Skip to main content

Sejarah Tentang Kraton Surakarta atau Kasunaanan Surakarta

Kerajaan tradisional Surakarta (Kraton Surakarta) dengan ibu kotanya Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwana II (PB II) pada tahun 1746. Berdirinya Kraton Surakarta ini dapat disebut sebagai pengganti Kraton Kartasura yang telah hancur sebagai akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut kerajaan Mataram itu. 

Luas ibukota kerajaan Surakarta (Sala) adalah 24 kilometer persegi dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 kilometer dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di daerah dataran rendah di tepi sebelah barat sungai Bengawan Sala. Menurut astronomi kota Sala terletak pada 704’0” Lintang Utara—8010’0 Lintang Selatan dan 110027’0’’ Bujur Barat – 111020’0’’ Bujur Timur.  Suhu udaranya berkisar antara 220 C sampai 320 C. dan tinggi tanahnya ± (lebih kurang) 92 meter diatas permukaan laut.
Beberapa etnik yang mendiami diseputar wilayah ibukota kerajaan yaitu Jawa yang jumlahnya paling besar, kemudian Cina, Arab dan Eropa. Secara administratif, Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang, dan Madiun. Batas alam berupa gunung Merapi (2875) dan Merbabu 3145 m terletak disebelah barat, pegunungan Kendeng di sebelah utara, dan gunung Lawu 3326 m di sebelah timur. Antara gunung Merapi dan Merbabu dengan Gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas meliputi daerah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya sedimen vulkanis. Dari lereng gunung merapi mengalir sungai Opak ke selatan, menjadi batas antar Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Sungai Dengkeng menyatu dengan Bengawan Sala yang mata airnya berasal dari distrik sembuyan, dengan nama sungai Samin Colo, Wingko dan Jenes. Sungai- sungai ini mengalir ke dataran rendah Karanganyar yang membentuk daerah persawahan.
Di bagian selatan membentang pegunungan sewu yang ke arah barat memasuki daerah Pajang dan ke arah Timur Laut sampai ke distrik keduwang. Dari distrik ini bentengnya ke utara menuju Gunung Lawu dan keselatan sampai perbatasan Pacitan, daerah lereng gunung Lawu cocok untuk perkebunan kopi. Dari kota Sala ke utara  membentang daerah  daratan rendah yang makin kurang subur, terbukti kapur yang berakhir di pegunungan kendeng.
      Lingkungan Fisik Kraton Surakarta
Kraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan Sunan PB II (1726-1749) sebagai pengganti Kraton Kartasura yang telah rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina dibawah pimpinan Sunan Kuning, juga oleh pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat IV.  Peristiwa pendirian kota ini dikisahkan dalam Babad Giyanti, sebuah Babad bersajak yang ditulis kira-kira akhir abad 18 oleh pujanggan Kraton Yogyakarta. Mula-mula diceritakan bagaimana raja Mataram mengumpulkan para penasehat dan para pembantunya untuk memberitahukan niatnya memindahkan ibukota yang baru saja dihancurkan oleh gerombolan Cina.
Sunan PB II membangun Kraton secara tergesa-gesa dan perpindahan ke Surakarta dilakukan ketika Kraton baru itu dalam kedaan belum selesai. Tiga tahun sesudah menempati kraton baru Suna PB II wafat (1749), sehingga penyelesaian pembangunan kraton ditangani oleh raja-raja yang memerintah kemudian. Meskipun sampai pemerintahan Sunan PB X bangunan kraton mengalami perkembangan secara terus menerus, namun pembagian pelataran atau halam tidak mengalami perubahan.
      Stratifikasi Sosial Masyarakat
Anggota / masyarakat / komunitas kraton Surakarta tersusun secara hierarki dan secara tradisional dibagi dalam tiga kelompok social yaitu:
1.      Raja dan keluarga raja ( sentana dalem)
2.      Pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem)
3.      Rakyat biasa (kawula dalem)
            Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu, diperlukan dua criteria. Pertama prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elit. Sedangkan mereka yang diluar golongan itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan.
1.      Raja dan keluarga (sentana dalem)
             Ibukota kerajaan atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magi bagi kerajaan. Berhubung jagat raya yang menurut kosmologi Brahmana atau Budhis berpusat  di Gunung Meru, maka kerajaan yang merupakan jagat kecil harus pula memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magi bagi kerajaan. Dengan demikian sebuah kerajaan tidak lepas dari unsur-unsur yang melengkapinya. Bagaikan dunia kecil kerajaan merupakan gambaran alam semesta yang lengkap dengan zat supranatural, dewa yang khalik dan umat manusia, serta alam beserta isinya. Konsep kosmologi ini diterapkan pada susunan penguasa atau raja sebagai titik sentralnya.
            Adapun peran raja yang utama adalah untuk  melindungi kerajaa dan rakyatnya dengan menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia dewa-dewa. Raja harus memiliki kekuasaan dan wibawa yang setara dengan dewa-dewa. Hubungan antara raja dengan rakyatnya ini merupakan suatu ikatan antara kawula-gusti atau abdi-tuan yang merupakan kaitan erat. Akrab, saling menghormati dan bertanggung jawab. Rakyat sebagai kawula menyerahkan segalanya termasuk jiwanya jika raja menginginkanya.
