Judul buku : Bisnis dan Politik “Kebijaksanaan
Ekonomi Indonesia 1950 - 1980”
Penulis buku : Yahya A. Muhaimin
Jumlah halaman : viii + 296 halaman
Ukuran : 22 x 14,5 cm
Penerbit : LP3ES
Tahun terbit : 1990 (cetakan pertama)
Buku yang berjudul Bisnis dan Politik “Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950 – 1980” merupakan karya dari Yahya A. Muhaimin. Buku ini merupakan cetakan pertama yang diterbitkan oleh LP3ES. Di dalamnya membahas mengenai perkembangan para pengusaha klien pribumi yang lahir sebagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia semenjak masa-masa permulaan kemerdekaan hingga masa Orde Baru.
Buku ini terdiri dari enam bab, yang mana bab pertama berisikan tentang pendahuluan, kemudian bab kedua memaparkan mengenai kebijaksanaan ekonomi, bab ketiga menjabarkan mengenai pelaksanaan kebijaksanaan, bab keempat menjabarkan mengenai berbagai konsekuensi kebijaksanaan, bab kelima menjabarkan mengenai perubahan dan kesinambungan, dan terakhir bab keenam adalah kesimpulan.
Ringkasan
Bab II membahas mengenai kebijaksanaan ekonomi yang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia sejak masa sesudah revolusi kemerdekaan, yakni sejak awal 1950-an, kemudian masa Demokrasi Terpimpin 1960 – 1965 di bawah Soekarno sampai pada masa Orde Baru. Secara garis besar mengenai teori pembangunan ekonomi telah dijabarkan oleh ahli-ahli Indonesia. Model yang pertama yakni, menekankan pembentukan model yang harus melebihi pertambahan penduduk, terutama pertambahan angkatan kerjanya, agar perekonomian dapat mencapai suatu tingkat pertumbuhan yang ideal, sebagaimana ditujukkan oleh beberapa indikator seperti GNP per kapita atau GDP. Model ini menekankan pentingnya pengendalian pertambahan penduduk dengan jalan menurunkan laju pertumbuhannya sampai di bawah tingkat pertumbuhan pembentukan modal. Upaya mempercepat pembentukan modal ekonomi itu didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam tahap pertumbuhan yang pertama-tama diperlukan adalah suatu big push untuk mengatasi suatu lingkaran keterbelakangan dan tekanan pertumbuhan penduduk seperti yang dikemukakan dalam teori Malthus. Pembahasan dalam bab II dibagi menjadi tiga periode utama : Sistem Parlementer 1950 – 1957; Demokrasi Terpimpin 1959 – 1965; dan Orde Baru 1967 sampai 1969/1980.
Periode Demokrasi Parlementer 1950 – 1957, pada periode ini pandangan ekonomi yang dominan dari para pemimpin politik Indonesia disebut sebagai “ekonomi nasional” atau nasionalisme ekonomi, karena pada umumnya negara-negara yang baru merdeka mempunyai satu dorongan yang kuat untuk memperbesar peranan ekonomi warganegaranya, yakni penduduk pribumi, dalam pemilikan dan penguasaan aset produktif, di luar pertanian subsistensi. Selain itu keinginan untuk meningkatkan berbagai keuntungan dan prestise yang mereka peroleh dari kegiatan-kegiatan ekonomi.
Pemerintah baru Indonesia memberlakukan satu Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sangat nasionalistis, sebagai upaya untuk mengubah struktur ekonomi kolonial. Dalam pelaksanaan rencana ini pemerintah menempuh kebijaksanaan ekonomi yang sangat ambisius yang dikenal dengan sebutan Program Benteng, yakni sebuah program yang secara eksplisit berusaha melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi serta menekankan persaingan asing dan Cina, juga untuk memperkecil ketergantungan Indonesia terhadap pengaruh ekonomi asing.
Periode Demokrasi Terpimpin 1959 – 1965, pada periode ini dikeluarkan program Deklarasi Ekonomi (Dekon) dan Peraturan 26 Mei 1963, ini, merupakan upaya yang berani untuk menyeimbangkan anggaran nasional menghapuskan banyak pengawasan harga, memberikan otonomi yang besar kepada perusahaan-perusahaan negara dan menyerahkan perusahan-perusahaan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah. Dalam fase pertama Demokrasi Terpimpin (1960-1963) peran elit Angkatan Darat Indonesia yang dipengaruhi oleh paham neo-Keynesian tampak jelas, dalam fase kedua (1963-1965) ditandai oleh peran sentral yang dimainkan oleh PKI dalam kehidupan politik.
