro, tanggal 16 November 2000).
[19]
Theda Skocpol, op.cit.,
hlm. 235-239.
[20]
Julisus Subiro, Op. Cit., hlm. 141-147.
Comments
Post a Comment