Kelebihan Bambang dalam bukunya tersebut adalah kritikannya yang sangat membangun. Kritik-kritik pedas seperti mengatakan bahwa kritisi historiografi Orde Baru yang berpola pikir selalu menganggap bahwa mereka berdiri pada dua kubu yang bersebrangan, padahal dalam kenyataannya, pola karakter mereka sama. Ada lagi tentang realitas objektif masa lalu dan sumber sejarah. Beliau mengatakan hanya gara-gara tidak sampainya metode pemikiran serta epistomologi kepada para pengamat sejarah, sumber-sumber sejarah Indonesia tersebut menjadi tidak sampai.
Kritik tersebut adalah bentuk simpati Bambang terhadap sejarah bangsa ini. Beliau menilai, tidak mungkin ada sebuah bangsa yang lahir dari sejarah yang abu-abu. Bambang menjelaskan untaian sejarah sebuah bangsa lahir dari sebuah perbincangan serta bertukar-pikiran para sejarawan-sejarawan bangsa itu sendiri dalam memahami apa yang telah diwariskan bangsa kepada mereka, yaitu sejarah. Tugas mereka adalah menemukan dan mencaritahu tentang itu dan menuliskannya sebagai bentuk warisan dimasa yang akan datang. Itulah sebabnya di buku ini, Bambang cenderung banyak mencerca dalam maksud mengkritik sebuah masalah yang menjadi batu sandungan para sejarawan Indonesia terhadap sejarah bangsa mereka sendiri.
Dia banyak membuka wacana mengenai tiga masa yang dinilainya sangat mempengaruhi fenomena yang terjadi pada historiografi bangsa kita. Diantaranya adalah zaman kolonialisme belanda, zaman pergerakan, dan zaman orde baru. Menurutnya, ketiga masa tersebut adalah tiga masa yang mana sebuah historiografi menjadi fenomena yang bermasalah. Mengapa? Karena pada masa-masa itu terdapat banyaknya ketimpangan idealisme yang sedikit tidaknya mempengaruhi penulisan sejarah pada masa itu.
Seperti contohnya era Orde Baru. Di masa Orde Baru, kultus penulisan sejarah menggarisbawahi kekuatan militer Soeharto yang begitu superior, dan tak lupa juga rezim Soeharto yang begitu mencekak dan mengurung bangsa Indonesia. banyaknya spekulasi serta pemikiran yang menyudutkan Soeharto, dan sebaliknya. Sejarah dipakai untuk melenggangkan kekuasaan Soeharto semata, dan barangsiapa yang menuliskan sejarah yang berisikan kecaman serta kritikan kepada penguasa maka akan langsung ditindaklanjut. Gambaran masa tersebut mungkin bisa memberikan pemahaman bahwa begitu berpengaruhnya sebuah tirani dalam memainkan peran bagi kepenulisan sejarah bangsa ini.
Bambang seolah menyadari bahwa sesuatu yang kurang dari historiografi indonesia adalah murni kesalahan pemahaman yang disertai oleh pengetahuan tentang keabsahan sejarah itu sendiri. Beliau sendiri tidak memungkiri bahwa kesalahan dalam memahami sejarah itu wajar adanya, namun tidak sampai hingga kita benar-benar termerger oleh kesalahan tersebut sehingga apa yang menjadi nilai sejarah tidak tersampaikan dengan baik.
Materi-materi yang disajikan Bambang dalam bukunya cukup variatif, sehingga pembaca mampu memahami apa yang tertinggal atau terlupakan dari bagian sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini. Salah satu bab yang menarik tentu saja ada pada bab pertama, kesadaran dekonstruktif dan historiografi indonesiasentris. Bab itu membeberkan secara rinci bagaimana bisa sebuah perjalanan sejarah tidak tertulis sebagaimana mestinya, hanya karena masalah-masalah yang terjadi pada masa kepenulisan tersebut berlangsung.