Periode Orde Baru, memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, yang memberikan kepada para pejabat pemerintah dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan alokasi modal, kredit, konsensi dan lisensi bagi klien-klien mereka. Pada masa Orde Baru perekonomian berkembang dengan cepat serta pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat mengesankan dan dalam waktu yang bersamaan pengusaha-pengusaha klien berkembang dengan pesat pula.
Bab III membahas mengenai bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan itu dilaksanakan oleh para pelaksana kebijaksanaan. Yang dimaksud dengan “pelaksana kebijaksanaan” adalah orang-orang yang berhak atau berwenang untuk menafsirkan, melaksanakan serta mengimplementasikan undang-undang kebijaksanaan, ketentuan dan peraturan. Orang-orang atau kelompok ini dapat juga melahirkan gagasan-gagasan yang pada akhirnya menjadi kebijaksanaan baru dan bahkan tidak jarang mereka bertindak pula sebagai pembuat kebijaksanaan. Dalam bab ini, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu dibagi kedalam tiga periode.
Periode Demokrasi Parlementer, 1950-1957. Pada periode ini, kekuasaan politik berada di tangan serentetan kabinet parlementer yang mencerminkan pengawasan dan pengaruh partai-partai politik yang besar sebagai satuan-satuan formal dari kegiatan politik. Ciri khas dari periode ini adalah sering terjadinya pergantian kabinet. Dalam periode ini terdapat kebijaksanaan perekonomian yang bernama program Benteng. Sistem Benteng merupakan sistem yang memberikan kredit, modal, prevelese-prevelese khusus yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia tertentu, yakni dari golongan pribumi, melalui suatu sistem yang dinamakan sistem Benteng.
Kegagalan program Benteng pada tahun 1957 telah mengakibatkan dipercepatnya proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Menurut Anspach, berakhirnya program Benteng itu telah membantu menciptakan suatu iklim opini baru yang menguntungkan bagi nasionalisasi langsung terhadap perusahaan-perusahaan asing yang dianggap menghambat lahirnya pengusaha-pengusaha Indonesia. Berakhirnya program Benteng ini juga telah melahirkan perasaan anti Cina.
Periode Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Pada periode Demokrasi Terpimpin terdapat dua peristiwa penting yang pertama, gerakan kedaerahan yang menentang pemerintah pusat di Jakarta, yang mencapai puncaknya dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi dan pemberontakan PRRI di Sumatera, dua pemberontakan yang ada kaitannya satu sama lain. Dalam tempo empat bulan setelah diumumkannya PRRI pada bulan Januari 1958, pemerintah pusat dapat menekan pemberontakan itu hingga menjadi kegiatan gerilya saja. Peristiwa lainnya adalah pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda pada bulan Desember 1957, setelah kekalahan Indonesia dalam masalah Irian Barat di PBB. Pada periode ini terdapat suatu program pembangunan yang bernama Program Pembangunan Semesta.
Perusahaan-perusahaan negara saat itu telah menempati kedudukan yang sentral dalam perekonomian. Hal ini sebenarnya untuk menggantikan perusahaan-perusahaan barat, bukan Cina dengan perusahaan-perusahaan negara. Dengan kata lain, Sistem Ekonomi Terpimpin dimaksudkan untuk mengubah sistem Kapitalis menjadi etatisme dengan mengadakan perubahan-perubahan struktural. Tetapi dalam kenyataannya perusahaan yang dimaksudkan tidak pernah terjadi atau jika terjadi juga hanya dalam tahap-tahap terakhir dan terbatas, seperti yang berwujud aksi sepihak yang dilakukan oleh organisasi petani bentukan komunis, Baris Tani Indonesia (BTI) pada awal 1965.
Periode Orde Baru 1967-1980. Dalam pemerintahan Orde Baru pemerintah harus menghadapi konflik yang disertai dengan kekerasan, yang terus menerus berlangsung antara gerakan-gerakan politik yang berlandaskan massa rakyat yakni partai-partai komunis, nasionalis dan keagamaan, mengatasi masalah ekonomi dan keuangan yang parah serta laju inflasi yang tak terkendalikan lagi. Pada periode ini terdapat program Repelita, (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita direncanakan sebagai pembangunan yang berupaya untuk membangun manusia seutuhnya. Hal ini dirancang oleh pemerintah Orde Baru untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang disampaikan baik secara implisit maupun ekspilisit dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 1973 dan awal tahun 1974. Repelita I dan II telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang boleh dikatakan sesuai dengan rencana.
