Skip to main content

Sejarah Komunisme Di Rusia

KOMUNISME DI RUSIA
A. Pengantar
Sejak abad ke-16 Rusia mulai mendorong perbatasannya ke arah Asia, melalui ekspedisi  dagang di bawah perlindungan negara ke Siberia Timur, Pasifik, dan Lembah Amur. Wilayah Asia yang paling banyak dicaplok adalah Cina, sekitar 1,5 juta km2.[1] Sejak abad ke-17 Rusia menjadi semakin Eropa dengan arogansi kolonialis[2] yang menjadi ciri negara-negara Eropa Barat. Setelah mengalahkan Swedia dalam “Great Northern War” (1700-1721) Rusia semakin menjadi kekaisaran yang multietnis dan menjadi negara besar dalam sistem negara-negara di Eropa.[3] Dilihat dari sudut geopolitiknya, kepentingan Rusia adalah mengontrol pintu masuk ke laut hitam.[4]
Sejak abad ke-18-19 keterlibatan Rusia di Asia semakin mendalam, meskipun tidak disenangi orang-orang Eropa dan tidak diterima sebagai Eropa. Pada abad ke-20 (1940-an), Rusia memperluas jajahannya di Baltik, Finlandia, Jerman, Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Mongolia, dan Jepang (Kepulauan Kurile, Habomai, dan Shikotan). Kemenangan kaum Bolshevik pada Revolusi 7 November 1917 tidak mengubah kebijakan Rusia atas Asia, meskipun salah satu asas politik luar negeri Bolshevik adalah melawan imperialisme dan kolonialisme. Hal ini ditunjukkan oleh Lenin yang menandatangani “Deklarasi Hak-hak Bangsa-bangsa Rusia” yang menjamin bangsa-bangsa bekas imperium Tsar membentuk Negara merdeka. Ia mengakui hak bangsa-bangsa atas penentuan diri tetapi tidak pernah menginginkan pelaksanaannya karena tujuan utama Lenin adalah mendirikan negara sebesar mungkin (Rusia Raya).
Lenin menggunakan hak penentuan diri sebagai taktik, yakni menggalakkan disintegrasi bangsa-bangsa jajahan Rusia (Masa Tsar) untuk mempercepat proses revolusioner. Lenin yakin, setelah terjadi disintegrasi bangsa-bangsa itu akan dengan sukarela bergabung ke dalam Rusia yang telah mengalami revolusi sosialis. Rupanya Lenin tidak pernah menggunakan ideologi yang selama hampir 70 tahun Marx dan Engels menyebut dengan istilah “sosialisme ilmiah”. Lenin sejak berhasil memimpin Revolusi Bolshevik akhir tahun 1917 dan juga Stalin menerjemahkan istilah tersebut ke dalam praktek. Oleh karena itu, ideologi Komunis sebenarnya baru dilahirkan setelah Partai Bolshevik, fraksi mayoritas yang memisahkan diri dari Partai Buruh Demokrat Rusia, untuk selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai, mulai memegang kendali pemerintahan di
Rusia. Selanjutnya lima tahun setelah mengeluarkan Manifes Partai Komunis, Marx dan Engels mengganti istilah humanisme dengan Kemunisme.[5]