Selain di dominasi oleh kritik sumber, Bambang juga membuka banyak wacana tentang pemahaman kembali unsur-unsur yang telah ama membangun kepenulisan sejarah bangsa ini, yaitu nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa nasionalisme telah menjadi bagian penting dalam kepenulisan sejarah Indonesia, terutama pada masa pergerakan nasional. Paham tersebut ternyata sangat mempengaruhi historiografi masa pergerakan nasional. Dampak luar biasanya adalah isme tersebut berhasil membangkitkan semangat persatuan berbagai suku dan umat beragama, untuk sebuah cita-cita yaitu Indonesia Merdeka. Idealisme tersebut berhasil menciptakan semangat baru dalam bergerak melawan kolonialisme, bahkan berhasil memerdekakan Indonesia sebagai negara yang merdeka, membebaskan dirinya dari kekangan kolonialisme Belanda, dan diakui kedaulatannya selayaknya sebuah negara.
Namun siapa sangka dampak luar biasa tersebut ternyata juga punya celah yang buruk. Disisi lain kita memandang, kata Bambang, ada sebuah celah dimana nasionalisme terlalu menghakimi bahwa dengan semangat persatuan, bangsa ini mampu merdeka. Tetapi nyatanya setelah merdeka, bangsa ini seakan belum siap merdeka sampai harus diserang Belanda untuk kedua kalinya. Hal yang rapuh di dalam semangat perjuangan nasionalisme itu sendiri terletak pada anti-klimaksnya, yaitu setelah mencapai suatu kemerdekaan, lantas apa yang harus dilakukan? Apakah setiap rakyat mengerti arti kemerdekaan? Ataukah mereka hanya paham bahwa merdeka adalah cukup dengan tidak melihat wajah penjajah lagi di lingkungan mereka? Tidak.
Kronis-kronis inilah yang dimunculkan oleh Bambang sebagai wacana untuk dijadikan pelajaran di dalam beberapa bagian di buku ini. Materi tentang kronis yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa ini menjadi wacana yang beiau harapkan kita bisa mengambil sesuatu dari apa yang sebenarnya terjadi pada historiografi bangsa ini. Kelemahan serta kelebihan kepenulisan sejarah hendaknya dikaji ulang untuk ditemukan beberapa hipotesa demi mendekatkan kita kepada objektifitas yang kita tahu, mendekati kebenaran yang sebenarnya, bukan kita berkutat kepada subjektifitas semata dengan mendahulukan kritik sumber, yang saya maksud disini adalah pengkajian konsep pemikirannya saja. Jika hal itu di dahulukan maka bisa dipastikan bahwa kita hanya berkutat kepada pemikiran itu semata, tidak berusaha mencari esensi lainnya yang masih banyak terkandung di dalam penulisan sejarah tersebut.
Bagian yang kurang dari buku ini adalah terlalu bergantung kepada konsep pemikiran Bambang semata. Secara beliau adalah Dosen yang mendalami Ilmu Sejarah, pemikiran serta perhatian beliau terhadap historiografi indonesia semuanya diceritakan dalam buku berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! ini. Secara tidak langsung kita menemukan subjektifitas yang tinggi dari ketergantungan beliau dengan cara pandangnya dalam menjelaskan materi buku ini. Meski pada bagian pengantar beliau telah berpesan bahwa isi buku tersebut adalah buah pikirannya mengenai rasa simpati kepada perjalanan historiografi Indonesia, tetap saja bagian yang terlalu mencondongkan pemikirannya itu menjadi bentuk subjektif yang terasa terlalu berat bagi pembaca.
Selain itu, buku ini juga kurang dari sisi penjelasannya. Mungkin karena terlalu mengutamakan konsep berfikir supaya pembaca bisa memahami isi buku secara umum, tetapi penjelasan tentang cara itu sendiri penulis nilai terlalu bertele-tele. Ada beberapa bagian yang seharusnya di-skip demi mencapai kepahaman mengenai maksud yang disampaikan oleh beliau sebagaimana yang beliau inginkan dari pembaca buku ini. Sebenarnya jika merujuk kepada bagian pengantar penulis dan pengantar penerbit, disitu dibeberkan secara umum sekali mengenai materi apa yang sebenarnya ingin Bambang sampaikan kepada pembaca. Namun jika ditinjau dari sisi efektifitas, kebanyakan pembaca sering melewatkan kedua bagian tersebut karena dinilai tidak begitu berpengaruh bagi keseluruhan materi buku. Akibatnya bagi pembaca umum, mereka kurang mendapatkan pemahaman secara umum mengenai pembicaraan apa yang sebenarnya disampaikan oleh Bambang Purwanto ini. Oleh karena itu sebagai sebuah koreksi, adalah pada bab-bab awal buku sebaiknya dimunculkan terlebih dahulu wacana apa yang sebenarnya diangkat buku ini sehingga memudahkan pembaca umum untuk memahami materi keseluruhan buku tersebut.