Pada bab IV dipaparkan tentang hasil-hasil atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijaksanaan tersebut. Untuk memudahkan pembahasan, dibagi lagi menjadi tiga tema pokok yaitu; Pertama, golongan pedagang dan pengusaha pribumi tidak mampu memanfaatkan subsidi dan kredit-kredit yang ditawarkan oleh kebijaksanaan benteng, akibatnya kedudukan pedagang dan pengusaha pribumi merosot sejak diberlakukannya kebijaksaan benteng. Kedua, sekelompok pengusaha yang sangat tergantung kepada patronase pemerintah dan partai politik telah muncul sejak tahun 1950-an, yang berkembang dari berbagai kegiatan ekonomi dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan. Pola operasi pengusaha-pengusaha itu berubah terus sebagai akibat dari perubahan-perubahan dalam kondisi dunia usaha yang dipanguruhi oleh kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Ketiga, perubahan-perubahan dalam dunia usaha erat kaitannya dengan aparat birokrasi Indonesia yang patrimonial pada ketiga periode yang sudah dijelaskan diatas.
Periode Demokrasi Sistem Parlementer, 1950-1957. Kebijaksanaan benteng sebagai salah satuan bagian integral dari Rencana Urgensi Perekonomian yang dimaksudkan untuk memperkenalkan inovasi-inovasi penting yang mendorong suatu proses pertumbuhan ekonomi yang spontan, dilaksanakan dengan memberikan kredit, modal dan dan hak-hak istimewa khusus kepada pengusaha-pengusaha Indonesia tertentu, yakni dari golongan pribumi. Dengan harapan pengusaha pribumi dapat berkembang dengan kekuatan sendiri dan dapat memperluas kegiatan dari sektor impor ke kegiatan ekonomi lainnya sehingga terlahir kelas menengah pengusaha pribumi karena pada masa itu pengusaha pribumi adalah kelas rendah dalam hal pendapatan. Selain itu pengusaha pribumi diharapkan juga akan menggantikan fungsi dan kedudukan orang-orang Belanda dan Cina, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa pengusaha-pengusaha pribumi merupakan segmen perekonomian yang paling rapuh.
Periode Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Penerapan “Ekonomi Terpimpin”, telah menimbulkan perubahan-perubahan besar yang menyulitkan kedudukan golongan pengusaha pribumi. Perusahaan-perusahaan besar negara yang paling berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi ditempatkan di bawah pengasawan elit militer dan partai yang menentukan alokasi lisensi impor, kontrak-kontrak pemerintah, devisa, kredit luar negeri, perminyakan dan perhutannan.
Periode Orde Baru, 1967-1980. Kegiatan-kegiatan pengusaha klien Orde Baru bergantung pada kekuatan politik golongan pribumi dan wewenang birokrasi untuk mengontrol monopoli, kredit negara, kontak dari pemerintah dan masih banyak lagi. Merupakan suatau kontrol politik atas akses menuju pasar, suatu bentuk kekuasaan ekonomi yang khas merkantilis.
Pada bab V dijelaskan bahwa terdapat tiga ketgori pengusaha pribumi yang tergolong elit di Indonesia. Implikasi kebijaksanaan dengan menganalisa hubungan antara pengusaha pribumi dengan sistem birokrasi dan elit birokrasi yang memiliki kekuasaan dalam lingkungan sosio-kultural.
Pengusaha-pengusaha klien dari periode benteng dan demokrasi terpimpin menjadi tokoh bisnis terkemuka di tingkat nasional. Hal ini digambarkan lewat operasi hubungan patron klien dalam bisnis selama masa orde baru yang telah dijadikan spread-head dalam pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan protektif ekonomi Indonesia sampai tahun 1974 hampir seluruhnya terbatas pada sektor impor. Kebijaksanaan protektif ini justru menghasilkan penguasaha-pengusaha klien bukan wiraswasta. Dikarenakan subsidi dan konsesi yang diperuntukkan bagi pengusaha pribumi jatuh tangan para calo yang nantinya dijual ke pengusaha pribumi dan Cina. Ketika kekuasaan beralih ke elit politik baru, konsesi juga dialihkan kepada klien baru dengan artian jatuhnya pula kelompok usaha yang disisihkan.
Periode Benteng. Awal 1920-an, sejumlah pedagang dan produsen komoditi asli mulai berkembang menjadi suatu kelas pengusaha. Program benteng, harus mampu bersaing dengan sanak saudara dan kawan para pejabat dan tokoh partai. Program benteng dihentikan karena mereka hanya merupakan calo lisensi impor dan karena itu kemungkinan terbuka importir-importir Cina untuk memperoleh lisensi.
Simbiosis Politik-Bisnis. Ciri dari periode Benteng adalah masuknya para pejabat dan mantan pejabat ke dalam dunia bisnis. Hal ini merupakan hak istimewa untuk memperoleh konsesi, kredit, lisensi, kontrak dan sumber-sumber lain yang merupakan modal bagi pengusaha pribumi.