B. Jalannya Revolusi Rusia
Sebelum terjadi revolusi tahun 1917, Rusia merupakan sebuah negara yang dikendalikan oleh Monarkhi Otokratis, yang tugasnya terpusat pada pemeliharaan tatanan dalam negeri dan penindakan musuh dari luar.[6] Rejim ini sepenuhnya berdasarkan pada negara kekaisaran (Imperial State) yang memiliki hirarkhi militer dan administrasi yang dikoordinasikan secara terpusat di bawah pengawasan monarkhi yang absolut.[7]Kedudukan kaum bangsawan pemilik tanah di Rusia sangat lemah karena secara politis mereka tergantung pada Tsar. Selain itu perbudakan tidak dikonsolidasikan oleh mereka tetapi oleh utusan Tsar untuk menarik sumbersumber dari rakyat guna mendukung militer agar mampu mempertahankan dan memperluas lingkungan geopolitik yang terancam. Namun demikian, lama kelamaan mereka pun merasa tertekan dan tertindas, sehingga muncul keresahan dan ketidakpuasan politik di antara mereka. Selain itu, kekuasaan Tsar yang absolut telah membawa kesengsaraan rakyat dan kelompok-kelompok social yang berada di kota menjadi tidak puas dengan kerja negara kekaisaran ini.[8]
Pemerintah Tsar mengalami inefisiensi dan inefektif karena terlalu kaku. Akhirnya usaha ke arah merubah sistem politik Tsar semakin nampak di atas permukaan. Sejak abad ke-19 usaha-usaha berbagai kelompok untuk bersikap kritis terhadap pemerintah telah berlangsung meskipun masih bisa dihantam oleh pemerintah. Namun demikian sebenarnya di masyarakat Rusia telah terjadi munculnya kelompok-kelompok kritis khususnya dari kalangan borjuis yang bersikap antipati terhadap pemerintah. Mereka kemudian mendirikan perkumpulan-perkumpulan tidak resmi dalam kehidupan masyarakat. Apa yang kemudian menjadi objek dalam perkumpulan-perkumpulan sosial itu adalah membicarakan datau memperdebatkan kebijakan pemerintah. Namun yang lebih penting dari aktivitas itu adalah lahirnya konsep-konsep pemikiran baru tentang negara dan sistem sosial, yang kemudian diajadikan landasan untuk melakukan pembaharuan politik dan kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini kemudian menjadi agitator politik dalam konteks menghantam “the old regime”.
Pergeseran fungsi dari perkumpulan-perkumpulan ini berlangsung yang tadinya hanya bersifat diskusi, kemudian menjadi wadah dan wahana perjuangan untuk menjatuhkan the old regime. Crane Brinton menyebut perkumpulan-perkumpulan itu sebagai “societes de pensee” yang dalam perkembangannya menjelma menjadi sel revolusi Revolusi Rusia yang meletus pada 1917 juga bermula dari pergerakan dan perkembangan sel revolusi ini, meskipun mereka tidak secara eksplisit menyatukan gerak dan langkah mereka. Mereka adalah kelompok-kelompok sosialis, liberal, kelompok yang pro dan anti Barat, militer, intelektual, dan sebagainya.[9]
Faktor lain yang menjadi sebab terjadinya Revolusi Rusia adalah akibat langsung dari kekalahan Rusia dalam peperangan. Kekaisaran Rusia harus bersaing ketat dengan negara-negara lebih maju di Eropa sehingga perlu reformasi Rusia Prarevolusi. Paling tidak, dari kondisi struktural dan kecenderungan-kecenderungan dalam negeri, ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya Revolusi Rusia, yaitu: 1) Ketidakmampuan para aparat pemerintah pusat the old regime; 2) meluasnya pemberontakan klas bawah; 3) upaya pemimpin politik yang memobilisasi masa untuk mengkonsolidasikan negara revolusioner.[10] Padahal, suatu revolusi tidak dapat tidak merupakan suatu yang sangat otoriter.
Revolusi adalah suatu tindakan dari suatu bagian penduduk untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain dengan jalan kekerasan. Bila si pemenang menghendaki keberhasilan perjuangannya, maka ia harus mempertahankan kekuasaannya dengan jalan terror yang dihadapkan oleh alat senjatanya terhadap golongan reaksioner. Dengan kata lain penguasa dalam revolusi boleh berbuat apa saja, pihak lawan atau yang tidak setuju dianggap sebagai golongan reaksioner atau pun sebagai golongan kontra revolusioner. Itulah sebabnya, produk revolusionernya adalah munculnya negara bangsa yang sentralistis birokratis dan bersifat inkorporasi massa dengan meningkatkan kekuasaan yang lebih besar di tingkat internasional.