Kritik tersebut adalah bentuk simpati Bambang terhadap sejarah bangsa ini. Beliau menilai, tidak mungkin ada sebuah bangsa yang lahir dari sejarah yang abu-abu. Bambang menjelaskan untaian sejarah sebuah bangsa lahir dari sebuah perbincangan serta bertukar-pikiran para sejarawan-sejarawan bangsa itu sendiri dalam memahami apa yang telah diwariskan bangsa kepada mereka, yaitu sejarah. Tugas mereka adalah menemukan dan mencaritahu tentang itu dan menuliskannya sebagai bentuk warisan dimasa yang akan datang. Itulah sebabnya di buku ini, Bambang cenderung banyak mencerca dalam maksud mengkritik sebuah masalah yang menjadi batu sandungan para sejarawan Indonesia terhadap sejarah bangsa mereka sendiri.
Dia banyak membuka wacana mengenai tiga masa yang dinilainya sangat mempengaruhi fenomena yang terjadi pada historiografi bangsa kita. Diantaranya adalah zaman kolonialisme belanda, zaman pergerakan, dan zaman orde baru. Menurutnya, ketiga masa tersebut adalah tiga masa yang mana sebuah historiografi menjadi fenomena yang bermasalah. Mengapa? Karena pada masa-masa itu terdapat banyaknya ketimpangan idealisme yang sedikit tidaknya mempengaruhi penulisan sejarah pada masa itu.
Seperti contohnya era Orde Baru. Di masa Orde Baru, kultus penulisan sejarah menggarisbawahi kekuatan militer Soeharto yang begitu superior, dan tak lupa juga rezim Soeharto yang begitu mencekak dan mengurung bangsa Indonesia. banyaknya spekulasi serta pemikiran yang menyudutkan Soeharto, dan sebaliknya. Sejarah dipakai untuk melenggangkan kekuasaan Soeharto semata, dan barangsiapa yang menuliskan sejarah yang berisikan kecaman serta kritikan kepada penguasa maka akan langsung ditindaklanjut. Gambaran masa tersebut mungkin bisa memberikan pemahaman bahwa begitu berpengaruhnya sebuah tirani dalam memainkan peran bagi kepenulisan sejarah bangsa ini.
Bambang seolah menyadari bahwa sesuatu yang kurang dari historiografi indonesia adalah murni kesalahan pemahaman yang disertai oleh pengetahuan tentang keabsahan sejarah itu sendiri. Beliau sendiri tidak memungkiri bahwa kesalahan dalam memahami sejarah itu wajar adanya, namun tidak sampai hingga kita benar-benar termerger oleh kesalahan tersebut sehingga apa yang menjadi nilai sejarah tidak tersampaikan dengan baik.
Materi-materi yang disajikan Bambang dalam bukunya cukup variatif, sehingga pembaca mampu memahami apa yang tertinggal atau terlupakan dari bagian sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini. Salah satu bab yang menarik tentu saja ada pada bab pertama, kesadaran dekonstruktif dan historiografi indonesiasentris. Bab itu membeberkan secara rinci bagaimana bisa sebuah perjalanan sejarah tidak tertulis sebagaimana mestinya, hanya karena masalah-masalah yang terjadi pada masa kepenulisan tersebut berlangsung.
Selain di dominasi oleh kritik sumber, Bambang juga membuka banyak wacana tentang pemahaman kembali unsur-unsur yang telah ama membangun kepenulisan sejarah bangsa ini, yaitu nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa nasionalisme telah menjadi bagian penting dalam kepenulisan sejarah Indonesia, terutama pada masa pergerakan nasional. Paham tersebut ternyata sangat mempengaruhi historiografi masa pergerakan nasional. Dampak luar biasanya adalah isme tersebut berhasil membangkitkan semangat persatuan berbagai suku dan umat beragama, untuk sebuah cita-cita yaitu Indonesia Merdeka. Idealisme tersebut berhasil menciptakan semangat baru dalam bergerak melawan kolonialisme, bahkan berhasil memerdekakan Indonesia sebagai negara yang merdeka, membebaskan dirinya dari kekangan kolonialisme Belanda, dan diakui kedaulatannya selayaknya sebuah negara.
Namun siapa sangka dampak luar biasa tersebut ternyata juga punya celah yang buruk. Disisi lain kita memandang, kata Bambang, ada sebuah celah dimana nasionalisme terlalu menghakimi bahwa dengan semangat persatuan, bangsa ini mampu merdeka. Tetapi nyatanya setelah merdeka, bangsa ini seakan belum siap merdeka sampai harus diserang Belanda untuk kedua kalinya. Hal yang rapuh di dalam semangat perjuangan nasionalisme itu sendiri terletak pada anti-klimaksnya, yaitu setelah mencapai suatu kemerdekaan, lantas apa yang harus dilakukan? Apakah setiap rakyat mengerti arti kemerdekaan? Ataukah mereka hanya paham bahwa merdeka adalah cukup dengan tidak melihat wajah penjajah lagi di lingkungan mereka? Tidak.
Kronis-kronis inilah yang dimunculkan oleh Bambang sebagai wacana untuk dijadikan pelajaran di dalam beberapa bagian di buku ini. Materi tentang kronis yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa ini menjadi wacana yang beiau harapkan kita bisa mengambil sesuatu dari apa yang sebenarnya terjadi pada historiografi bangsa ini. Kelemahan serta kelebihan kepenulisan sejarah hendaknya dikaji ulang untuk ditemukan beberapa hipotesa demi mendekatkan kita kepada objektifitas yang kita tahu, mendekati kebenaran yang sebenarnya, bukan kita berkutat kepada subjektifitas semata dengan mendahulukan kritik sumber, yang saya maksud disini adalah pengkajian konsep pemikirannya saja. Jika hal itu di dahulukan maka bisa dipastikan bahwa kita hanya berkutat kepada pemikiran itu semata, tidak berusaha mencari esensi lainnya yang masih banyak terkandung di dalam penulisan sejarah tersebut.
Bagian yang kurang dari buku ini adalah terlalu bergantung kepada konsep pemikiran Bambang semata. Secara beliau adalah Dosen yang mendalami Ilmu Sejarah, pemikiran serta perhatian beliau terhadap historiografi indonesia semuanya diceritakan dalam buku berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?! ini. Secara tidak langsung kita menemukan subjektifitas yang tinggi dari ketergantungan beliau dengan cara pandangnya dalam menjelaskan materi buku ini. Meski pada bagian pengantar beliau telah berpesan bahwa isi buku tersebut adalah buah pikirannya mengenai rasa simpati kepada perjalanan historiografi Indonesia, tetap saja bagian yang terlalu mencondongkan pemikirannya itu menjadi bentuk subjektif yang terasa terlalu berat bagi pembaca.
Selain itu, buku ini juga kurang dari sisi penjelasannya. Mungkin karena terlalu mengutamakan konsep berfikir supaya pembaca bisa memahami isi buku secara umum, tetapi penjelasan tentang cara itu sendiri penulis nilai terlalu bertele-tele. Ada beberapa bagian yang seharusnya di-skip demi mencapai kepahaman mengenai maksud yang disampaikan oleh beliau sebagaimana yang beliau inginkan dari pembaca buku ini. Sebenarnya jika merujuk kepada bagian pengantar penulis dan pengantar penerbit, disitu dibeberkan secara umum sekali mengenai materi apa yang sebenarnya ingin Bambang sampaikan kepada pembaca. Namun jika ditinjau dari sisi efektifitas, kebanyakan pembaca sering melewatkan kedua bagian tersebut karena dinilai tidak begitu berpengaruh bagi keseluruhan materi buku. Akibatnya bagi pembaca umum, mereka kurang mendapatkan pemahaman secara umum mengenai pembicaraan apa yang sebenarnya disampaikan oleh Bambang Purwanto ini. Oleh karena itu sebagai sebuah koreksi, adalah pada bab-bab awal buku sebaiknya dimunculkan terlebih dahulu wacana apa yang sebenarnya diangkat buku ini sehingga memudahkan pembaca umum untuk memahami materi keseluruhan buku tersebut.
Comments
Post a Comment