Pengusaha Klien. Patronase Negara dan pemberian proteksi di bidang impor pada sistem historische blangen Belanda. Secara umum, kebijaksanaan perusahaan-perusahaan memperjualbelikan fasilitas. Praktek ini mempunyai dua efek yang merugikan bisnis Indonesia, yaitu lahirnya persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kesan dalam pikiran pengusaha Indonesia bahwa ketrampilan kewiraswastaan dan kelihaian berusaha merupakan sifat kurang penting yang berhubungan dengan kekuasaan.
Kebanyakan “pengusaha aktentas” (calo) merupakan orang yang mempunyai hubungan dengan partai dan biasanya mempunyai latar belakang sebagai pejabat dan bukan sebagai pengusaha. Salah satu diantaranya adalah Haji Soedarpo Sastrosatomo. Ia mendirikan NV Soedarpo Corporation sebuah perusahaan impor-ekspor yang berhasil membuat lisensi dari program benteng. Bisnis merupakan hal yang mudah karena “mengimpor berarti memperoleh lisensi dan mudah sekali untuk memperoleh kredit dari bank”. Menurutnya, periode 1950-1958, merupakan periode dimana para pengusaha nasional mendapat kesempatan untuk menghimpun modal melalui pemanfaatan lisensi, kurs mata uang asing yang ditetapkan secara artificial dan futures market.
Periode Demokrasi Terpimpin. Dalam periode demokrasi terpimpin, pusat patronase politik yang lama ambruk. Muncullah dua golongan utama yang memperebutkan kekuasaan politik: militer dan PKI. Perkembangan paling penting adalah munculnya golongan militer sebagai patron-patron penting dan di dalam dunia bisnis. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin hubungan antara patron politik birokrasi dan pengusaha klien dimanifestasikan dalam pembagian konsesi kepada calo atau pengusaha pribumi dengan imbalan sumbangan keuangan untuk Dana Perjuangan Irian Barat.
Periode Orde Baru. Berakhirnya kekuasaan politik Presiden Soekarno tahun 1966, disusul ambruknya sistem Demokrasi Terpimpin mengakibatkan golongan militer menduduki posisi yang dominan dalam kehidupan politik. Jatuhnya Soekarno dan sistemnya, golongan militer dapat memasuki dan mendominasi birokrasi sipil sepenuhnya. Kebanyakan pengusaha dan kelompok usaha mendapat perlakuan istimewa dalam memperoleh konsesi-konsesi yang ditawarkan oleh kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang tertuang dalam UU Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Perusahaan-perusahaan Indonesia didirikan atas kerjasama antara kekuasaan politik dan wewenang birokrasi pribumi, teknologi dan modal asing. Sebagai imbalan saham dalam perusahaan, mitra pribumi menyediakan konsesi dan lisensi artinya akses menuju pasar.
Kelebihan buku:
· Secara tidak langsung buku ini menggambarkan keadaan dan kondisi praktek ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha ekonomi pada saat itu. Dimana banyak pengusaha-pengusaha berusaha menaikkan aspek ekonomi negara Indonesia dan mengesampingkan perekonomian. Ini terlihat dalam kalimatnya “para kapitalis semu tersebut merupakan pengusaha klien. Mereka adalah individu dan perusahaan yang bergantung pada penguasa—yang menjadi patron mereka—untuk dapat melakukan kegiatan bisnisnya (hlm 265)”.
· Buku “Bisnis dan Politik kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980” ini memberi prespektif berbeda mengenai perkembangan ekonomi Indonesia yang dikorelasikan dengan dinamika politik sehingga bisa terkuak beberapa beberapa fakta maupun analisis mengenai hal tersebut.
· Buku “Bisnis dan Politik kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980” ini juga banyak menjelaskan tentang perkembangan serta kemunduran para pelaku bisnis di Indonesia melalui sudut pandang yang berbeda. Selain itu bahasa yang digunakan mudah dicerna oleh orang awam meski banyak istilah asing .
Kekurangan buku:
· Alur yang ada di buku ini terlalu berbelit-belit dalam memaparkan suatu masalah, tidak langsung to the point ke permasalahan. Hal ini membuat pembaca bingung dan sulit untuk memahami isi buku tersebut.
· Buku ini juga terlalu subyektif. Kemungkinan hal ini terjadi karena latar belakang penulis yang seorang politikus. Hal tersebut mempengaruhi esensi buku yang cenderung lebih dominan kearah politik.
· Pembahasan dalam buku ini sendiri terlalu melebar dari sub bab yang ada (judul).