Pada saat revolusi berhasil digulirkan, biasanya golongan yang langsung mengambil alih kendali pemerintahan adalah golongan moderat. Mereka adalah golongan kaya, terkenal dan berkedudukan sosial tinggi dan diharapkan dapat menggantikan pemerintahan yang baru. Di Rusia mereka adalah koalisi sosialis (sosialis revolusioner dengan golongan Menshevik dan juga sebagian pengikut Bolshevik). Pada masa “bulan madu” revolusi ini, sesuatu yang hampir selalu terjadi setelah revolusi adalah munculnya pihak-pihak yang tidak begitu sepaham mengenai apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali negeri seperti yang diteriakkan melalui pidato-pidato dan upacara peringatan kemenangan revolusi itu. Golongan moderat ini akan mendapat perlawanan dari golongan ekstrimis radikal yang menuduh golongan moderat sebagai pengkhianat revolusi, menghentikan arus revolusi dan lebih busuk dari penguasa lama. Termasuk dalam golongan yang radikal dan ekstrimis ini adalah kaum Bolshevik.[11]
Kondisi kritis pun berlangsung sesaat setelah revolusi berlangsung. Biasanya setelah berlalunya kondisi kritis ini, pihak pemenang cenderung pecah menjadi dua, yaitu: 1) kelompok yang lebih konservatif (golongan moderat) yang memegang pemerintahan; dan 2) kelompok yang lebih radikal sebagai oposisi. Sampai tingkat tertentu, kemenangan ada di pihak oposisi/ kaum radikal.[12]
Memang pada masa kritis, telah terjadi paradoks revolusi, yaitu bahwa menguasai mesin pemerintah mengandung kelemahan pada dirinya sendiri. Golongan moderat dianggap lemah karena mereka kehilangan kepercayaan dari sesama lawan rezim lama, dan dihubungkan sebagai pewaris rezim lama yang karena keadaan memaksa mereka dalam posisi mempertahankan. Memang, para penguasa Rusia baru yang belum berpengalaman harus mengatur kegiatan militer dan menanggulangi akibat perang dan kekalahan yang diderita. Itulah sebabnya sejak awal sudah kacau dan memiliki potensi konflik yang mendasar sehingga revolusi tersebut merusak usaha-usaha stabilitas temporer.
 Muncul berbagai kesulitan setelah Revolusi 1917 yang semakin parah terutama masalah kereta api: jaringan kereta api yang tidak memenuhi kebutuhan pertempuran dan bahan mentah industri, pemogokan buruh kereta api, tuntutan kenaikan upah, kesulitan para penguasa untuk mempergunakan jalur kereta untuk memerintah negara. Selain itu, perang tidak pernah berhenti karena setiap pemerintahan Rusia tidak pernah mau menarik diri dari perang. Akibatnya ekonomi ambruk karena perdagangan antarnegara tak berjalan.
Pemerintah Darurat kehilangan otoritas karena selalu merangsang terjadinya perang, semakin banyak pemberontakan rakyat di daerah, pemogokan buruh, dan pemimpin Soviet kurang mencerminkan hal-hal yang terjadi pada masyarakat bawah. Rakyat Rusia mulai mengatasi masalah sendiri melalui tatanan yang mereka miliki tanpa mengindahkan kelas dominan. Akhirnya muncul kolektivitas-kolektivitas yang dirasakan lebih cocok untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat secara langsung karenapemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dan harapan rakyat jelata.
Bisa disimpulkan bahwa sejak Revolusi Pebruari 1917 dilema Revolusi Rusia yang sesungguhnya adalah bukan siapa yang harus memerintah melainkan siapa yang mampu memerintah[13]] Pada suasana revolusi di manapun akan muncul masalah dwi kedaulatan. Di Rusia hal itu disebut “dvoevlastie” (bisa diterjemahkan dengan kekuasaan rangkap). Dwi lembaga ini muncul bila ada lembaga-lembaga lain dan bertentangan dengan pemerintahan, kemudian membuat keputusan-keputusan lain dan bertentangan dengan keputusan pemerintah. Akhirnya muncullah “pemerintahan tidak sah” dari golongan ekstrimis yang mencoba meruntuhkan golongan moderat ini.