            Ketika agama Islam mulai berkembang di Indonesia (Jawa) antara abad11-15 maka proses akulturasi tidak dapat dihindarkan. Lambat laun agama islam tersebut merasuk kedalam pola pikir masyarakat yang kemudian dipeluknya. Ketika itu kerajaan yang masih bersifat Hinduistis masih berdiri. Dengan masuknya agama islam, berarti merupakan tantangan yang serius terhadap raja- raja Mataram. Suatu usaha untuk menghadapi tantangan ini dengan memakai gelar susuhunan atau sultan, juga menarik pemimpin-pemimpin agama Islam ke dalam istana dan lambat laun mengubah tatacara istana sesuai dengan ajaran yang baru.
            Gelar susuhunan pertama kali dipakai oleh raja Mataram ketiga, Anyakrakusuma, sesudah berhasil menguasai daerah yang luas dan menaklukan pulau Madura tahun 1624. Sebelumnya peletak dasar wangsa Mataram menggunakan gelar panembahan. Gelar susuhunan menunjukan kedudukan yang amat tinggi. Hal ini terlihat dari asal kata susuhunan suhu (pundhi/sunggi) yang berarti diletakkan diatas kepala. Jadi susuhunan (pepundhen) artinya orang yang dijunjung tinggi, sangat dihormati.
            Tahun 1641 susuhunan Anyakrakusuma melepaskan gelar susuhunan dan kemudian adanya rasa iri hati terhadap pangeran Banten yang telah menerima nama sultan dan sebuah bendera yang dikirim kepadanya oleh ulama besar dari Mekah. Namun penggantinya, Amangkurat I (1615-1677) tidak melestarikan pemakaian gelar sultan kembali pada sebutan susuhunan. Hal ini disebabkan Amangkurat I sangat menentang islamisasi jawa dan melawan tantangan yang bersifat sakral dan politis terhadap pemerintahanya. Ia memutuskan untuk mematahkan kekuatan mereka (pemimpin agama) sekaligus dengan mengadakan pembunuhan massal. Kemudian ia tidak lagi menggunakan gelar sultan dan sejak saat itu sema raja Mataram disebut susuhunan atau singkatnya sunan, atau sinuwun. Dengan memakai kembali gelar susuhunan ini, dilihat dari sudut pandang kosmologis yang absolute, maka kekuasaan sakral dan sekuler kembali bekerja di satu tangan dan tidak akan dilepaskan raja. Sedangkan ulama kembali menjadi bagian aparat pemerintahan. Sesudah kerajaan Mataram pecah menjadi dua bagian (1755) gelar susuhunan dipakai oleh raja-raja Surakarta sedangkan raja-raja Yogyakarta memakai gelar sultan.
            Yang tidak kalah menarik dalam membicarakan status sosial dari kerabat raja selain yang sudah disebut adalah tentang isteri raja. Pada zaman Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya, isteri raja (permaisuri/prameswari) umumnya bergelar ratu. Dalam sejarah terbukti bahwa sunan atau sultan biasanya mempunyai dua permaisuri. Yang pertama, yang lebih tinggi kedudukunya disebut ratu kulon, sedangkan yang kedua, yang kedudukanya lebih rendah bergelar ratu wetan. Dinamakan demikian mungkin bedasarkan letak kediamanya di dalam kraton. Kraton kulon lebih tinggi kedudukanya daripada ratu wetan dapat diketahui dari kenyataan bahwa puternyalah yang menjadi putera mahkota. Biasanya permaisuri pertama mendapatkan nama baru atau nama kehormatan kencana (emas) sebagai bentunk pemulian dari puteri tersebut yang disesuaikan dengan kedudukan mulianya.
            Disamping permaisuri raja juga mempunyai isteri lain yaitu selir, yang disebut pula dengan istilah gerwo ampeyan, garwa pangrambe, garwo paminggir, atau priyantun dalem. Status sosial selir ini kedudukanya lebih rendah daripada . Dari sekian banyak isteri raja yang ada, maka siapa saja yang berhak menyandang gelar permaisuri semuanya tergantung kehendak raja. Tidak  peduli apakah wanita darah bangsawan atau bukan tetapi seorang raja yang bijakasana akan selalu memperhatikan faktor trah (keturunan),  prestice atau social backing puteri itu. Sehingga pada umumnya kescil sekali kesempatan yang ada pada wanita keturunan orang biasa untuk menjadi permaisuri.
             Selain faktor trah , faktor social backing (dukungan sosial) dari keluarga puteri yang akan dijadikan permaisuri juga sangat besar pengaruhnya. Apabila seorang puteri telah terpilih menjai seorang permaisuri bukan berarti kedudukanya akan tetap kokoh tak tergoyahkan, namun bias saja kedudukan itu digeser atau bahakan hilang sama sekali. Ada tiga sebab seorang permaisuri bias kehilangan kedudukanya. Pertama, pertimbanga bobot prastise. Kedua, pertimbangan faktor kesestiaan, ketiga, pertimbangan faktor etis.
2.      Pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem)
         Sudah jelas bahwa raja beserta kerabatnya (sentana dalem) menempati struktur sosial yang paling tinggi. Dibawah kelompok ini terdapat kelompok abdi dalem atau priyayi, yaitu seluruh pegawai raja dan kerajaan. Kelompok abdi dalem mini umumnya memegang jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan birokrasi kerajaan. Untuk menunjukan status jabatan seseorang dalam sistem administrasi/ birokrasi kerajaan selain memakai gelar kerajaan jabatan dan nama resmi dari jabatan yang dipangkunya. Misalnya gelar adipati diberikan kepada patih, tumenggung diberikan kepada pejabat-pejabat dibawah bupati sampai mantri, dan panji diberikan kepada perwira-perwira perang.