Ekonomi Indonesia 1950 - 1980”
Penulis buku : Yahya A. Muhaimin
Jumlah halaman : viii + 296 halaman
Ukuran : 22 x 14,5 cm
Penerbit : LP3ES
Tahun terbit : 1990 (cetakan pertama)
Buku yang berjudul Bisnis dan Politik “Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950 – 1980” merupakan karya dari Yahya A. Muhaimin. Buku ini merupakan cetakan pertama yang diterbitkan oleh LP3ES. Di dalamnya membahas mengenai perkembangan para pengusaha klien pribumi yang lahir sebagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia semenjak masa-masa permulaan kemerdekaan hingga masa Orde Baru.
Buku ini terdiri dari enam bab, yang mana bab pertama berisikan tentang pendahuluan, kemudian bab kedua memaparkan mengenai kebijaksanaan ekonomi, bab ketiga menjabarkan mengenai pelaksanaan kebijaksanaan, bab keempat menjabarkan mengenai berbagai konsekuensi kebijaksanaan, bab kelima menjabarkan mengenai perubahan dan kesinambungan, dan terakhir bab keenam adalah kesimpulan.
Ringkasan
Bab II membahas mengenai kebijaksanaan ekonomi yang telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia sejak masa sesudah revolusi kemerdekaan, yakni sejak awal 1950-an, kemudian masa Demokrasi Terpimpin 1960 – 1965 di bawah Soekarno sampai pada masa Orde Baru. Secara garis besar mengenai teori pembangunan ekonomi telah dijabarkan oleh ahli-ahli Indonesia. Model yang pertama yakni, menekankan pembentukan model yang harus melebihi pertambahan penduduk, terutama pertambahan angkatan kerjanya, agar perekonomian dapat mencapai suatu tingkat pertumbuhan yang ideal, sebagaimana ditujukkan oleh beberapa indikator seperti GNP per kapita atau GDP. Model ini menekankan pentingnya pengendalian pertambahan penduduk dengan jalan menurunkan laju pertumbuhannya sampai di bawah tingkat pertumbuhan pembentukan modal. Upaya mempercepat pembentukan modal ekonomi itu didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam tahap pertumbuhan yang pertama-tama diperlukan adalah suatu big push untuk mengatasi suatu lingkaran keterbelakangan dan tekanan pertumbuhan penduduk seperti yang dikemukakan dalam teori Malthus. Pembahasan dalam bab II dibagi menjadi tiga periode utama : Sistem Parlementer 1950 – 1957; Demokrasi Terpimpin 1959 – 1965; dan Orde Baru 1967 sampai 1969/1980.
Periode Demokrasi Parlementer 1950 – 1957, pada periode ini pandangan ekonomi yang dominan dari para pemimpin politik Indonesia disebut sebagai “ekonomi nasional” atau nasionalisme ekonomi, karena pada umumnya negara-negara yang baru merdeka mempunyai satu dorongan yang kuat untuk memperbesar peranan ekonomi warganegaranya, yakni penduduk pribumi, dalam pemilikan dan penguasaan aset produktif, di luar pertanian subsistensi. Selain itu keinginan untuk meningkatkan berbagai keuntungan dan prestise yang mereka peroleh dari kegiatan-kegiatan ekonomi.
Pemerintah baru Indonesia memberlakukan satu Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sangat nasionalistis, sebagai upaya untuk mengubah struktur ekonomi kolonial. Dalam pelaksanaan rencana ini pemerintah menempuh kebijaksanaan ekonomi yang sangat ambisius yang dikenal dengan sebutan Program Benteng, yakni sebuah program yang secara eksplisit berusaha melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi serta menekankan persaingan asing dan Cina, juga untuk memperkecil ketergantungan Indonesia terhadap pengaruh ekonomi asing.
Periode Demokrasi Terpimpin 1959 – 1965, pada periode ini dikeluarkan program Deklarasi Ekonomi (Dekon) dan Peraturan 26 Mei 1963, ini, merupakan upaya yang berani untuk menyeimbangkan anggaran nasional menghapuskan banyak pengawasan harga, memberikan otonomi yang besar kepada perusahaan-perusahaan negara dan menyerahkan perusahan-perusahaan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah. Dalam fase pertama Demokrasi Terpimpin (1960-1963) peran elit Angkatan Darat Indonesia yang dipengaruhi oleh paham neo-Keynesian tampak jelas, dalam fase kedua (1963-1965) ditandai oleh peran sentral yang dimainkan oleh PKI dalam kehidupan politik.
Periode Orde Baru, memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, yang memberikan kepada para pejabat pemerintah dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan dan birokrat, wewenang yang besar dalam menentukan alokasi modal, kredit, konsensi dan lisensi bagi klien-klien mereka. Pada masa Orde Baru perekonomian berkembang dengan cepat serta pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat mengesankan dan dalam waktu yang bersamaan pengusaha-pengusaha klien berkembang dengan pesat pula.
Bab III membahas mengenai bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan itu dilaksanakan oleh para pelaksana kebijaksanaan. Yang dimaksud dengan “pelaksana kebijaksanaan” adalah orang-orang yang berhak atau berwenang untuk menafsirkan, melaksanakan serta mengimplementasikan undang-undang kebijaksanaan, ketentuan dan peraturan. Orang-orang atau kelompok ini dapat juga melahirkan gagasan-gagasan yang pada akhirnya menjadi kebijaksanaan baru dan bahkan tidak jarang mereka bertindak pula sebagai pembuat kebijaksanaan. Dalam bab ini, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu dibagi kedalam tiga periode.
Periode Demokrasi Parlementer, 1950-1957. Pada periode ini, kekuasaan politik berada di tangan serentetan kabinet parlementer yang mencerminkan pengawasan dan pengaruh partai-partai politik yang besar sebagai satuan-satuan formal dari kegiatan politik. Ciri khas dari periode ini adalah sering terjadinya pergantian kabinet. Dalam periode ini terdapat kebijaksanaan perekonomian yang bernama program Benteng. Sistem Benteng merupakan sistem yang memberikan kredit, modal, prevelese-prevelese khusus yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia tertentu, yakni dari golongan pribumi, melalui suatu sistem yang dinamakan sistem Benteng.
Kegagalan program Benteng pada tahun 1957 telah mengakibatkan dipercepatnya proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Menurut Anspach, berakhirnya program Benteng itu telah membantu menciptakan suatu iklim opini baru yang menguntungkan bagi nasionalisasi langsung terhadap perusahaan-perusahaan asing yang dianggap menghambat lahirnya pengusaha-pengusaha Indonesia. Berakhirnya program Benteng ini juga telah melahirkan perasaan anti Cina.
Periode Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Pada periode Demokrasi Terpimpin terdapat dua peristiwa penting yang pertama, gerakan kedaerahan yang menentang pemerintah pusat di Jakarta, yang mencapai puncaknya dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi dan pemberontakan PRRI di Sumatera, dua pemberontakan yang ada kaitannya satu sama lain. Dalam tempo empat bulan setelah diumumkannya PRRI pada bulan Januari 1958, pemerintah pusat dapat menekan pemberontakan itu hingga menjadi kegiatan gerilya saja. Peristiwa lainnya adalah pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda pada bulan Desember 1957, setelah kekalahan Indonesia dalam masalah Irian Barat di PBB. Pada periode ini terdapat suatu program pembangunan yang bernama Program Pembangunan Semesta.
Perusahaan-perusahaan negara saat itu telah menempati kedudukan yang sentral dalam perekonomian. Hal ini sebenarnya untuk menggantikan perusahaan-perusahaan barat, bukan Cina dengan perusahaan-perusahaan negara. Dengan kata lain, Sistem Ekonomi Terpimpin dimaksudkan untuk mengubah sistem Kapitalis menjadi etatisme dengan mengadakan perubahan-perubahan struktural. Tetapi dalam kenyataannya perusahaan yang dimaksudkan tidak pernah terjadi atau jika terjadi juga hanya dalam tahap-tahap terakhir dan terbatas, seperti yang berwujud aksi sepihak yang dilakukan oleh organisasi petani bentukan komunis, Baris Tani Indonesia (BTI) pada awal 1965.
Periode Orde Baru 1967-1980. Dalam pemerintahan Orde Baru pemerintah harus menghadapi konflik yang disertai dengan kekerasan, yang terus menerus berlangsung antara gerakan-gerakan politik yang berlandaskan massa rakyat yakni partai-partai komunis, nasionalis dan keagamaan, mengatasi masalah ekonomi dan keuangan yang parah serta laju inflasi yang tak terkendalikan lagi. Pada periode ini terdapat program Repelita, (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita direncanakan sebagai pembangunan yang berupaya untuk membangun manusia seutuhnya. Hal ini dirancang oleh pemerintah Orde Baru untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang disampaikan baik secara implisit maupun ekspilisit dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir tahun 1973 dan awal tahun 1974. Repelita I dan II telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang boleh dikatakan sesuai dengan rencana.
Pada bab IV dipaparkan tentang hasil-hasil atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijaksanaan tersebut. Untuk memudahkan pembahasan, dibagi lagi menjadi tiga tema pokok yaitu; Pertama, golongan pedagang dan pengusaha pribumi tidak mampu memanfaatkan subsidi dan kredit-kredit yang ditawarkan oleh kebijaksanaan benteng, akibatnya kedudukan pedagang dan pengusaha pribumi merosot sejak diberlakukannya kebijaksaan benteng. Kedua, sekelompok pengusaha yang sangat tergantung kepada patronase pemerintah dan partai politik telah muncul sejak tahun 1950-an, yang berkembang dari berbagai kegiatan ekonomi dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan. Pola operasi pengusaha-pengusaha itu berubah terus sebagai akibat dari perubahan-perubahan dalam kondisi dunia usaha yang dipanguruhi oleh kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Ketiga, perubahan-perubahan dalam dunia usaha erat kaitannya dengan aparat birokrasi Indonesia yang patrimonial pada ketiga periode yang sudah dijelaskan diatas.
Periode Demokrasi Sistem Parlementer, 1950-1957. Kebijaksanaan benteng sebagai salah satuan bagian integral dari Rencana Urgensi Perekonomian yang dimaksudkan untuk memperkenalkan inovasi-inovasi penting yang mendorong suatu proses pertumbuhan ekonomi yang spontan, dilaksanakan dengan memberikan kredit, modal dan dan hak-hak istimewa khusus kepada pengusaha-pengusaha Indonesia tertentu, yakni dari golongan pribumi. Dengan harapan pengusaha pribumi dapat berkembang dengan kekuatan sendiri dan dapat memperluas kegiatan dari sektor impor ke kegiatan ekonomi lainnya sehingga terlahir kelas menengah pengusaha pribumi karena pada masa itu pengusaha pribumi adalah kelas rendah dalam hal pendapatan. Selain itu pengusaha pribumi diharapkan juga akan menggantikan fungsi dan kedudukan orang-orang Belanda dan Cina, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa pengusaha-pengusaha pribumi merupakan segmen perekonomian yang paling rapuh.
Periode Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Penerapan “Ekonomi Terpimpin”, telah menimbulkan perubahan-perubahan besar yang menyulitkan kedudukan golongan pengusaha pribumi. Perusahaan-perusahaan besar negara yang paling berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi ditempatkan di bawah pengasawan elit militer dan partai yang menentukan alokasi lisensi impor, kontrak-kontrak pemerintah, devisa, kredit luar negeri, perminyakan dan perhutannan.
Periode Orde Baru, 1967-1980. Kegiatan-kegiatan pengusaha klien Orde Baru bergantung pada kekuatan politik golongan pribumi dan wewenang birokrasi untuk mengontrol monopoli, kredit negara, kontak dari pemerintah dan masih banyak lagi. Merupakan suatau kontrol politik atas akses menuju pasar, suatu bentuk kekuasaan ekonomi yang khas merkantilis.
Pada bab V dijelaskan bahwa terdapat tiga ketgori pengusaha pribumi yang tergolong elit di Indonesia. Implikasi kebijaksanaan dengan menganalisa hubungan antara pengusaha pribumi dengan sistem birokrasi dan elit birokrasi yang memiliki kekuasaan dalam lingkungan sosio-kultural.
Pengusaha-pengusaha klien dari periode benteng dan demokrasi terpimpin menjadi tokoh bisnis terkemuka di tingkat nasional. Hal ini digambarkan lewat operasi hubungan patron klien dalam bisnis selama masa orde baru yang telah dijadikan spread-head dalam pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan protektif ekonomi Indonesia sampai tahun 1974 hampir seluruhnya terbatas pada sektor impor. Kebijaksanaan protektif ini justru menghasilkan penguasaha-pengusaha klien bukan wiraswasta. Dikarenakan subsidi dan konsesi yang diperuntukkan bagi pengusaha pribumi jatuh tangan para calo yang nantinya dijual ke pengusaha pribumi dan Cina. Ketika kekuasaan beralih ke elit politik baru, konsesi juga dialihkan kepada klien baru dengan artian jatuhnya pula kelompok usaha yang disisihkan.
Periode Benteng. Awal 1920-an, sejumlah pedagang dan produsen komoditi asli mulai berkembang menjadi suatu kelas pengusaha. Program benteng, harus mampu bersaing dengan sanak saudara dan kawan para pejabat dan tokoh partai. Program benteng dihentikan karena mereka hanya merupakan calo lisensi impor dan karena itu kemungkinan terbuka importir-importir Cina untuk memperoleh lisensi.
Simbiosis Politik-Bisnis. Ciri dari periode Benteng adalah masuknya para pejabat dan mantan pejabat ke dalam dunia bisnis. Hal ini merupakan hak istimewa untuk memperoleh konsesi, kredit, lisensi, kontrak dan sumber-sumber lain yang merupakan modal bagi pengusaha pribumi.
Pengusaha Klien. Patronase Negara dan pemberian proteksi di bidang impor pada sistem historische blangen Belanda. Secara umum, kebijaksanaan perusahaan-perusahaan memperjualbelikan fasilitas. Praktek ini mempunyai dua efek yang merugikan bisnis Indonesia, yaitu lahirnya persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kesan dalam pikiran pengusaha Indonesia bahwa ketrampilan kewiraswastaan dan kelihaian berusaha merupakan sifat kurang penting yang berhubungan dengan kekuasaan.
Kebanyakan “pengusaha aktentas” (calo) merupakan orang yang mempunyai hubungan dengan partai dan biasanya mempunyai latar belakang sebagai pejabat dan bukan sebagai pengusaha. Salah satu diantaranya adalah Haji Soedarpo Sastrosatomo. Ia mendirikan NV Soedarpo Corporation sebuah perusahaan impor-ekspor yang berhasil membuat lisensi dari program benteng. Bisnis merupakan hal yang mudah karena “mengimpor berarti memperoleh lisensi dan mudah sekali untuk memperoleh kredit dari bank”. Menurutnya, periode 1950-1958, merupakan periode dimana para pengusaha nasional mendapat kesempatan untuk menghimpun modal melalui pemanfaatan lisensi, kurs mata uang asing yang ditetapkan secara artificial dan futures market.
Periode Demokrasi Terpimpin. Dalam periode demokrasi terpimpin, pusat patronase politik yang lama ambruk. Muncullah dua golongan utama yang memperebutkan kekuasaan politik: militer dan PKI. Perkembangan paling penting adalah munculnya golongan militer sebagai patron-patron penting dan di dalam dunia bisnis. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin hubungan antara patron politik birokrasi dan pengusaha klien dimanifestasikan dalam pembagian konsesi kepada calo atau pengusaha pribumi dengan imbalan sumbangan keuangan untuk Dana Perjuangan Irian Barat.
Periode Orde Baru. Berakhirnya kekuasaan politik Presiden Soekarno tahun 1966, disusul ambruknya sistem Demokrasi Terpimpin mengakibatkan golongan militer menduduki posisi yang dominan dalam kehidupan politik. Jatuhnya Soekarno dan sistemnya, golongan militer dapat memasuki dan mendominasi birokrasi sipil sepenuhnya. Kebanyakan pengusaha dan kelompok usaha mendapat perlakuan istimewa dalam memperoleh konsesi-konsesi yang ditawarkan oleh kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang tertuang dalam UU Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Perusahaan-perusahaan Indonesia didirikan atas kerjasama antara kekuasaan politik dan wewenang birokrasi pribumi, teknologi dan modal asing. Sebagai imbalan saham dalam perusahaan, mitra pribumi menyediakan konsesi dan lisensi artinya akses menuju pasar.
Kelebihan buku:
· Secara tidak langsung buku ini menggambarkan keadaan dan kondisi praktek ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha ekonomi pada saat itu. Dimana banyak pengusaha-pengusaha berusaha menaikkan aspek ekonomi negara Indonesia dan mengesampingkan perekonomian. Ini terlihat dalam kalimatnya “para kapitalis semu tersebut merupakan pengusaha klien. Mereka adalah individu dan perusahaan yang bergantung pada penguasa—yang menjadi patron mereka—untuk dapat melakukan kegiatan bisnisnya (hlm 265)”.
· Buku “Bisnis dan Politik kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980” ini memberi prespektif berbeda mengenai perkembangan ekonomi Indonesia yang dikorelasikan dengan dinamika politik sehingga bisa terkuak beberapa beberapa fakta maupun analisis mengenai hal tersebut.
· Buku “Bisnis dan Politik kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980” ini juga banyak menjelaskan tentang perkembangan serta kemunduran para pelaku bisnis di Indonesia melalui sudut pandang yang berbeda. Selain itu bahasa yang digunakan mudah dicerna oleh orang awam meski banyak istilah asing .
Kekurangan buku:
· Alur yang ada di buku ini terlalu berbelit-belit dalam memaparkan suatu masalah, tidak langsung to the point ke permasalahan. Hal ini membuat pembaca bingung dan sulit untuk memahami isi buku tersebut.
· Buku ini juga terlalu subyektif. Kemungkinan hal ini terjadi karena latar belakang penulis yang seorang politikus. Hal tersebut mempengaruhi esensi buku yang cenderung lebih dominan kearah politik.
· Pembahasan dalam buku ini sendiri terlalu melebar dari sub bab yang ada (judul).
Comments
Post a Comment