Posisi golongan moderat terjepit antara golongan konservatif yang masih punya power dengan golongan ekstrimis yang memiliki tekad dan agresif.[14] Akhirnya kemenangan diraih oleh golongan ekstrimis. Golongan ekstrimis mendapat kemenangan karena mereka memegang pengawasan terhadap pemerintahan tidak sah dan mengubahnya dalam suatu kudeta atas pemerintahan yang sah. Kunci keberhasilan mereka karena persoalan dwi-kedaulatan disesuaikan dengan tindakan revolusioner yaitu memonopoli kekuasaan atas lembagalembaga yang telah ada (soviet-soviet)[15] ; disiplin, cara berpikir satu-satunya adalah pemusatan kekuasaan.
Organisasi ekstrimis sebenarnya kecil, tetapi mereka mewakili dan melaksanakan apa yang “dikehendaki” oleh jiwa, kemauan, dan semangat bangsa mereka dengan bersemboyan: ”Mereka yang menentang pemberontakan adalah setiap orang kecuali golongan Bolshevik, tetapi golongan Bolshevik adalah rakyat”. Perselisihan di antara pemimpin ekstrimis bersifat doktriner. Penyelesaian yang dipilih biasanya berupa judicial murder/ pembunuhan judisial. Perselisihan ini memang tidak tampak di muka umum karena disiplin Bolshevik yang sangat memuaskan.[16]Memang, menjelang pertengahan tahun 1918, terdapat kerumitan spektrum politik. Berbagai kelompok digambarkan berdasarkan latar belakang politik, sosial, dan psikologi/motivasinya. Kategori ini berkisar dari individu yang paling anti Bolshevik sampai pada mereka yang tergabung dalam Partai Komunis Rusia.
Alexandre A. Bennigsen membedakan tipologi kelompok politik tersebut dalam empat kategori, yaitu: 1) Golongan Kontra Revolusi dan Pengikut Rusia Putih. Mereka banyak berasal dari bekas pejabat Tsar, kaum monarkhis, kaum borjuis, tuan tanah dan kaum bangsawan, serta sejumlah pendeta konservatif; 2) Kelompok Netral, Pasif, atau Pindah. Mereka jumlahnya besar dan merasa tidak nyaman hidup dalam gejolak revolutif. Mereka adalah para penganut Pan- Turki dan Pan-Islam, termasuk sejumlah ulama, kaum borjuis klas menengah; 3) Kawan Seperjuangan, yaitu menunjuk pada individu yang pada suatu saat diputuskan secara subjektif mendukung kaum Bolshevik; 4) Pengikut Partai Komunis Rusia yang kebanyakan terdiri dari kaum ekstrimis, radikal, kaum reformis yang agak moderat. Mereka berkeyakinan kuat bahwa kemenangan akhir akan dipegang oleh golongan Bolshevik.
Melihat keragaman spektrum politik, maka golongan ekstrimis tidak bisa tidak harus melakukan tindakan tegas dengan merealisasikan kediktatoran dan terror. Kediktatorannya diwujudkan dalam bentuk sentralisasi. Bentuk khas kekuasaan tertinggi berwujud komite dan pemerintah terror pada dasarnya adalah kediktatoran komisi. Sementara kekuasaan politik merupakan sebagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang yang mempunyai “hak” untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.[17] Tindak kekerasan serta terror terhadap musuh-musuh politiknya dilancarkan, bahkan bila perlu terhadap rakyat yang sebenarnya harus dilindunginya.
Partai Komunis Rusia menguasai pemerintah dengan menciptakan Polisi Rahasia, terror dan pembunuhan politik, pertentangan klas yang tajam. Secara halus sistem diktator proletariat ini dikatakannya sebagai Sistem Politik Demokrasi Rakyat. Pada masa Stalin totaliterisme partai berubah menjadi totaliterisme negara. Stalin melakukan usaha mengenyahkan lawan dan saingan politik melalui pembunuhan dengan korban mencapai 20-40 juta orang.[18]
Komunis sebagai ideology diindoktrinasikan secara paksa melalui terror mental dan fisik dari generasi ke generasi. Ideologi kemudian cenderung diperlakukan seperti agama dan menjadi ideologi tertutup, artinya masyarakat tidak boleh membantah kebenarannya dan tidak boleh menafsirkan atau mengembangkannya. Akhirnya kuasa dijaga dengan pedang, mesiu, dan sejumlah alat pembasmi untuk melenyapkan mereka yang menolaknya atau untuk menerbitkan “gentar”. Pendeknya, kuasa ditegakkan dengan terror dan pengelolaan kengerian.[19]