       Tinggi rendahnya status sosial juga dapat dilihat dari pakaian dan tanda kehormatan (misalnya paying dan atribut lain) yang dipakai. Pakaian dan tanda kehormatan tersebut merupakan pakaian kebesaran yang terdiri dari kuluk, dodot, bebed, epek, celana dan payung serta benda-benda pusaka yang bersangkutan. Masing-masing pakaian kebesaran itu bagi tiap derajat tingkatan berbeda, baik bagi patih, bupati, panewu, mantri, atau jajaran memiliki pakaian kebesaran sendiri-sendiri. Pakaian kebesaran itu dipakai pada waktu mengikuti upacara-upacara resmi. Gelar, baik gelar kebangsawanan maupun jabatan juga turut menentukan status seseorang. Untuk gelar-gelar kebangsawanan di bawah raja berturut-turut seperti berikut:
a.      Putera dan puteri raja disebut gusti.
b.      Cucu (wayah) raja disebut bandara.
c.       Cicit (buyut) raja disebut sentana.
d.      Canggah raja disebut abdi sentana.
e.       Wareng raja disebut  abdi  kaluwarga.
 Untuk gelar jabatanpun  diatur sedemikian rupa, gelar jabatan diperuntukan bagi para abdi dalem sentaran yaitu kerabat raja yang menjabat, maupun abdi dalem biasa yaitu pejabat yang berasal dari wong cilik. Dalam kelompok abdi dalem ini terdapat gelar-gelar: adipati, arya, panji, tumenggung, ngabehi, lurah, dan rangga. Adipati diperuntukan untuk patih dan bupati mancanegara maupun bupati pesisir. Arya dan panji untuk abdi dalem prajurit. Tumenggung untuk jabatan bupati. Ngabehi untuk penewu dan mantri. Lurah untuk lurah, dan rangga untuk pejabat setingkat dengan mantri.
1.      Pangeran adipati anom memperoleh sembah (penghormatan) dari pangeran putra, pangeran riya yang lebih muda beserta bawahannya.
2.      Panembahan memperoleh sembah dari pengeran riya sentana yang lebih muda beserta bawahannya.
3.      Pangeran adipati hanya memperoleh sembah dari para sentana yang lebih muda beserta bawahannya.
4.      Pangeran putra dan pangeran memperoleh sembah dari para sentana yang lebih muda beserta bawahannya.
5.      Pengulu diberi salam dari bawahannya.
Dilihat dari besar kecilnya tanah lungguh (apanage), status sosial seorang juga dapat diketahui, misalnya:
1.      Kelompok sentana dalem (keluarga raja) yang memperoleh apanage yaitu:
a.       Ratu eyang           1000 cacah/karya
b.      Ratu ibu               1000 cacah
c.       Ratu kencana       1000 cacah
d.      Adipati anom       8000 cacah
2.      Kelompok abdi dalem, terdiri dari:
a.       Para abdi dalem yang dekat dengan raja, seperti para patih lebet dan patih jawi masing-masing memperoleh lungguh 20.000 cacah.
b.      Kaum elite birokrat menengah, terutama para bupati yang status dan fungsinya menjadi bawahan patih, seperti bupati (wedana) kepara kiwa-tengen dan bupati (wedana) gedong kiwa-tengen masing-masing memperoleh tanah lungguh sebanyak 5000 cacah.
c.       Kaum elite birokrat rendah, seperti jabatan kliwon memperoleh tanah lungguh sebanyak 2000 cacah, penewu 1000 cacah, rangga 250 cacah, demang 200 cacah, dan seterusnya.
Dari tanah yang diperoleh dari raja itu menunjukan status orang yang menerimanya, juga tingkat ekonominya itu, dia berhak untuk memungut hasilnya dari para cacah atau kepala keluarga.
3.      Rakyat biasa (wong cilik, kawula dalem).
Dalam budaya jawa penduduk dikenal sebagai kawula dalem (hamba raja, pelayan raja atau wong cilik). Mereka adalah manusia milik raja seperti kuda, gajah, atau burung perkututnya. Raja juga berhak menentukan nasib kawula dalem. Oleh karena itu sikap penduduk jawa biasanya sangat sopan, rendah hati, sabar dan nrima. Akan tetapi ada kalanya mereka juga dapat naik temperamenya jika perasaannya sudah tidak dapat ditahan karena tekanan atau penghinaan. Inilah gambaran sosok wong cilik atau kawula dalem yang merupakan lapisan terendah dalam struktur sosial masyarakat.
Golongan bawah atau wong cilik dalam masyarakat Jawa sebenarnya sangat heterogen. Mereka terbagi dalam beberapa lapisan berdasarkan tinggi rendahnya pembayaran pajak. Lapisan paling atas adalah sikep  atau kuli kenceng. Dibawah kuli kenceng adalah kuli setengah kenceng atau kuli indung yang menempati rumah di pekarangan orang lain. Dan lapisan terakhir adalah kuli tlosor yang tidak punya apa-apa dan hidupnya menumpang pada petani lain.
Seperti telah disinggung bahwa raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Menurut Anderson, sebagai pusat kekuasaan raja digambarkan sebagai sumber cahaya yang memancar ke daerah sekelilingnya. Semakin jauh dari sumbernya cahaya itu berangsur angsur meredup secara tidak terputus-putus. Perumpamaan konsepsi Jawa ini bukan hanya mengenai struktur Negara saja, tetapi juga mengenai hubungan pusat daerah dan mengenai kedaulatan territorial.
        Berdasarkan konsep kekuasaan tersebut, maka Negara dianggap sebagai suatu rangkaian dari beberapa lingkaran konsentris dengan raja ditengah-tengahnya. Raja adalah sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan, kebijaksanaan dan kemakmuran semuanya terletak padanya. Tetapi harus ada suatu sistem yang teratur untuk menyalurkan semua kebijakan ini kepada rakyat, sistem itu ialah kerajaan.

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN ILMIAH PROSES PEMBUATAN TAPE KETAN DAN TUAK

Kata Pengantar Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada hamba-Nya, khususnya bagi penulis yang telah mampu menyelesaikan laporan ilmiah yang berjudul ‘’ cara membuat Tape Ketan dan Tuak ’’. Dalam menulis laporan ilmiah ini, alhamdulillah penulis tidak mendapatkan kendala – kendala, sehingga penyelesaiannya dapat dikerjakan dengan baik. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Sabaruddin Ahmad S.Pd, selaku guru pembimbing yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan ilmiah ini dapat terselesaikan. Disini kami juga menyampaikan, jika seandainya dalam penulisan laporan ilmiah ini terdapat hal – hal yang tidak sesuai dengan harapan, untuk itu kami dengan senang hati menerima masukan, kritikan dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ilmiah ini. Semoga apa yang diharapkan kami, selaku penulis dapat dicapai dengan sempurna. Singkawang, 14 febuari 2013 Penulis ...

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME

KEMERDEKAAN NEGARA- NEGARA ISLAM DARI IMPERIALISME              Gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Disamping paskan itu, perjuangan mereka juga didukung oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah setempat yang menjadikan “kekuatan” yang dahsyat sehingga mereka dapat melepaskan diri dari belenggu imperialisme. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam bebrapa bentuk kegiatan, seperti (1) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan (2) gerakan pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu. Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitupadatanggal 17 Agustus 1945. Indonesia mer...

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN

PETUNJUK PRAKTIKUM UJI KANDUNGAN BAHAN MAKANAN A.    TUJUAN Mengetahui adanya karbohidrat, lemak, dan protein pada makanan. B.     ALAT DAN BAHAN Alat 1.        Tabung reaksi 2.        Mortar 3.        Plat tetes 4.        Kertas buram 5.        Pembakar Spirtus Bahan 1.        Larutan benedict (Fehling A + Fehling B) 2.        Larutan lugol 3.        Larutan biuret (NaOH 20% + CuSO4 0,1 M) 4.        Berbagai bahan makanan C.     CARA KERJA I.       UJI KARBOHIDRAT (AMILUM) 1.     Hancurkan bahan makanan yang akan diuji menggunakan mortar porselein. 2.     Masukkan masing-masing baha...