C. Disintegrasi Uni Soviet: Komunis Internasional
Jatuhnya sistem Tsar telah menimbulkan reaksi yang campur aduk di Barat, dari yang semula antusias mengharapkan demokrasi, sampai munculnya antisipasi terhadap kediktatoran komunis yang menakutkan. Bagi Amerika Serikat misalnya, dia harus mulai membuat asumsiasumsi yang realistis tentang kekuatan Uni Soviet dan lingkungan pengaruhnya yang sedang dibangun serta memperlihatkan sasaran-sasaran keamanan negara tersebut.
Perkembangan Uni Soviet yang otoriter salah satunya disebabkan adanya warisan Lenin yang membawa malapetaka, yaitu: 1) Pemusatan kekuatan politik hanya pada beberapa orang; 2) kegiatan/ aktivitas terror untuk mencapai tujuan. Pemusatan kekuatan politik dilembagakan dalam sebuah Partai Tunggal yang dibirokratiskan. Selain itu juga dikembangkan sebuah sistem kendali politik yang berlapis-lapis yang dijalankan secara ketat dari lapisan atas sampai bawah. Aktivitas terror diorganisasikan secara rapi oleh partai, ditujukan pada pihak-pihak yang mengganggu jalannya revolusi, dan tidak perduli jika harus melakukan kekerasan kolektif.[20]
Kekerasan terorganisasi menjadi alat utama dalam menyelesaikan masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Pengutamaan terror mengakibatkan kekejaman-kekejaman kolektif maupun individual yang dibangun oleh para elit Partai Tunggal dan Polisi Rahasia.
Sementara itu, ketika Stalin berkuasa, dia mewarisi tradisi otoriter dari pendahulunya Lenin, yang juga membawa kemunduran negara dan bangsa US, antara lain: 1) Partai yang dogmatis; 2) Partai Tunggal yang otoriter yang membangun birokrasi tidak efisien; dan 3) Kekuasaan negara harus tumbuh dan ekspansionis. Pada intinya adalah bahwa kekuasaan negara dicerminkan dengan penggunaan kekerasan yang disponsori oleh Negara terhadap masyarakatnya sendiri, munculnya negara polisi yang mematikan kreativitas masyarakat dan intelektual, dan sentralisasi kekuasaan politik.
Suatu faktor penting yang sangat menentukan adalah adanya pola perilaku politik Rusia sepanjang sejarahnya yang merangkaikan gelombang otokrasi, destabilitas, ketidakmampuan rezim yang berkuasa untuk mereformasikan sistem yang berlaku dari dalam, stagnasi politik, ekspansi ke luar Uni Soviet dan akhirnya pemulihan tirani dalam suatu lingkaran setan. Sejak pemimpin Uni Soviet Malenkov, Kruschev, Kosygin, dan Breznev, sudah berusaha melepaskan diri dari lingkaran tersebut, tetapi tidak satu pun berhasil, kecuali Gorbachev. Itulah sebabnya muncul desakan yang kuat untuk merehabilitasi hubungan dengan dunia barat, dengan dipengaruhi oleh dua perkembangan penting, yaitu perkembangan teknologi senjata yang pesat; dan memburuknya ekonomi Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur serta kesenjangan teknologi yang terus melebar.


Daftar Pustaka
Dieter Heinzig. 1983. Rusia dan Uni Soviet di Asia. Jakarta: CSIS.
Dwi Susanto & Zainuddin Djafar (ed). 1990.  Perubahan Politik di Negara-negara Eropa Timur. Jakarta : Gramedia.

Indriyanto. Hubungan Rusia-Indonesia dalam Kajian Sejarah Staf Edukatif. Makalah disampaikan pada Seminar Internasional, Semarang Universitas Diponegoro, tanggal 16 November 2000.

Julius Siboro. 2012. Sejarah Eropa Dari Masa Menjelang Perang Dunia I Sampai Masa Antarbellum. Yokyakarta : Penerbit Ombak.

Theda Skocpol.1991.  Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Prancis, Rusia, dan Cina. Jakarta: Erlangga.

Zbigniew Brzezinki. 1990. Kegagalan Besar Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad Keduapuluh. Bandung: Remaja Rosdakarya.


[1] Secara geografis, tiga per empat wilayah Rusia Soviet ada di Asia, sehingga ada pendapat bahwa kebijakan Moskwa atas Asia identik dengan kebijakan domesktik Soviet. Dalam pendekatan sejarah dan budaya, istilah Asia menjadi kabur karena pada kenyataannya tradisi Rusia berakar pada tradisi Eropa. Diawali dari Kristianisasi pada abad ke-10, dilanjutkan peperangan melawan Proturki, Yahudi, dan Muslim. Pertarungan terpenting dan paling traumatis sampai sekarang adalah penaklukan Rusia oleh Mongol pada pertengahan abad ke-13. Dieter Heinzig, “Rusia dan Uni Soviet di Asia”, dalam Analisa 1983-12 (Jakarta: CSIS, 1983), hlm. 1051.
[2] Meskipun Rusia sebenarnya imperialis, Rusia Soviet mampu menghindari tuduhan sebagai kolonialis dan bahkan sering diklasifikasikan sebagai non-kolonialis, karena: 1) terjadinya pengintegrasian wilayah jajahan dilakukan melalui ikatan ekonomi yang erat dengan negara induk; 2) Kolonialisme Rusia telah “menyimpang” dari pola kolonialisme klasik yang umumnya bersifat maritim, sedangkan yang dilakukan Rusia bersifat kontinental. Heinzig, “Rusia…”, dalam ibid., hlm. 1056.
[3] Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Prancis, Rusia, dan Cina (Jakarta: Erlangga, 1991), hlm.83.
[4] Baca: Theofanis George Stevrou, Russian Under the Last Tsar (Minncapolis: University of Minnesota Press, 1969), dalam ibid., hlm. 84. Rangkaian persitiwa yang membawa kekaisaran Rusia dari dominan di Eropa setelah Revolusi 1848 menjadi disintegrasi dan Revolusi 1917 berawal dari kekalahan dalam Perang Crimean 1854-1855. Perang itu bersumber dari kontrol atas Laut Hitam dan pengaruh di kekaisaran Ottoman. Rusia berhadapan dengan Prancis dan Inggris tanpa dukungan bekas sekutunya Austria. Armada Rusia tidak dapat menyaingi kapal mesin uap dari skuadron sekutu yang sangat kuat.
[5] Di dalam teorinya Marx menentang penghapusan hak pribadi secara total yang harus dihapus, bukannya setiap milik pribadi, tetapi milik pribadi yang merupakan manifestasi L’exploitation de L’homme par L’homme saja. Penghapusan ini saja harus menghindari pertentangan antara individu dan masyarakat. Marx berpendapat bahwa di mana tak ada kebebasan individu, maka tak ada pula kebebasan masyarakat. Postulat ini bertentangan dengan kenyataan Rusia masa Stalin, dimana tak ada kebebasan individu, meskipun hal ini merupakan warisan kebudayaan Rusia Prarevolusioner dimana agama yang memuja patung pararel dengan kebudayaan kepada Tsar. Ketika Albert Camus pada tahun 1951 mengatakan bahwa semua Revolusi Modern berakhir dengan diperkuatnya kekuasaan negara, tetapi di Rusia, Revolusi 1917 berakhir dengan kuatnya kekuasaan Stalin. Baca: Dwi Susanto & Zainuddin Djafar (ed), Perubahan Politik di Negara-negara Eropa Timur (Jakarta; Gramedia, 1990), hlm. 4-7.
[6] Julisus Subiro, Sejarah Eropa dari Masa Menjelang Perang Dunia I Sampai Masa Antarbellum, (Yikyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 130.
[7] Theda Skocpol, op cit., hlm. 51. Tentang konsep Imperial State sebagai suatu tipe negara, baca: Frances V. Moulder, Japan, China, and Modern World Economy (Cambridge University Press, 1977)
[8] Ibid.,  hal. 227.
[9] Ibid., hlm. 226-230.
[10] Skocpol, op.cit., hlm. 36-37, 82.
[11] Julisus Subiro, Op. Cit., hlm. 135.
[12] Ibid., hlm. 130-131.
[13] Theda Skocpol, op.cit., hlm. 228-230.
[14] Golongan moderat hanya punya tiga pilihan : 1) menekan pemerintahan tidak sah/ ekstrimis; 2) menguasai pemerintahan tidak sah; 3) membiarkan hidup pemerintahan tidak sah. Ibid., hlm. 161-167.
[15] Soviet berarti dewan-dewan yang mencakup dewan lokal serikat sekerja, serdadu, pelaut, petani, dan cendekiawan. Bolshevik memusatkan diri pada sosiet-soviet ini, sehingga akhirnya dapat merebut kekuasaan atas soviet-soviet yang memiliki kedudukan kunci di Petrograd, Moskwa, dan kota-kota industry lainnya.
[16] Setelah kematian Lenin, perselisihan antara golongan ekstrimis menjadi semakin terbuka. Ibid., hlm. 182, 201,201.
[17] Dalam hal ini kekuasaan politik merupakan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasan sendiri. Baca selengkapnya: Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:Gramedia, 1983), hlm. 37; F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Binacipta, 1978), hlm. 105-123.
[18] Indriyanto. Hubungan Rusia-Indonesia dalam Kajian Sejarah Staf Edukatif. (Makalah disampaikan pada Seminar Internasional, Semarang Universitas Diponegoro, tanggal 16 November 2000).
[19] Theda Skocpol, op.cit., hlm. 235-239.
[20] Julisus Subiro, Op. Cit., hlm. 141-147.

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis  

laporan ilmiah pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan kacang hijau

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh karena masih banyak para petani yang belum memaksilmalkan pengunaan pupuk kandang ( kotoran sapi). Penulis melakukan penelitian pertumbuhan tanamankacang hijau dengan persentase pupuk kandang yang berbeda-beda. Dari berbagai dasar-dasar teori telah dipaparkan kandungan-kandungan dalam pupuk kandang. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, memang benar bahwa pupuk kandang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kacang hijau. Dan dari penelitian kami, pupuk kandang yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, dan harus sesuai dengan kondisi tanah, contohnya kalau tanah yang memiliki kadar nutrisinya rendah akan membutuhkan presentase pupuk kandang yang lebih banyak. Bab 1 : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Tumbuhan merupakan makhluk hidup yang berperan sebagai produsen di muka bumi ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, salah satunya adalah nutrisi. Salah satu sumber nutrisi adalah pupuk

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari penjajahan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh